Ramadhan identik
dengan berbagai tradisi yang membudaya dalam masyarakat. Salah satunya adalah berbuka
puasa bersama. Di tanah air, acara semacam ini biasanya menjadi ajang
silaturahim, sekaligus tak jarang menjadi semacam reuni bagi orang-orang yang
telah lama tak saling berjumpa. Maka muncullah undangan-undangan acara berbuka
puasa bersama dari kawan-kawan semasa sekolah atau kuliah. Ada banyak sekali
cerita nostalgia yang akan dibagi di sana.
Di
negeri-negeri lintang tinggi, ketika Ramadhan jatuh bertepatan dengan musim
panas, matahari baru akan tenggelam menjelang pukul sepuluh malam, sudah hampir
tengah malam. Dengan kata lain, berbuka puasa bersama bukanlah acara yang mudah
untuk diselenggarakan sebagaimana di tanah air. Mengumpulkan banyak orang pada waktu selarut itu mempunyai tantangan
tersendiri. Menjaga ketenangan menjadi sesuatu yang wajib, apalagi sebagai kaum
minoritas dan perantau, tentunya kami tidak ingin membawa kesan buruk bagi
masyarakat sekitar. Seperti yang dulu pernah kuceritakan di awal Ramadhan, waktu
sejak lepas Ashar hingga Magrib biasanya kupakai untuk tidur. Namun, ketika
digelar acara berbuka puasa bersama, tentunya selang waktu tersebut tak akan
bisa dipakai untuk beristirahat. Singkatnya, berbuka puasa bersama di musim
panas menyimpan nilai rasa yang sungguh berbeda.
Di negeri ini, kawan setanah air rasanya sudah seperti saudara sendiri. Tempat
berbagi butir-butir kebahagiaan, suka dan duka di tengah segala keterbatasan
dan kerinduan pada tanah air. Kemarin sore, para muslimah Indonesia di Bochum
menyempatkan diri untuk berbagi kebahagiaan di hari-hari terakhir Ramadhan
tahun ini. Kami berkumpul sejak sore untuk mempersiapkan acara berbuka puasa
bersama. Alhamdulillah limpahan rezeki dari para sahabat membuat malam itu menjadi
istimewa, makan malam bersama dengan berbagai makanan khas Indonesia.
Semangkok bakso Malang hangat yang di tanah air merupakan menu biasa, ketika
di sini menjadi sesuatu yang istimewa. Wangi masakan itu pelan-pelan mengobati
rindu kami pada kampung halaman. Secangkir cendol dingin meluruhkan rasa haus,
semanis persaudaraan kami. Aku tak ingin berandai-andai, ingin begini dan
begitu, atau mengeluhkan Ramadhan yang terasa sepi. Tak ada yang lebih
membahagiakanku pada Ramadhan tahun ini selain kebersamaan dan persaudaraan
yang kami bagi di perantauan ini. Udara musim panas masih meninggalkan gerah
hingga malam menjelang. Bus tengah malam mengantarkan kami pulang, meninggalkan
serpih-serpih kebahagiaan yang terasa damai dipeluk malam.
Bochum, 25 Juli 2014