Lebih dari separuh usiaku kuhabiskan di perantauan, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu waktu ke waktu yang lain. Seharusnya, ruang dan waktu yang berganti-ganti itu yang mendominasi alam pikiranku. Tapi, alam mimpiku tetap itu-itu saja, dibekukan waktu dalam rumah masa kecilku nun jauh di Belitung sana, ditambah satu dua episode masa perantauanku di Bochum dulu. Definisiku tentang rindu kampung halaman jadi dua, dua-duanya diawali huruf B.
Aku masih menerka-nerka apa yang sebenarnya mengikat batin kita akan suatu tempat? Dari sekian banyak kemungkinan, mungkin di antaranya adalah orang tua. Aku teringat pertama kali aku merantau meninggalkan kampung halaman adalah ketika aku lulus SMP dan pindah ke Bangka. Saat itu, aku berangkat lebih dahulu dan tinggal di rumah salah satu pamanku, adik Ibuku. Ayah dan Ibuku baru menyusul pindah ke Bangka beberapa bulan kemudian. Di bulan-bulan awal itu aku merasa kosong, rindu kampung halaman, rindu Ayah dan Ibuku, rindu kucing kesayanganku. Apalagi aku tahu bahwa nanti kami tidak akan kembali ke rumah yang sama lagi. Sakit maagku kambuh lagi.
Belakangan ini aku sering dilanda perasaan yang sama meskipun sudah lebih dari dua dekade kutinggalkan kampung halaman, atau kurang dari itu jika Bangka tak masuk dalam hitungan. Persoalannya melingkar-lingkar seperti tak berkesudahan, tak pulang rindu, sehabis pulang bertambah rindu. Pulang pun sudah menjelma menjadi berupa-rupa muka: pulang ke Belitung, pulang ke Bandung, pulang ke Bangka, atau bahkan pulang ke Bochum?
Hari-hari yang kita lalui seperti mimpi saja. Tahu-tahu sudah lewat seminggu, sebulan, setahun. Tahu-tahu sudah tua, tahu-tahu sudah habis jatah usia. Pekan lalu Ayahku mengunjungiku di Bandung. Tiap salat berjamaah ragaku seperti terlempar ke masa puluhan tahun lalu, ketika aku diajari Ayah salat untuk pertama kalinya. Di ruang tamu rumah kami dulu, aku salat di belakang Ayah, menirukan gerakannya satu per satu meskipun belum hafal setiap bacaannya. Setiap selesai salam, waktu itu aku diam-diam sering menggerutu lantaran bacaan doa Ayahku tak pernah singkat. Lain waktu, di ruang yang sama aku menghafal lagu pertama yang akan aku nyanyikan di depan kelas Taman Kanak-Kanak: "Kupu-Kupu yang Lucu". Padahal masuk sekolahnya masih tahun depannya. Malam itu Ibuku menggoreng kue wijen untuk lebaran. Abang tertawa-tawa saja melihat tingkahku.
Dulu sebelum aku bisa bersepeda, setiap pagi Ayah mengantarku ke sekolah. Pulangnya kadang dijemput Ayah, kadang dijemput Ibu, tergantung siapa yang sempat. Pulangnya aku sering diajak ke pasar ikan. Di pasar inilah aku diajari Ayah mengenal macam-macam ikan. Ketika itu usiaku belum genap 10 tahun. Sejak bangun hingga tidur kembali rasanya tak ada masa yang tak kulewatkan bersama Ayah, Ibu, dan Abangku. Kalau kata Ibuku, di masa-masa itu, kaki mereka jadi kepala, kepala jadi kaki, saking sibuknya mengurus kami sambil bekerja.
Lalu, puluhan tahun berlalu, kini Ayah dan Ibuku sudah pensiun. Fisik mereka pun sudah tak sekuat dulu. Peran pelan-pelan mulai bertukar. Melihat setiap gerak-gerik mereka sering aku diliputi kekhawatiran, jangan sampai mereka terlambat makan, jangan sampai mereka lelah, jangan sampai mereka kurang tidur, jangan sampai mereka kedinginan dan kepanasan, jangan sampai mereka sakit, jangan sampai mereka kesepian.
Pernah aku bertanya pada Ibuku, mengapa dulu lampu kamarku tak pernah beliau padamkan ketika aku tidur. Kata beliau, takut ada serangga malam yang menggigitku. Rupanya meskipun sejak kelas 2 SD aku sudah tidur di kamar sendiri, setiap malam beliau rutin menengok kamarku tanpa sepengetahuanku. Lalu, ketika aku sudah bisa bersepeda dan bersikeras tak mau diantar ke sekolah, di keranjang sepedaku tak pernah tertinggal jas hujan yang selalu beliau selipkan. Ayahku lain lagi, setiap aku, Abang atau Ibuku ulang tahun, ada dua menu wajib yang selalu beliau belikan, es putar Babah Pilai dan rujak tahu Bu Mala. Rasa kedua makanan itu masih lekat dalam ingatanku hingga sekarang, perlambang cinta yang sederhana dari beliau.
Aku teringat dengan salah satu nama Allah, Al Lathif: Yang Maha Halus. Dari kasih sayang yang Allah bagikan di seluruh alam semesta ini, kasih sayang dalam gerak-gerik halus ungkapan cinta orang tua kepada anaknya adalah satu dari perwujudan nama itu. Puluhan tahun kemudian aku baru menyadarinya.
Episode kehidupan dunia ini penuh teka-teki dan jalan yang berliku-liku. Ujungnya pasti sama, kematian. Ujung yang sekaligus juga sebagai awal mula kehidupan akhirat yang kekal. Siapa yang lebih dahulu mendapat giliran, tak ada yang tahu, bisa jadi anak, bisa jadi orang tua. Namun, kehilangan yang teramat sangat konon dirasakan orang tua yang kehilangan anak, jauh mengalahkan yang sebaliknya karena orang tua mengurus anak dengan harapan yang jauh terbentang dan menyematkan cita-cita hidup anaknya di masa depan.
Kehidupan yang sesungguhnya tidak di sini, namun di akhirat yang kekal abadi. Semoga Allah mempertemukan dan mengumpulkan kita kembali bersama orang-orang yang kita cintai di JannahNya kelak. Mengutip Surah Yunus ayat 9, tanggal di mana aku dilahirkan:
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, niscaya diberi petunjuk oleh Tuhan karena keimanannya. Mereka di dalam surga yang penuh kenikmatan, mengalir di bawahnya sungai-sungai."
Pada titik-titik tertentu, kita hanya dapat berpasrah didera rindu yang seringkali datang tiba-tiba, indah dan tak ada gantinya, namun sekaligus perih tak ada obatnya karena waktu memang tak pernah ada pengulangnya. Hanya di JannahNya yang kekal kelak yang tak akan kita temui lagi segala kesedihan. Yaa Rabbanaa, perkenankanlah kami menjadi penduduknya.
Bandung, Agustus 2022