Aku teringat sebuah
acara yang sempat ditayangkan di televisi ketika aku masih kecil dulu, judulnya
"Tali Kasih", acara yang mengisahkan keluarga yang sempat terpisah
sekian lama. Tak jarang pula mereka tak saling mengenali lagi satu sama lain,
lalu acara akan ditutup dengan suasana haru ketika para anggota keluarga
tersebut berhasil dipertemukan kembali di studio tempat acara berlangsung. Dari
dulu aku memang tak gampang menangis, aku juga tak tahu alasannya. Aku lebih
mudah menangis karena marah, bukan karena sedih, dan orang-orang yang
"berhasil" membuatku menangis justru biasanya orang-orang yang sangat
aku sayangi. Aneh memang, tapi begitulah hidup. Waktu itu kuanggap acara
tersebut hanya sekedar tontonan di waktu senggang saja, tak ada simpul-simpul
kejadian yang membuatku mampu meresapi setiap kisahnya.
Bertahun-tahun
kemudian, teknologi informasi semakin maju. Orang-orang di seluruh dunia terkoneksi
dengan mudahnya melalui internet. Aku pernah membaca kisah seorang anak India
yang "hilang" dalam perjalanan bersama keluarganya karena tertidur di
kereta. Lalu kemudian dia ditemukan oleh orang lain dan akhirnya diadopsi oleh
sebuah keluarga di Australia. 25 tahun kemudian dia berhasil menemukan kembali
keluarga dan kampung halamannya di Khandwa, India melalui bantuan google maps. Kisah
ini kemudian dituliskannya dalam sebuah buku berjudul "A Long Way
Home".
Aku tak pernah
mengalami sendiri kisah-kisah luar biasa seperti itu. Tapi aku memiliki satu
kisah berkesan yang sudah lama ingin kuceritakan, yaitu kisah pertemuanku dengan
Tanteku, yang sebelumnya belum pernah kutemui langsung seumur hidupku, jauh di jantung
Eropa, di sebuah kota kecil nan cantik, Zug namanya. Kisahnya bermula ketika
suatu hari aku menemukan sebuah account Facebook dari group Begalor Ngenangkan
Suke, sebuah group silaturahim masyarakat Belitong, kampung halamanku. Atik
Woeber, begitu nama itu tertulis, asal Belitong dan kini tinggal di Swiss. Hanya
itu informasi yang kuketahui. Lalu, aku mencoba mengingat-ngingat,
bertahun-tahun yang lalu ibuku pernah bercerita bahwa dia memiliki seorang
sepupu yang tinggal di Swiss. Aku pun lalu menanyakan langsung pada beliau
untuk mengonfirmasi, benar saja, Atik Woeber inilah yang beliau maksud. Lalu
aku pun merubah panggilanku kepada beliau, yang tadinya Kak
menjadi Mak Atik, karena beliau
setingkat dengan orang tuaku dalam garis keluarga. Melalui beberapa kali chatting
lewat Facebook, aku mengobrol ringan dengan Mak Atik, lalu timbullah ideku
untuk mengunjunginya saat libur musim dingin ketika itu.
Singkat cerita,
aku berangkat ke Swiss bersama kawanku akhir 2011 yang lalu. Penerbangan tak
sampai 1 jam kami tempuh dari Düsseldorf menuju Zürich. Ini perjalanan
pertamaku ke luar Jerman, sekaligus pengalaman pertamaku merasakan musim
dingin. Musim dingin waktu itu, salju hampir-hampir tak turun di Bochum, hanya
tak sampai 6 kali seingatku, itu pun hanya sedikit sehingga langsung mencair
dan tak sempat menumpuk. Tapi, udara dingin menusuk luar biasa, suhu terendah
konon mencapai -17°C, yang membuat hidungku berdarah pada suatu pagi. Musim
dingin kelabu dan terasa "garing" tanpa salju. Sebagian besar wilayah
Swiss ditutupi pegunungan, punggung-punggung pegunungan Alpen membentang dari bagian
timur hingga ke selatan. Oleh karenanya, musim dingin di Swiss hampir selalu
bersalju, terutama di wilayah pegunungannya. Perjalananku kali ini terasa
menyenangkan, karena aku akan bertemu Mak Atik dan tak kalah penting, tumpukan
salju.
Zürich Hauptbahnhof |
Pesawat yang
membawa kami mendarat dengan mulus di Zürich, hari sudah gelap. Kami harus naik
kereta menuju Zürich Hauptbahnhof (Stasiun Utama), lalu mengambil kereta
selanjutnya menuju Zug. Kereta Zürich-Zug masih lebih dari 1 jam lagi, sembari
menunggu, kami sempat berjalan-jalan menikmati suasana kota Zürich malam hari. Lampu-lampu
kota berbinar-binar dipantulkan riak permukaan telaga, di udara sedingin itu
kulihat sekawanan bebek berenang-renang dengan riangnya. Kerlip lampu menghiasi
avenue di beberapa sudut kota,
sedikit tak biasa karena memang masih suasana Natal dan menyambut Tahun Baru.
Kami tiba di
Stasiun Zug menjelang pukul 10 malam, aku keluar menuju hall utama stasiun,
sesuai petunjuk Mak Atik. Di sana, beliau dan suaminya, Om Erwin, sudah
menunggu kami. Om Erwin mengenalkan diri pada kami, ternyata beliau sangat
fasih berbahasa Indonesia, sedangkan Mak Atik masih sangat lancar berbicara
dalam Bahasa Belitong. Aku jadi teringat Tanteku yang lain, adik kandung ibuku,
parasnya agak mirip dengan beliau. Aku masih diliputi rasa gembira karena
menemukan saudara di tengah "belantara" Eropa ini, ketika aku jauh
dari keluarga. Saudara yang seumur hidup baru pertama kali aku temui. Kini aku mengerti
dan sedikit bisa meresapi keharuan yang dirasakan para peserta di acara
"Tali Kasih" yang kutonton bertahun-tahun yang lalu. Mak Atik
menyediakan ayam panggang untuk makan malam kami, tak lama setelah mengobrol
ringan aku pun tertidur karena kelelahan.
Zugersee pada suatu siang |
Keesokan harinya,
kami diantar Mak Atik berkeliling menikmati Kota Zug. Zug adalah kota kecil yang
indah dan nyaman, tak terlalu ramai tapi juga tak terlalu sepi. Tak jauh dari
rumah Mak Atik, terdapat sebuah danau yang membentang sampai pusat kota,
Zugersee namanya. Beberapa taman terawat rapi di pinggiran danau, tak jauh dari
tempat bermain anak-anak berdiri sebuah gereja tua, halamannya sering dipakai
untuk acara pernikahan, kata Mak Atik. Permukaan air danau yang tenang sedikit
beriak dipermainkan kawanan angsa dan bebek yang berenang ke sana ke mari. Kaki-kaki
pegunungan Alpen yang ditutupi salju samar-samar tampak dari kejauhan. Mak Atik
bercerita, kalau musim panas tiba,orang-orang biasa berenang di danau ini, sama
seperti kebiasaan orang Belitong mandi di pantai, ujarnya. Tapi jika musim
dingin mencapai puncaknya, air danau akan membeku hingga setebal 20 cm, dan
orang-orang pun bisa bermain ski di atasnya.
Vierwaldstättersee |
Aku dan kawanku
melanjutkan perjalanan berdua ke kota lain, Lucerne, Mak Atik tak ikut bersama
kami karena ada keperluan lain. Perjalanan kereta dari Zug menuju Lucerne
memakan waktu kurang lebih 1 jam kalau aku tak salah ingat. Kereta
berkelok-kelok membelah punggung-punggung perbukitan dan tepian danau,
pemandangannya sungguh menyejukkan mata, mendamaikan hati. Cahaya matahari
dipantulkan permukaan danau, bukit-bukit hijau diselingi tumpukan salju tipis
dan peternakan sapi, persis seperti dalam film-film. Ferien Wohnung atau
rumah-rumah yang dipakai untuk berlibur tersusun seperti kotak warna warni di
tepian danau. Latar belakangnya punggung-punggung pegunungan salju, putih
kelabu, gagah sekali. Kami sampai di Stasiun Lucerne, suasananya ramai sekali,
karena Lucerne sepertinya memang salah satu tujuan wisata favorit di Swiss.
Sama seperti Zug, Lucerne juga terletak di tepi danau, Vierwaldstättersee
namanya, lebih besar dari Zugersee. Beberapa kapal pesiar lalu lalang melintasi
danau, membawa para wisatawan menikmati suasana Lucerne sore itu. Kami
berjalan-jalan di pinggiran danau, lalu aku bertemu seseorang yang duduk termenung
di atas kursi roda, memandangi riak-riak air danau, diam membisu seorang diri. Entah
apa yang dipikirkannya ketika itu, aku tak pernah tahu, yang kutahu, aku
seharusnya banyak-banyak bersyukur karena masih bisa berjalan bahkan berlari ke
sana ke mari dengan bebasnya, semau yang aku suka. Matahari mulai tenggelam,
suasana di pinggir danau masih ramai, beberapa anak kulihat masih asyik
bermain-main menikmati arena ski buatan yang disediakan tak jauh dari Museum
Seni Lucerne.
Kami tiba di rumah
Mak Atik sudah lewat waktu magrib. Malam ini, Mak Atik memasak nasi goreng
udang, aromanya khas, mengundang selera. Mak Atik dan Om Erwin mengajak kami
mengobrol, mereka memperlihatkan album-album foto kenangan ketika masih di
Indonesia. Mira, anak pertama mereka lahir di Indonesia, di Sulawesi Tenggara
tepatnya, sedangkan Evelyn, si bungsu kalau aku tak salah lahir di Swiss. Mira
bisa bahasa Indonesia, Inggris, Perancis dan Jerman-Swiss, lalu sekarang sedang
mulai belajar bahasa Spanyol. Evelyn baru bisa bahasa Jerman-Swiss. Sehari-hari
keluarga ini menggunakan bahasa Inggris, Indonesia, dan Jerman-Swiss, sungguh
luar biasa. Kuperhatikan wajah adik-adik sepupuku ini, percampuran yang
sempurna antara wajah Asia dan Eropa, cantik sekali. Waktu itu aku belum bisa
bahasa Jerman, sehingga aku tak bisa mengobrol banyak bersama Evelyn, namun
gadis cilik ini sebagaimana anak-anak seusianya, periang dan murah senyum.
Puncak Gunung Rigi 1.797,5 m dpl. |
Tak lengkap
rasanya kalau ke Swiss tidak mengunjungi Alpen. Tapi, hari ini, hari ke tiga
kami di sini, cuaca tak begitu mendukung, sejak semalam salju turun agak deras,
lalu menjelang waktu dhuha berganti menjadi hujan air. Om Erwin menyarankan
agar kami tetap ke Alpen, rugi katanya sudah jauh-jauh datang ke mari. Mak Atik
dan Om Erwin mengantar kami dengan mobil sampai ke Goldau, sebuah kota kecil di
kaki Gunung Rigi. Dari Goldau kami naik kereta gantung menuju punggung gunung
Rigi, lalu disambung dengan kereta biasa yang khusus mengantar wisatawan sampai
ke puncak. Hujan air di bawah tadi berubah menjadi hujan salju yang sangat
deras ketika kami tiba di puncak. Salju menumpuk hingga setinggi lutut orang
dewasa, untuk berjalan pun kami harus menutupi muka karena derai salju yang
begitu deras membuat mata perih dan berair. Tak banyak yang bisa kami
perhatikan di atas puncak, lalu kami berlindung di tempat penyewaan
perlengkapan ski sambil menunggu kereta berikutnya menuju Goldau. Kami sempat
turun di stasiun kecil di punggung gunung, aku memesan coklat panas. Sekelompok
anak-anak usia sekitar 6 tahun lengkap dengan perlengkapan skinya duduk
berjejer di bangku stasiun memperhatikanku, pipi mereka merona kemerahan karena
kedinginan. Tak lama kami pun turun dengan kereta selanjutnya menuju Stasiun
Goldau, di sana Om Erwin sudah menunggu di mobil untuk menjemput kami.
Sepanjang perjalanan pulang Om Erwin bercerita padaku, kata beliau beginilah
hidup di Eropa, tak ada yang namanya cuaca buruk, yang ada hanya orang yang
salah memakai pakaian. Artinya, manusianya yang harus pandai-pandai menyiasati
alam, karena keumuman cuaca di sini memang begitu, dingin, hujan, kelabu bahkan
bersalju.
Malam terakhir di
Swiss kami habiskan dengan menonton film sambil berbincang-bincang bersama
keluarga Mak Atik. Kebetulan malam ini malam pergantian tahun, sehingga suasana
di sekitar rumah Mak Atik juga lumayan semarak. Om Erwin membuka pintu balkon,
dari kejauhan kembang api warna warni menghiasi langit, cantik sekali. Setiap
tahun orang-orang berkumpul di tepian danau sekitar pusat kota untuk
menyaksikan kembang api yang ditembakkan di atas danau, kami cukuplah
menontonnya dari kejauhan.
Matahari pertama 2012 |
Besoknya pagi-pagi
sekali Om Erwin dan Mak Atik mengantar kami sampai ke Zürich Airport dengan
mobil. Penerbangan kami pukul 8 pagi, masih gelap karena masih musim dingin,
matahari terbit sekitar pukul setengah 9. Kami berpamitan pada Mak Atik dan Om
Erwin, kucium tangan keduanya. Aku bersyukur diberi kesempatan oleh Allah untuk
bertemu saudara sepupu ibuku ini, beliau orang yang bersahaja, ramah dan baik
hati, begitu pun dengan suaminya. Dilahirkan jauh di Pulau Belitong sana, sama
sepertiku, rupanya jalan hidup telah mengantarkan Mak Atik jauh ke negeri orang,
ke negeri indah di "belantara" Eropa ini. Semoga suatu hari nanti aku
berkesempatan lagi bertemu beliau. Aku pun menjadi rindu pada Paman-paman dan
Bibi-bibiku di tanah air nun jauh di sana. Pesawat meninggalkan Zürich Airport
perlahan-lahan, kuperhatikan kerlip kota Zürich dari ketinggian, cakrawala
mulai bercahaya, membias lembayung biru jingga. Tak lama berselang, matahari
mengintip malu-malu dari tumpukan awan putih nan tebal, cahayanya hangat
menyapu pipiku yang kutempelkan pada kaca jendela. Matahari pertama tahun 2012
yang kusaksikan dari ketinggian itu tak akan pernah aku lupakan, dia mewakili
hangat ikatan persaudaraan kami yang telah lama dipisahkan jarak dan waktu. Aku
terdiam diselimuti haru, juga bias-bias rindu.
Bochum, 1 April
2014