Showing posts with label Indonesia. Show all posts
Showing posts with label Indonesia. Show all posts

Tuesday, July 25, 2023

Gerak Gerik Rindu

Lebih dari separuh usiaku kuhabiskan di perantauan, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu waktu ke waktu yang lain. Seharusnya, ruang dan waktu yang berganti-ganti itu yang mendominasi alam pikiranku. Tapi, alam mimpiku tetap itu-itu saja, dibekukan waktu dalam rumah masa kecilku nun jauh di Belitung sana, ditambah satu dua episode masa perantauanku di Bochum dulu. Definisiku tentang rindu kampung halaman jadi dua, dua-duanya diawali huruf B. 

Aku masih menerka-nerka apa yang sebenarnya mengikat batin kita akan suatu tempat? Dari sekian banyak kemungkinan, mungkin di antaranya adalah orang tua. Aku teringat pertama kali aku merantau meninggalkan kampung halaman adalah ketika aku lulus SMP dan pindah ke Bangka. Saat itu, aku berangkat lebih dahulu dan tinggal di rumah salah satu pamanku, adik Ibuku. Ayah dan Ibuku baru menyusul pindah ke Bangka beberapa bulan kemudian. Di bulan-bulan awal itu aku merasa kosong, rindu kampung halaman, rindu Ayah dan Ibuku, rindu kucing kesayanganku. Apalagi aku tahu bahwa nanti kami tidak akan kembali ke rumah yang sama lagi. Sakit maagku kambuh lagi. 

Belakangan ini aku sering dilanda perasaan yang sama meskipun sudah lebih dari dua dekade kutinggalkan kampung halaman, atau kurang dari itu jika Bangka tak masuk dalam hitungan. Persoalannya melingkar-lingkar seperti tak berkesudahan, tak pulang rindu, sehabis pulang bertambah rindu. Pulang pun sudah menjelma menjadi berupa-rupa muka: pulang ke Belitung, pulang ke Bandung, pulang ke Bangka, atau bahkan pulang ke Bochum? 

Hari-hari yang kita lalui seperti mimpi saja. Tahu-tahu sudah lewat seminggu, sebulan, setahun. Tahu-tahu sudah tua, tahu-tahu sudah habis jatah usia. Pekan lalu Ayahku mengunjungiku di Bandung. Tiap salat berjamaah ragaku seperti terlempar ke masa puluhan tahun lalu, ketika aku diajari Ayah salat untuk pertama kalinya. Di ruang tamu rumah kami dulu, aku salat di belakang Ayah, menirukan gerakannya satu per satu meskipun belum hafal setiap bacaannya. Setiap selesai salam, waktu itu aku diam-diam sering menggerutu lantaran bacaan doa Ayahku tak pernah singkat. Lain waktu, di ruang yang sama aku menghafal lagu pertama yang akan aku nyanyikan di depan kelas Taman Kanak-Kanak: "Kupu-Kupu yang Lucu". Padahal masuk sekolahnya masih tahun depannya. Malam itu Ibuku menggoreng kue wijen untuk lebaran. Abang tertawa-tawa saja melihat tingkahku. 

Dulu sebelum aku bisa bersepeda, setiap pagi Ayah mengantarku ke sekolah. Pulangnya kadang dijemput Ayah, kadang dijemput Ibu, tergantung siapa yang sempat. Pulangnya aku sering diajak ke pasar ikan. Di pasar inilah aku diajari Ayah mengenal macam-macam ikan. Ketika itu usiaku belum genap 10 tahun. Sejak bangun hingga tidur kembali rasanya tak ada masa yang tak kulewatkan bersama Ayah, Ibu, dan Abangku. Kalau kata Ibuku, di masa-masa itu, kaki mereka jadi kepala, kepala jadi kaki, saking sibuknya mengurus kami sambil bekerja. 

Lalu, puluhan tahun berlalu, kini Ayah dan Ibuku sudah pensiun. Fisik mereka pun sudah tak sekuat dulu. Peran pelan-pelan mulai bertukar. Melihat setiap gerak-gerik mereka sering aku diliputi kekhawatiran, jangan sampai mereka terlambat makan, jangan sampai mereka lelah, jangan sampai mereka kurang tidur, jangan sampai mereka kedinginan dan kepanasan, jangan sampai mereka sakit, jangan sampai mereka kesepian. 

Pernah aku bertanya pada Ibuku, mengapa dulu lampu kamarku tak pernah beliau padamkan ketika aku tidur. Kata beliau, takut ada serangga malam yang menggigitku. Rupanya meskipun sejak kelas 2 SD aku sudah tidur di kamar sendiri, setiap malam beliau rutin menengok kamarku tanpa sepengetahuanku. Lalu, ketika aku sudah bisa bersepeda dan bersikeras tak mau diantar ke sekolah, di keranjang sepedaku tak pernah tertinggal jas hujan yang selalu beliau selipkan. Ayahku lain lagi, setiap aku, Abang atau Ibuku ulang tahun, ada dua menu wajib yang selalu beliau belikan, es putar Babah Pilai dan rujak tahu Bu Mala. Rasa kedua makanan itu masih lekat dalam ingatanku hingga sekarang, perlambang cinta yang sederhana dari beliau. 

Aku teringat dengan salah satu nama Allah, Al Lathif: Yang Maha Halus. Dari kasih sayang yang Allah bagikan di seluruh alam semesta ini, kasih sayang dalam gerak-gerik halus ungkapan cinta orang tua kepada anaknya adalah satu dari perwujudan nama itu. Puluhan tahun kemudian aku baru menyadarinya. 

Episode kehidupan dunia ini penuh teka-teki dan jalan yang berliku-liku. Ujungnya pasti sama, kematian. Ujung yang sekaligus juga sebagai awal mula kehidupan akhirat yang kekal. Siapa yang lebih dahulu mendapat giliran, tak ada yang tahu, bisa jadi anak, bisa jadi orang tua. Namun, kehilangan yang teramat sangat konon dirasakan orang tua yang kehilangan anak, jauh mengalahkan yang sebaliknya karena orang tua mengurus anak dengan harapan yang jauh terbentang dan menyematkan cita-cita hidup anaknya di masa depan. 

Kehidupan yang sesungguhnya tidak di sini, namun di akhirat yang kekal abadi. Semoga Allah mempertemukan dan mengumpulkan kita kembali bersama orang-orang yang kita cintai di JannahNya kelak. Mengutip Surah Yunus ayat 9, tanggal di mana aku dilahirkan: 
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, niscaya diberi petunjuk oleh Tuhan karena keimanannya. Mereka di dalam surga yang penuh kenikmatan, mengalir di bawahnya sungai-sungai." 

Pada titik-titik tertentu, kita hanya dapat berpasrah didera rindu yang seringkali datang tiba-tiba, indah dan tak ada gantinya, namun sekaligus perih tak ada obatnya karena waktu memang tak pernah ada pengulangnya. Hanya di JannahNya yang kekal kelak yang tak akan kita temui lagi segala kesedihan. Yaa Rabbanaa, perkenankanlah kami menjadi penduduknya.

Bandung, Agustus 2022

Sunday, June 20, 2021

Kakek dan Nenek Buyutku Tercinta

Ada dua orang dalam lingkar keluargaku yang kelak sangat ingin aku temui, mereka adalah kakek dan nenek Ibuku atau orang tua dari nenekku dari pihak Ibu. Di Belitung, kami biasa menyebut mereka dengan panggilan Datok (Datuk) Laki dan Datok Bini. Dalam Bahasa Indonesia, biasa kita kenal dengan Kakek dan Nenek Buyut.

Kakek Buyutku sudah meninggal sebelum aku lahir, kalau Nenek Buyutku meninggal waktu aku masih balita. Praktis aku hanya mengenal dua sosok ini dari cerita orang tuaku atau orang-orang di sekitarku yang dulu mengenal mereka semasa hidup. 

Kakek Buyutku dulu berprofesi sebagai guru, orang-orang biasa memanggil beliau Haji Ibrahim/Guru Ibrahim. Sedangkan Nenek Buyutku seorang ibu rumah tangga dengan segudang keterampilan, orang-orang biasa memanggil beliau Nek Haji Mai (Maisarah). 

Kek Ibrahim dan Nek Maisarah ini harum sekali namanya di kalangan keluarga, kaum kerabat, dan handai taulan. Mereka dikenal sebagai pasangan yang cerdas, berpikiran progresif, toleran, dan dermawan. 

Mereka berdua lahir di kampung, jauh dari Kota Tanjungpandan, dan bukan dari lingkar keluarga bangsawan seperti keluarga dari pihak Ayahku. Dengan latar belakang seperti itu, keduanya fasih berbicara dan menulis dalam Bahasa Melayu, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Arab, hal yang sangat langka pada zamannya, apalagi di kalangan rakyat biasa. 

Mereka berdua juga terampil berdagang dan berwirausaha, sekaligus fakih dalam ilmu agama. Pada saat yang sama, mereka berdua juga dikenal sebagai orang-orang berpikiran terbuka, pergaulannya luas tak mengenal sekat. Rumah mereka dulu terbuka untuk semua kalangan dan usia, bebas bagi siapa saja yang ingin belajar, meminta pertolongan, atau sekadar bersilaturahmi. 

Belitung sudah lama menjadi pusaran peradaban dengan percampuran berbagai suku bangsa. Kek Ibrahim dan Nek Mai dulu punya banyak saudara angkat dari berbagai kalangan, tak sedikit pula yang sempat bersyahadat memeluk Agama Islam atas wasilah mereka. 

Anak rantau dari kampung yang ingin bersekolah di Tanjungpandan boleh tinggal di rumah mereka. Perantau dari Madura, Bawean, dan Sulawesi yang cukup banyak jumlahnya di Belitung pun sama, banyak sekali yang jadi saudara angkat mereka. Mereka naungi orang-orang rantau ini dalam masa-masa adaptasi mereka ketika pertama kali sampai di Belitung. 

Orang-orang Tionghoa yang sampai saat ini cukup banyak jumlahnya di Belitung pun sama saja, banyak yang menjadi saudara angkat Kek Ibrahim dan Nek Mai. Aku ingat cerita Ibuku beberapa tahun yang lalu. Ketika itu, sehari sebelum Hari Raya, Ibuku singgah di sebuah toko kelontong tak jauh dari rumah kami untuk membeli kelapa. Nyonya Tionghoa pemilik toko memperhatikan Ibuku seperti penasaran, begitu pun Ibuku. Akhirnya Ibuku bertanya, "Nya, dulu Nyonya pernah tinggal di Jalan Gang Perai, bukan ya?" Sang Nyonya Tionghoa langsung menjawab, "Betul, kamu siapa ya? Dari tadi saya juga penasaran, seperti tak asing wajahnya, tapi saya lupa." Ibuku hanya menjawab singkat saja, "Saya cucu Kek Haji Ibrahim, Nya." Lalu berderet-deretlah cerita Sang Nyonya tentang masa kecilnya di kampung itu. 

Singkat cerita, dulu, Kakek dan Nenek Sang Nyonya Tionghoa ini pernah bertetangga dengan Kakek dan Nenek Buyutku. Lalu, di akhir tahun 50-an dan awal tahun 60-an, Pemerintah Orde Lama memberikan pilihan kepada perantau-perantau Tionghoa di Indonesia yang sebelumnya memiliki kewarganegaraan ganda RRT-Indonesia untuk memilih salah satunya. Kakek dan nenek Sang Nyonya ini akhirnya memilih untuk mempertahankan kewarganegaraan RRT mereka dan pulang ke RRT. Mereka pun bersiap-siap, rumah dan kebun yang mereka usahakan akhirnya mereka jual ke Kek Ibrahim. Lalu, entah apa yang terjadi, keluarga ini batal pulang ke RRT. Rumah dan tanah sudah dijual, praktis mereka tak punya tempat bernaung lagi. 

Kek Ibrahim lalu mengizinkan keluarga Tionghoa ini untuk menempati kembali rumah dan kebun yang sudah mereka jual kepada beliau tanpa membatalkan transaksi jual beli yang sudah terjadi. Singkatnya, mereka boleh tinggal  kembali di sana dan mengusahakan kembali kebunnya sampai kapan pun tanpa perlu membayar sepeser pun ke Kek Ibrahim. 

Kembali ke Sang Nyonya. Ketika itu, sang Nyonya masih remaja, ia ingat dengan jelas semua peristiwa yang tadi diceritakannya kepada Ibuku. Di akhir cerita ia menutup dengan mata berkaca-kaca, "Sampai kapan pun saya tidak akan lupa dengan Kek Ibrahim dan Nek Mai, karena keduanyalah yang telah menolong Kakek dan Nenek saya. Mereka tak pernah pindah dari rumah dan kebun itu sampai akhir hayat mereka."

Lalu aku membayangkan, kalau pada era sekarang Kek Ibrahim dan Nek Mai masih hidup pasti mereka sedih melihat bibit-bibit perpecahan dengan saudara-saudara kita dari kalangan Tionghoa yang sering sekali diembus-embuskan oleh pihak-pihak tak bertanggungjawab. 

Kekagumanku tak habis-habis kepada kedua sosok ini, apalagi Nek Maisarah. Nek Maisarah adalah potret perempuan cerdas, berdaya, dan berpikiran maju. Nek Mai dulu sangat fasih melantunkan syair dan hikayat Melayu yang menceritakan kisah-kisah Nabi dan Rasul, dan tokoh-tokoh besar bangsa Melayu. Kata Ibuku, lantunannya itu tak sembarangan, ada nada dan iramanya, skripnya ditulis dalam Bahasa Melayu dengan huruf Arab gundul. Cucu-cucu beliau biasa menyimak kisah-kisah itu selepas Magrib, berkumpul dalam lingkar nan hangat di ruang tengah rumah beliau. 

Nek Mai juga penyayang binatang, yang paling kuingat dulu waktu aku masih balita, di rumah beliau selalu ada kucing. Beliau juga beternak ayam dan entog. Waktu masih muda, Nek Mai terampil menunggang kuda. Soal kuda ini yang aku paling kagum. Pertama, kuda adalah binatang langka di Belitung, sampai sekarang pun tak banyak jumlahnya. Kedua, Nek Mai ini seorang perempuan, anak kampung pula, dan lahir jauh sebelum Indonesia merdeka. Perempuan pada zamannya, jangankan menunggang kuda ke sana ke mari,  bisa diizinkan ke luar rumah berjalan kaki pun sesuatu yang belum selumrah sekarang.

Lain waktu, Ibuku menuturkan kisah kedua suami istri ini ketika mereka menunaikan ibadah haji. Kapalnya berlayar berbulan-bulan membawa penumpang beserta seluruh kebutuhan mereka selama perjalanan, termasuk ternak. Sejak itu aku paham, mengapa dulu penjajah Belanda sangat berhati-hati dengan orang-orang yang sudah menunaikan ibadah haji. Orang-orang ini menempuh perjalanan panjang lagi sulit, mereka yang bisa kembali ke tanah air adalah orang-orang terpilih yang telah tertempa. Orang-orang akan dengan mudah mendengarkan kata-kata mereka, mereka punya tempat di hati masyarakat. Sekali Belanda berulah, mereka bisa dengan mudah mengerahkan kekuatan ribuan orang untuk melawan. 

Kek Ibrahim dan Nek Mai dikaruniai 4 orang anak, yang tertua Kek Long Siddiq, kedua Nek Anjang Zaina, ketiga Nek Ute Badi'ah (nenekku), dan yang terakhir Nek Busu Farida. Keempat-empatnya juga sudah tiada. Mereka berempat dulu disekolahkan sampai tingkat Sekolah Menengah Agama oleh orang tuanya. Lalu, Kek Siddiq melanjutkan pendidikannya sampai ke Arab Saudi dan sempat tinggal beberapa tahun di sana, Nek Zaina dan Nenekku sempat berprofesi sebagai pendidik seperti ayahnya, lalu Nek Busu Farida, si Bungsu, sempat disekolahkan ayahnya sampai ke Palembang. Kek Ibrahim dan Nek Mai memilih pindah dari Kota Kecamatan di Kampit Belitung Timur ke Tanjungpandan, agar anak-anaknya bisa sekolah, hal yang sangat langka dilakukan orang-orang pada zamannya. Keduanya sudah menyadari pentingnya pendidikan, di saat orang-orang kebanyakan tak ambil peduli. Kalau soal ini, sampai sekarang pun di kampung-kampung di Belitung, hal ini masih menjadi PR besar untuk pemerintah dan masyarakat. 

Masih banyak kisah-kisah harum Kek Ibrahim dan Nek Mai yang sering kudengar, bahkan dari orang-orang di luar lingkar keluarga kami. Sampai sekarang aku masih sangat penasaran, bagaimana mereka bisa tumbuh menjadi orang-orang seperti itu pada zamannya, bagaimana pula dengan orang tua mereka. 

Hari ini aku teringat dan ingin sekali bercerita tentang Kek Ibrahim dan Nek Mai lantaran tadi pagi aku bercerita kepada Ayahku tentang kain kafan untukku sendiri yang sudah kusiapkan. Kata Ayahku, Nek Mai dulu selangkah lebih siap secara teknis dari persiapanku. Beliau bahkan sudah menyiapkan nisan yang bertuliskan namanya sendiri jauh sebelum hari kematiannya tiba. 

Seorang sahabat pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling cerdas?" Rasulullah SAW menjawab, "Yang paling banyak mengingat mati, kemudian yang paling baik dalam mempersiapkan kematian, itulah orang yang paling cerdas." 

Semoga kita semua termasuk dalam golongan orang-orang yang dimaksud oleh Rasulullah SAW dalam hadits ini. 

Aku terdiam mendengarkan kisah dari Ayahku tadi. Dua sosok ini, Kek Ibrahim dan Nek Mai adalah pendahuluku, yang melalui jalan mereka aku hadir di dunia ini. Mereka tak sekolah sampai ke pelosok dunia untuk menghayati setiap butir ilmu yang mereka terima dari guru-guru dan orang tua mereka. Mereka adalah bukti nyata dari penghayatan ilmu yang bermanfaat dalam wujud yang sebenar-benarnya, ilmu yang tak hanya menempel dalam ingatan, tapi diwujudkan dalam praktik kehidupan untuk kebermanfaatan hidup yang seluas-luasnya. 

Kisah hidup mereka ini kutulis bukan dengan maksud berbangga-bangga akan nasab dan keturunan, namun untuk memetik sebanyak-banyaknya hikmah dan teladan dari mereka yang telah tiada, utamanya pula untuk diriku sendiri. Kalau rindu bisa didefinisikan dengan kata-kata, kisah ini adalah surat rinduku untuk mereka, Kakek dan Nenek Buyutku tercinta. Semoga Allah merahmati mereka. 

Bandung, 20 Juni 2021

Wednesday, February 10, 2021

Pohon Rambutan Yai

Pergantian berupa-rupa kejadian dalam hidup kadang membawa kita kembali ke suatu masa yang rasanya tidak pernah tidak kita rindukan. Kejadian-kejadian itu tak melulu harus yang hebat-hebat. Kejadian-kejadian itu dapat pula meliputi sesuatu yang kecil, halus seperti pergerakan benda-benda yang tidak kita sadari, atau pergantian musim dan cuaca. Pergerakan matahari, aliran air, arah angin, dan bintang gemintang menyanyikan hidup pada bebijian yang berkecambah. Hara diisap oleh akar-akar tumbuhan, menyemi daun-daun, menyemai buah-buahan pada tangkai-tangkainya. 

Aku dilahirkan di tanah khatulistiwa yang disiram matahari sepanjang tahun. Pergantian musim-musim, panas dan hujan, berarti pula pergantian musim buah-buahan. Pertengahan musim hujan di awal tahun menandai salah satu musim buah kesukaanku sejak kanak-kanak, buah rambutan. Mengapa bagiku buah ini begitu istimewa, tak sekadar rasanya saja? Mari kuceritakan, Kawan. 

Dulu, dulu sekali, ketika aku masih kecil, tersebutlah seorang kakek, aku memanggilnya Yai. Beliau adalah tetangga kami, sekaligus keluarga dari pihak ayahku. Sejak aku bisa mengingat, yang kutahu Yai sudah pensiun. Dulu, kudengar beliau mengepalai Kantor Penerangan di kabupaten kami. 

Aku mengenal Yai sebagai seorang kakek yang rajin bercocok tanam. Apa saja yang ditanamnya pasti tumbuh dengan baik, berbunga, berbuah. Tangannya "dingin" kalau kata ibuku.  Hampir setiap hari ada saja tanaman yang dirawatnya. Sesekali aku melihatnya bepergian dengan sepeda phoenix. Rambutnya disisir rapi ke belakang, mengkilap dan wangi minyak rambutnya masih kuingat sampai sekarang. Lalu, rambut yang rapi itu akan ditutupinya dengan peci hitam dan sepeda pun dikayuhnya entah ke mana. Nanti, sepulangnya yang entah dari mana itu, ada saja cerita yang dibawanya. Yai juga kukenal sebagai sosok yang humoris dan ramah. Beliau mempunyai beberapa cucu, tapi yang juga bertetangga dengan kami dan umurnya tak berjauhan denganku hanya 4 orang. Mereka adalah sahabat-sahabat pertamaku dalam hidup. Kami tumbuh dan besar bersama dalam kasih sayang Yai. 

Di depan rumah kami dulu, pada sepetak tanah yang Yai jadikan kebun, tumbuhlah dua pohon rambutan. Sejak aku bisa mengingat, yang kutahu pohon rambutan itu sudah tinggi menjulang, cabang-cabangnya banyak sekali, rimbun pula daunnya. Saking rimbunnya, panas dan terik tak akan terasa bila kita berteduh di bawahnya. Ketika tiba musimnya, buah-buah manis itu akan menggelayut pada cabang-cabangnya, merah merona, menggoda tangan-tangan kecil kami. Tapi, aku tahu, Yai tak senang kalau kami memetik rambutan tanpa seizinnya. Maka, kami akan menunggu dengan sabar sampai tiba hari panen yang dinanti-nantikan. 

Ayahku tahu, aku menyukai buah rambutan. Maka, tak perlu menunggu hari panen itu pun, sejak para pedagang mulai menjual rambutan di pasar-pasar, ayahku pasti akan membelikan buah rambutan untuk dibawa pulang. Tapi, tetap saja, hari panen buah rambutan Yai adalah yang paling istimewa, tak pernah sama, tak ada yang bisa menggantikannya. 

Pada hari raya itu, aku, abangku, dan keempat cucu Yai akan bekerja sepanjang hari memetik buah-buah rambutan dari cabang-cabang rendah yang berada dalam jangkauan kami. Orang-orang dewasa akan memetik dari cabang-cabang yang lebih tinggi dengan memanjat atau dengan galah. Lalu, buah-buah rambutan itu akan dipilah-pilah, dibersihkan dari daunnya, dan diikat dalam kumpulan beberapa tangkai. Kami, anak-anak, akan bertugas membagi-bagikannya ke para tetangga, lalu sisanya dititipkan di kedai-kedai dekat rumah kami. 

Kenangan-kenangan sederhana tentang pohon rambutan Yai, selalu mengingatkanku kepada sahabat dan keluargaku, kepada kampung halamanku, kepada asal di mana aku bermula. Rambutan tak menjadi sekadar buah saja, ia adalah salah satu representasi paling manis dari kenangan masa kecilku, kenangan akan kasih sayang dari orang-orang terkasih. 

Bertahun-tahun kemudian, terlebih ketika aku merantau ke Eropa, di mana mendapatkan rambutan tak lebih mudah dari mencari ikan kala purnama, ketika aku benar-benar mendapatkannya, maka aku akan menyediakan waktu istimewa untuk mengingat Yai. Sekarang pun, meski aku sudah kembali ke tanah air dan mendapatkan buah rambutan tak lagi sesulit dulu, tetap saja awal tahun yang menandai musim rambutan itu selalu menjadi saat-saat yang istimewa. Maka, bagiku buah rambutan adalah buah kasih sayang, tak lebih dan tak kurang. 

Bandung, 10 Februari 2021





Wednesday, May 11, 2016

Jemari Waktu

Di sela jemari itu,
menetes satu per satu,
ingatan yang terbelit jaring-jaring waktu

Ke mana suara itu?
Bersahut-sahutan ia menggema,
dipantul-pantulkan dinding,
yang mengepung darah,
meletup-letup dalam dadaku

Sesak, nafasku tersengal,
keringat berjatuhan dari langit
bulir-bulir bening di sela jemari itu
tak usah kau seka

Awan-awan rendah,
bernaung di bawah kabut,
bergumul dengan asap
yang kuciptakan sendiri,
dari api dan kerasak kering
dari pohon-pohon ingatan

Ke mana cahaya itu?
Tanganku menggapai-gapai
sayup-sayup sampai

Dingin memelukku,
angin membayang-bayangiku,
di sela jemari itu,
meniupkan napasnya yang wangi

Tidurlah, sayang
pagi akan membasuhmu.

Bandung, 11 Mei 2016




Teduh

Mengalirlah menuju samudera
hingga tak ada lagi kesedihan yang tersisa
Wahai butir-butir air yang membawa serta
segala kesementaraan

Kutitipkan pula,
satu dua perkara,
yang selalu kuhadirkan dalam doa-doa
Bawalah serta

Tunggu aku di sana,
di ujung bukit sebelah tenggara
saat angin bergeming menuju senja,
senja terakhir yang menjinggakan semesta

Ketika itu,
semua pulang,
satu per satu, menuju Sang Maha

Bandung, 29 April 2016

Jentera Langit

Pagi itu,
setelah didera ribuan rindu,
dua jentera langit saling bercumbu

Tak ada yang lebih indah dari perjumpaan mereka
pada sehelai pagi yang biru itu
Meski tak lama,
namun seisi angkasa seketika menjadi cemburu,
begitu pun aku

Lihatlah gumpal-gumpal awan itu,
berarak mereka menyelimuti langit timur yang sendu.

Tanjong Tinggi, Belitong, 9 Maret 2016

Tanjong Pendam [2]

Langitmu adalah hamparan kanvas
Lautmu adalah benatangan kertas
Bias cahaya senjamu adalah goresan kuas

Tanjong Pendam tak pernah mencintai yang lain,
hanya Engkau saja wahai Kalimoa
Tanjong Pendam tak pernah merindukan yang lain,
hanya Engkau saja wahai Air Saga

Tanjong Pendam adalah sebentuk permata yang merona setiap senja
Tanjong Pendam adalah sebentuk cinta yang teramat setia

Tanjong Pendam, Tanjung Pandan, Belitong, 7 Maret 2016

Suara

Aku mendengar gemericik sungai dipeluk sepi.
Aku mendengar amukan ombak
yang menelan parau suara.
Aku mendengar gemerosok kerasak
yang diterbangkan angin.
Aku mendengar halilintar yang merambat
bersama cahaya.
Aku mendengar lirih tangis anak pesisir
Aku mendengar keroncong perut-perut lapar.
Aku mendengar tawa-tawa terbahak
dari sekawanan bajing.

Aroma busuk menyerbak.
Mataku berair,
menahan bau serakah,
menahan kesedihan yang berkarat,
dalam aliran anak-anak sungai.

Bandung 17 Februari 2016

Puisi untuk Ibu

Helai-helai benang yang ia renda menjadi doa.
Derap-derap langkah yang ia hentakkan melawan masa.
Jaring-jaring rencana
yang berkelindan dalam kepalanya.

Letih dan bahagia yang mengambang di sela renyah tawanya.
Bias-bias harap yang berjentera
dalam bola matanya.
Butir-butir peluh yang ia seka dari keningnya.

Dingin malam, setangkup tangan.
Dibelai hembusan angin senja,
di wajahnya, aku melihat bayang-bayang surga.

Bandung, 18 Februari 2016

Berlembar-lembar Perca(ya)

Karena pagi masih teramat malu
untuk bercermin pada gumpal awan
yang melintas-lintas di sela bukit.

Anjing kampung berbulu coklat,
kemilau emas disiram cahaya fajar,
dari retak-retak cermin tak berbingkai

Rerumputan tak beranjak dari mesranya
bersama embun sejak semalam,
padahal hujan sudah lama pulang dijemput angin.

Tahun menuju penghujung doa
yang masih berhias rangkai-rangkai semoga.
Engkau hanya perlu menyimpan
berlembar-lembar perca(ya).

Bandung, 16 Februari 2016

Hitam-Hitam Cahaya

Berlari-lari ke dalam gelap.
Melompat-lompat di dalam gelap.
Hentak-hentak berdebu.
Aku diam.

Di dalam gelap,
lubang cahaya seperti jarum tajam,
menusuk, menghujam, menyilaukan.
Lambai-lambai memotong pedang cahaya itu,
sementara saja,
sampai malam datang.

Aku di dalam gelap,
memilih, bukan tersesat.
Pekat, lamat, berat,
suara dari lubang cahaya,
bercampur pendar cahaya,
bercampur debu-debu yang menari,
bercampur secangkir waktu,
tanpa gula.

Bandung, 16 Februari 2016

Cerita Kupu-Kupu

Sayap kupu-kupu tak pernah salah arah.
Dia terbang rendah di sela-sela kelopak bunga,
bercengkerama menghisap sarinya.

Lalu, disiram rinai hujan,
putik pun menyembul berenda-renda.
Sesekali kilau embun
menempel pada pipinya.

Aku hanya mengingat yang manis-manis saja tentang mereka:
cerita sekawanan kupu-kupu,
kelopak bunga,
embun,
dan matahari senja.

Gantong, Belitong, 6 Februari 2016

Bersama Engkau

Kepak-kepak sayap mengangkasa,
menerbangkan helai-helai mimpi.
Butir-butir hujan membumi,
membasahi jengkal-jengkal tanah.
Anak-anak panah menghujam,
menusuk bingkai-bingkai waktu.

Engkau tak sabar,
ingin membelah udara,
menjadi bilah-bilah sukma.
Padahal, dia
hanya ingin mengarung masa,
perlahan mengeja,
bersama engkau,
berdua saja.

Mengapa mereka tak juga membaca tanda-tanda?


Bandung, 28 Januari 2016

Silhouette

Kini pendar cahaya itu perlahan meredup,
menyisakan kerlip-kerlip di kejauhan.

Bayang-bayang berkelebat,
berebut ke arah timur,
terbang rendah.

Silhouette membeku satu per satu,
ditangkap mata yang letih,
menahan silau.

Langit dihamburi remah-remah kaca berkilauan,
anak-anak bintang.

Purnama murung saja,
dicumbu awan kelabu,
menunggu hujan membasuhnya.

Atau tiba-tiba saja pagi merenggutnya?
Jangan!

Bandung, 26 Januari 2016

Sisa Purnama

Pokok pepaya yang sebatang kara.
Anjing kecoklatan yang bahagia.
Rumah-rumah Wae Rebo yang bersahaja.
Punggung perbukitan yang hijau senantiasa.
Masih ingatkan Engkau sisa purnama
yang malu-malu dicumbu cakrawala?
Pada pagi yang wangi di jantung Nusa Tenggara. 

Ruteng, Flores, 28 Desember 2015

Lembah Wae Rebo

Kawan,
pada pagi yang biru itu,
halimun menguap perlahan
dari lembah-lembah Wae Rebo.

Sayup-sayup kudengar
cericit burung pada dahan kayu di tepi jurang.
Jalan setapak yang kulewati masih basah,
sisa hujan semalam,
yang masih malu-malu menyapa Manggarai.

Namamu kutulis di atas selembar daun,
di antara pokok-pokok berdaun merah
yang aku tak tahu namanya.
Biar angin yang menjaganya. 

Wae Rebo, Flores, 28 Desember 2015

Aku Pulang ke Matamu

Kupu-kupu melayang-layang,
seperti kertas kuning,
sisa layangan yang terbang gagah
di langit sebelah timur.

Hujan telah menyapu sebagian pulau.
Rumput keemasan perlahan menghijau.
Ombak berbuih-buih dihempaskan angin
pada karang-karang yang tumpah dari langit.

Bukit-bukit terjal, samar-samar,
kokoh tertancap di Laut Flores.
Elang terbang labuh,
perahu-perahu masih tertambat,
diombang-ambingkan riak pagi yang sepi.

Di kedalaman Laut Flores,
aku melihat mata yang merona-rona,
mata-mata dari surga.
Di kedalaman hatimu,
aku melihat jernih air mata yang biru,
berhulu di kaki bukit kelabu,
menghilir ke tepian sudut matamu.

Labuan Bajo, Flores, 24 Desember 2015

Wednesday, February 24, 2016

Pendar Cahaya Bulan Memelukku

Ingatanku tiba pada suatu malam yang sangat biasa, aku, ayahku, ibuku, dan abangku, saudara kandungku satu-satunya. Rembulan mengawang rendah, awan tipis seperti berasap-asap melingkupi bola matanya yang sendu. Cahaya pucatnya berpendar dipantulkan pucuk-pucuk pohon kelapa yang melambai-lambai, entah kepada siapa. Aku dipakaikan ibu jaket wol hijau tua, sedikit berbunga, tapi tak berenda. Abang dipakaikan ayah jaket bercorak hitam, coklat muda, dan biru tua, dari bahan wol juga.

Sisa hujan sore tadi masih menggenang di tepian jalan aspal berbatu. Suara jangkrik menguasai sudut-sudut temaram di tepi padang ilalang, menebas sepi-sepi. Sepeda motor ayah, Yamaha PX-80, warna merah, masih kerap lalu lalang dalam mimpiku. Malam tadi, ia menghampiriku.


Seperti yang dikisahkan kunang-kunang kepadaku. Malam itu, kami pulang dari rumah kakek, ayah membonceng abang di bagian depan, ibu duduk di bagian belakang, aku digendong ibu sehingga pandanganku menghadap ke belakang. Pada malam yang dingin itu, hanya aku saja yang menatap teduh wajah rembulan, sesekali ia merayuku, tak ada orang lain tahu. Aku bertanya pada ibu: “Wahai ibu, mengapakah gerangan rembulan mengikutiku dan masih tak hendak pulang? Bukankah malam semakin merambat? Tak takutkah ia dipeluk gelap?” Semakin erat ibu mendekapku. “Tidurlah Nak, sebentar lagi kita sampai”.

Payung langit dipenuhi anak-anak bintang yang berkerlap-kerlip memperhatikan kami. Seperti untaian cinta ayah yang mencium lembut rambut abang, seperti helaian cinta ibu yang menidurkanku dalam pelukannya, malam yang sangat biasa itu sesungguhnya teramat istimewa.

Bandung, 24 Februari 2016

Wednesday, December 16, 2015

Yogyakarta

Butiran pasir basah telah mengering
sisa hujan semalam
Aroma Sekaten menyergap
menyela lalu lalang yang melintas-lintas
memenuhi udara lembab bulan Desember

Engkau tak pernah menua 
hanya memupuk bijak bestari
Engkau tak penah berubah
hanya menyeka keringat tengah hari

Derap-derap sepatu kanvas
Gores-gores cat di ujung kuas
Denting-denting dawai gitar
Bait-bait ceritera, pula puisi
Patung-patung di tepi jalan
Ukiran kayu di sudut genteng
Bangsal-bangsal Joglo nan bersahaja

Jogja,
aku mencintaimu seperti hangat musim semi
aku mengenangmu seperti angin selatan nan mendayu-dayu
Tetaplah seperti itu,
seperti pertama kali aku mengenalmu, dahulu

Stasiun Tugu Yogyakarta, 13 Desember 2015


Thursday, November 26, 2015

Menjumpai yang Tak Tergantikan

Sahabat, meminjam kata-kata dari seniman Ugo Untoro, yang pernah dituliskan oleh salah seorang sahabat saya, Tiaswening Maharsi, dalam bukunya "Dunia Simon":

"Tidak hanya berbunga-bunga, hatiku berbuah-buah."

Begitu pun yang saya rasakan ketika buku pertama saya "Harum Hujan Bulan November" ini diterbitkan. Buku ini adalah hadiah kecil saya untuk tiga orang yang paling saya cintai: Mamak, Mamo, dan Abang. Sahabat-sahabat pun dapat membaca kisah mereka yang saya tuliskan dalam buku ini.

Berikut, beberapa bait resensi yang dituliskan sahabat saya yang lain, FX. Widyatmoko (Koskow):

Kumpulan kisah yang disusun secara alur waktu ini - yaitu sejak 3 November 2011 hingga 26 Juni 2014 - berkisah tentang sesuatu yang tak tergantikan. Yang tak tergantikan ini tak lain kisah-kisah yang dialami Hesty: tentang kedua orangtuanya, kakaknya, ibu petugas di kantor pos, guru, teman-teman sekolah, kuliah, dan mereka yang dijumpainya tanpa direncana. Beberapa kisah yang ditulis juga dialamatkan kepada alam, pula syukur kepada Tuhan. Kisah-kisah tersebut ditulis Hesty dari berbagai tempat: Bandung, Zug, Zürich, Nijmegen, Groningen, Utrecht, dan yang paling sering Bochum, Jerman, tempat Hesty melanjutkan studi. Kisah-kisah juga berasal dari orangtuanya, yang mana kisah tersebut membuat Hesty pergi menjumpai yang dikisahkan tersebut (tentang saudara jauh).

Tulisan-tulisan Hesty, meski terkesan sebagai sebuah catatan perjalanan, namun lebih dekat kepada surat. Jika catatan perjalanan lebih mendekati pada laporan, sebaliknya tulisan Hesty dalam buku berjudul "Harum Hujan Bulan November" ini lebih memilih untuk tak sebatas pelaporan, namun memberi alasan untuk apa ia dilaporkan. Di antara kisah-kisah tersebut hadir beberapa puisi, hadir pula foto. Setidaknya terdapat perbedaan antara kisah-kisah yang dituliskan (dalam bentuk esai), puisi, dan foto dalam buku tersebut.

Pada kisah-kisah yang dituliskan dalam bentuk esai, Hesty kerap bertutur tentang orang-orang yang dijumpainya. Pada puisi dan foto, tersampaikan yang sebaliknya, Hesty mengajukan pertanyaan-pertanyaan, terkesan lebih tentang dirinya, mungkin tentang sendirinya (pula foto seekor bebek yang di bagian bawah foto tersebut disertakan pertanyaan "kayuhmu hendak ke mana?"). Mungkin ada alasan tertentu mengapa hal tersebut terkesan demikian. Namun, yang lebih utama yaitu pada kejujuran serta keterbukaan dalam menuliskan kisah-kisah dan bagaimana memberi bingkai untuknya.

Kisah-kisah Hesty pun dapat dipahami sebagai satu kesadaran mengenal yang lain, yang berbeda. Pada kesadaran inilah kisah-kisah yang dituliskan Hesty dapat dipandang menjadi perjuangan kita bersama yaitu saling menghargai sesama, alam, masa lalu, benda-benda, serta harapan hidup ke depan, terutama di zaman yang kian bergegas dan menyisa sepotong-potong cerita yang berlalu lalang, yang membuat kita gagal utuh menangkapnya karena diri kita (di)sibuk(kan) oleh aktivitas mengganti-ganti citra.

Orang-orang dalam kisah-kisah yang dituliskan Hesty pun menjadi seseorang. Bingkai seseorang dan yang tak tergantikan inilah yang bagi saya terasa mengesankan. Dituliskan oleh Hesty, bahwa: "...Kata orang, bepergianlah, maka engkau akan mengenal sahabat seperjalananmu, karena banyak hal yang akan teruji di sana..." (Bochum-Nijmegen dan Mimpi-Mimpi Masa Silam). Kisah-kisah yang dituliskan Hesty, baik melalui bentuk esai, puisi, dan foto, tak lain adalah usaha mengingat dan memberi harapan pada orang-orang, pada waktu, pada ruang, yang dari situ menempatkan kita pun menjadi seseorang bagi yang lain, bagi yang tidak tergantikan itu.

Teruntuk para sahabat yang telah membantu saya hingga buku ini lahir, saya haturkan terima kasih sebesar-besarnya dari hati yang paling dalam. Semoga karya kecil ini menemui perannya, memberikan sepercik manfaat bagi orang-orang di sekelilingnya.

Bandung, 8 Oktober 2015