Monday, April 12, 2021

Musim Vaksin COVID-19 - Yuk Mengenal Jarum Suntik!

Jarum suntik atau jarum hypodermic adalah salah satu alat yang paling banyak digunakan dalam dunia kesehatan. Kebutuhannya semakin meningkat dari waktu ke waktu.

Dengan ditemukannya vaksin COVID-19, barang ini kian akrab menyapa kita sehari-hari. Jika 70% persen saja dari seluruh penduduk dunia harus divaksin untuk mencapai herd immunity, artinya setidaknya dibutuhkan hampir 11 miliar jarum suntik untuk kebutuhan penyuntikan vaksin COVID-19. Angka ini belum termasuk kebutuhan di luar itu.

Ilustrasi penyuntikan vaksin COVID-19. (Senior Enlisted Advisor to the Chairman (SEAC) Ramon "CZ" Colon-Lopez receives a COVID-19 vaccine at Walter Reed National Military Medical Center, Bethesda, Md., Dec. 21, 2020. (DOD Photo by Navy Petty Officer 1st Class Carlos M. Vazquez II. Wikipedia).

Istilah hypodermic berasal dari kata hypo yang berarti di bawah, dan dermic yang berarti kulit. Jarum suntik dinamakan dengan istilah ini karena digunakan untuk melakukan prosedur penyuntikan sampai ke area di bawah kulit. 

Untuk tujuan penyuntikan atau pengambilan sampel jaringan dari dalam tubuh, jarum hypodermic terbuat dari bahan logam berbentuk tabung berongga dengan ujung (tip) yang sangat tajam dan biasanya digunakan bersamaan dengan syringe yang berfungsi untuk menampung cairan.

Sejarah Jarum Hypodermic

Sejarah mencatat bahwa jarum hypodermic pertama kali digunakan oleh Christopher Wren, seorang arsitek Inggris, pada 1656 untuk menyuntikkan obat ke pembuluh darah vena pada anjing. Setelahnya, beberapa ilmuwan sempat melakukan percobaan penyuntikan serupa pada manusia namun belum membuahkan hasil yang memuaskan. Sampai akhirnya, pada 1844, penyuntikan dengan jarum hypodermic berhasil dilakukan pertama kalinya pada manusia oleh seorang dokter Irlandia bernama Francis Rynd. 

Bagian-bagian Jarum Hypodermic

Berdasarkan ISO 7864 2016 (Sterile Hypodermic Needle for Single Use Requirements and Test Methods), jarum hypodermic terdiri bagian-bagian utama yaitu hub, penghubung (jointing medium), batang jarum, stylet dan penutup jarum (cap). Bagian hub, penghubung dan cap biasanya terbuat dari bahan plastik, sedangkan batang jarum dan stylet terbuat dari bahan logam. 

Tiga bagian utama batang jarum spinal (a) stylet, (b) batang jarum berongga, (c) stylet + batang jarum berongga. (Dokumen pribadi, Hesty Susanti).

Untuk jarum dengan diameter di atas 0,05 inchi, terutama jarum spinal (untuk penyuntikan di area tulang belakang) biasanya terdapat bagian batang tambahan yang disebut stylet, yaitu berupa silinder pejal (tidak berongga) yang memiliki diameter sama dengan diameter dalam dari bagian batang jarum yang berongga. Bagian ini dimasukkan ke dalam rongga batang jarum dengan tujuan untuk memperkokoh batang jarum sehingga tidak mudah bengkok atau patah ketika ditusukkan ke dalam bagian tubuh.

Bentuk ujung jarum hypodermic dikenal dengan istilah bevel. Bevel standar yang paling umum berbentuk irisan miring pada bagian ujung jarum, misalnya pada jenis Quincke. Bentuk bevel dengan variasi berbeda biasanya terdapat pada jarum spinal, di mana dikenal bevel berbentuk Tuohy (ujung sedikit melengkung) atau variasi lain dengan lubang tidak pada bagian paling ujung jarum, yaitu jenis Pencan, Sprotte, dan Whitacre.

Material Jarum Hypodermic

Jarum hypodermic terbuat dari bahan logam. Material yang paling banyak digunakan, yaitu baja stainless seri 300 atau 400, nikel (inconel), titanium, atau campuran nikel dan titanium (nitinol). Bahan-bahan ini dipilih karena memiliki sifat anti karat, kokoh, fleksibel dan tidak mudah patah. 

Material dasar ini biasanya dilapisi lagi dengan bahan tertentu untuk meningkatkan kehalusan permukaan agar lebih mudah ketika disuntikkan ke tubuh kita. Untuk kebutuhan tertentu, pelapisan dengan material tambahan dilakukan dengan tujuan agar jarum lebih mudah terlihat ketika penusukannya dilakukan dengan bantuan ultrasonografi (USG).

Ukuran Jarum Hypodermic

Ukuran jarum hypodermic mengacu kepada ukuran gauge (G) yang menunjukkan ukuran diameter dalam dan diameter luar tabung. Standar gauge (G) yang paling umum digunakan adalah Birmingham Gauge yang membagi ukuran diameter kawat logam dari ukuran 5/0G hingga 36G. Semakin besar angka G, maka semakin kecil diameter jarumnya.

Ukuran Birmingham Gauge yang digunakan khusus untuk jarum hypodermic kemudian dilengkapi pula dengan standar ukuran diameter dalam, ketebalan dinding tabung jarum, serta kode warna pada bagian penghubung antara jarum dan syringe (Luer connector) untuk memudahkan penggunaannya. 

Jarum hypodermic dengan berbagai ukuran. (6 hypodermic needles on luer connectors; from top to bottom by Birmingham gauge:Terumo 26G x 1/2" (0.45 x 12mm) (brown)Terumo 25G x 5/8" (0.5 x 16mm) (orange)Becton Dickinson 22G x 1 1/4" (0.7 x 30mm) (black)Becton Dickinson 21G x 1 1/2" (0.8 x 40mm) (green)Becton Dickinson 20G x 1 1/2" (0.9 x 40mm) (yellow)Terumo 19G x 1 1/2" (1.1 x 40mm) (white). Zephyris. Wikipedia).

Selain ukuran diameternya, jarum hypodermic juga dibagi-bagi dalam ukuran panjang sesuai dengan kebutuhannya, mulai dari panjang 0,5 inchi sampai 7 inchi. Jarum-jarum dengan ukuran di atas 3,5 inchi biasanya digunakan untuk penyuntikan di area tulang belakang (spinal) atau area abdominal (perut).

Ketajaman Jarum Hypodermic

Jarum hypodermic harus dibuat dengan standar ketajaman tertentu untuk meminimalkan rasa sakit atau trauma ketika disuntikkan ke tubuh kita. Untuk menguji ketajaman jarum hypodermic digunakan beberapa metode, antara lain pencitraan dengan mikroskop atau uji gaya (force). 

Salah satu metode mutakhir yang mulai banyak digunakan saat ini adalah mikroskop elektron (scanning electron microscopy/SEM) untuk mencitrakan bagian ujung (tip) jarum sampai skala nano meter (seper semiliar meter). Jika diameter sel kulit manusia sekitar 30 mikrometer (seper sejuta meter), maka lebar bagian ujung jarum hypodermic (tip) tidak boleh lebih dari 30 mikrometer. 

Bagian ujung jarum (tip) diperbesar dengan scanning electron microscopy/SEM. (Sharpness of Hypodermic Needles. Application Note. EM Analytical Ltd., United Kingdom. http://www.emanalytical.co.uk/wp-content/uploads/2019/09/Needle-application-note.pdf).

Metode lain untuk menguji ketajaman jarum dilakukan dengan menghitung gaya (force) ketika jarum disuntikkan ke tubuh, yaitu berupa gaya penetrasi/tembus (penetration force) dan gaya luncur (sliding force). Dalam pengujian, digunakan bahan polyurethane sebagai tiruan jaringan kulit dan otot manusia. 

Sampel jarum hypodermic yang diuji akan ditusukkan ke bahan polyurethane dengan kecepatan penusukan tetap, kemudian gaya (force) dihitung sebagai fungsi dari kedalaman menggunakan alat pengukur berupa load cell. Gaya penetrasi merupakan gaya maksimal yang dibutuhkan oleh jarum untuk menembus bahan, sedangkan gaya luncur adalah gaya rata-rata gesekan jarum yang dihitung senilai 80% dari kedalaman yang dicapai jarum. 

Penanganan Limbah Jarum Suntik

Jarum suntik merupakan alat kesehatan yang penggunaannya hanya sekali pakai untuk menghindari kontaminasi yang dapat menyebabkan infeksi dan penularan penyakit. Oleh karena itu, pasca penggunaannya membutuhkan penanganan khusus. 

Berdasarkan panduan yang dikeluarkan oleh FDA (Food and Drug Administration) Amerika Serikat, limbah jarum suntik harus dimasukkan ke wadah khusus jarum suntik bekas segera setelah digunakan. Wadah ini harus diletakkan pada tempat yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak maupun binatang peliharaan dan hanya boleh diisi maksimal sampai ¾ kapasitas penuhnya.

Seperti jarum suntiknya itu sendiri, wadah khusus untuk membuang jarum suntik bekas ini juga hanya digunakan untuk sekali pakai. Wadah ini harus dikumpulkan ke area khusus, terpisah dari limbah-limbah kesehatan jenis lainnya untuk dikirimkan ke fasilitas penanganan limbah khusus jarum suntik. 

Cara paling umum untuk menangani limbah jarum suntik adalah melalui metode insinerasi (incineration) atau pembakaran. Meskipun metode insinerasi dapat memusnahkan limbah jarum suntik, namun hasil pembakarannya dapat menimbulkan zat-zat (biasanya berupa gas) berbahaya yang memerlukan penanganan khusus sebelum dibuang ke lingkungan.

Para ahli kemudian mengembangkan cara-cara lain yang lebih praktis dan ramah lingkungan yakni menggunakan mesin penghancur yang dilengkapi sekaligus dengan mesin sterilisasi. Dengan cara ini, logam dan bahan lain dari jarum suntik dapat dipisahkan dan didaur ulang kembali sebagai bahan mentah untuk membuat barang baru.

Takut Jarum Suntik?

Jika Anda takut disuntik, Anda tidak sendirian. Secara statistik, 22% orang dewasa mengalami ketakutan ini. Rasa takut akan jarum suntik dikenal dengan needle phobia atau aichmophobia. Menurut penelitian oleh Dr. James G. Hamilton, needle phobia kemungkinan besar bersifat genetik yang akarnya bisa ditelusuri dari sejarah evolusi manusia. 

Selama ribuan tahun yang lalu, manusia menghindari benda tajam sebagai bagian dari insting untuk bertahan hidup dengan cara menghindar dari kemungkinan bahaya. Tingkat keparahannya bisa bervariasi, dari mulai denyut jantung dan tekanan darah yang meningkat atau menurun, hingga kehilangan kesadaran (pingsan).

Jarum suntik dan syringe diproduksi dalam jumlah miliaran setiap tahunnya di seluruh dunia. Alat kesehatan yang tergolong sederhana ini telah membantu para tenaga kesehatan dalam menyelamatkan banyak pasien selama hampir dua abad terakhir. 

Perkembangannya telah mewarnai perjalanan panjang kehidupan manusia sampai kepada era sekarang ketika kita semua menghadapi pandemi COVID-19. Dengan pencapaian ini, tak berlebihan rasanya jika jarum suntik bisa disebut sebagai salah satu penemuan terhebat dalam sejarah peradaban umat manusia.

Referensi

1.Kucklick, T.R. The Medical Device R&D Handbook. CRC Press, 2013.

2.Sharpness of Hypodermic Needles. Application Note. EM Analytical Ltd., United Kingdom. http://www.emanalytical.co.uk/wp-content/uploads/2019/09/Needle-application-note.pdf

3.Leonardi, L., Vigano, M., and Nicolucci, A. Penetration Force and Cannula Sliding Profiles of Different Pen Needles: the PICASSO Study. Medical Devices: Evidence and Research. 2019, 12: 311-317.

4.Majcher, K., et al. Assessing the Sharpness of Hypodermic Needles after Repeated Use. Canadian Veterinary Journal. 2018, 59: 1112-1114.

5.Pereira, I.B., et al. Ultra-structural Evaluation of Needles and Their Role for Comfort during Subcutaneous Drug Administration. Journal of School of Nursing University of Sao Paulo. 2018, 52: e03307.

6.Craig, R. A History of Syringes and Needles. Faculty of Medicine, The University of Queenslans, Australia. 2018. https://medicine.uq.edu.au/blog/2018/12/history-syringes-and-needles

7.Best Way to Get Rid of Used Needles and Other Sharps. US Food and Drug Administration. 2021. https://www.fda.gov/medical-devices/safely-using-sharps-needles-and-syringes-home-work-and-travel/best-way-get-rid-used-needles-and-other-sharps

8.Dialysis Needle Sharpness Testing for Patient Comfort. News Medical Life Sciences. 2018. https://www.news-medical.net/whitepaper/20171018/Dialysis-Needle-Sharpness-Testing-for-Patient-Comfort.aspx

9.Birmingham Wire Gauge. The Engineering ToolBox. https://www.engineeringtoolbox.com/BWG-wire-gage-d_508.html

10.Sharps Waste Disposal: A How-to Guide. Cellitron. 2019. https://celitron.com/en/blog/sharps-waste-disposal


Artikel ini pertama kali terbit di Kumparan:

Musim Vaksin COVID-19 - Yuk Berkenalan dengan Jarum Suntik!


Friday, April 09, 2021

Gelombang Ultrasonik untuk Deteksi Dini Kerusakan Rel Kereta Api

Kereta api telah lama menjadi moda transportasi massal yang menjadi andalan masyarakat. Di Indonesia sendiri, jalur rel kereta api telah ada sejak tahun 1867 ketika Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NV. NISM), perusahaan kereta api Hindia Belanda, membangun jalur kereta api untuk mengangkut hasil bumi ke pelabuhan kolonial Belanda. Sebagian jalur kereta tersebut masih digunakan sampai sekarang. Hingga tahun 2010, panjang rel kereta api yang beroperasi di Pulau Jawa dan Sumatera mencapai 4.678 km.

Kereta pada masa kolonial Belanda. (A Dutch East Indian Railway Company steam train crosses a railway bridge over the Code River. Wikipedia).

Kebijakan Rencana Strategis Perkeretaapian Indonesia tahun 2015-2019 menargetkan percepatan proyek pembangunan jalur kereta api di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Dengan kebijakan ini, pemerintah berencana menjadikan kereta api sebagai salah satu moda transportasi massal utama di masa mendatang. Beberapa contoh proyek yang telah berjalan, yaitu pengembangan jalur ganda di wilayah utara Jawa, pengembangan kereta cepat Jakarta-Bandung, dan proyek Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta, serta Light Rail Transit (LRT) Jakarta dan Palembang.

Rel sebagai Bagian Penting Keselamatan Moda Transportasi Kereta Api

Berdasarkan data investigasi kecelakaan perkeretaapian tahun 2010-2016 yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), 68% kecelakaan kereta api disebabkan oleh anjlokan atau tergulingnya kereta api, di mana 41% penyebabnya adalah masalah prasarana.

Penyebab paling umum terjadinya anjlokan, antara lain kegagalan pada komponen rel, seperti rel rusak, rel terlepas, atau terjadi pergeseran rel. Hal ini mengindikasikan bahwa pemeliharaan kondisi rel sebagai prasarana utama adalah bagian penting yang harus menjadi perhatian untuk meningkatkan keselamatan transportasi kereta api.

Ilustrasi kerusakan pada badan rel. (A damaged piece of rail on a line belonging to Union Pacific going through Santa Cruz. Grendelkhan. Wikipedia).

Kerusakan rel kereta dapat disebabkan antara lain, karena korosi (karat), paparan cuaca dan suhu dari lingkungan, serta tekanan dan gesekan terus menerus yang dialami baja rel akibat beban kereta yang melewatinya sehingga dapat menimbulkan keausan dan cacat berupa retakan atau bahkan patahan, baik pada permukaan maupun bagian dalam badan rel.

Inspeksi atau Pemeriksaan Kondisi Rel

Inspeksi atau pemeriksaan rutin terhadap kondisi rel merupakan prosedur wajib untuk pemeliharaan rel. Saat ini di Indonesia, standar dan tata cara inspeksi rel kereta api mengacu kepada Peraturan Menteri Perhubungan RI No. 32 tahun 2011, baik dalam skala harian, bulanan, dan tahunan.

Inspeksi dilakukan secara langsung (visual) menggunakan lori inspeksi untuk memastikan jalur rel kereta senantiasa bebas rintangan/benda penghalang, serta memastikan sambungan rel (baut) dan sistem penambat tetap dalam kondisi baik. Kementerian Perhubungan RI saat ini juga memiliki kereta inspeksi yang memanfaatkan teknologi laser untuk mengevaluasi keausan pada permukaan rel.

Pemeriksaan rel dengan metode langsung (visual) memiliki kelemahan karena cukup memakan waktu, subjektif, dan sangat bergantung kepada keterampilan dan pengalaman petugas, sehingga akurasi hasil pemeriksaan bisa menjadi kurang andal, apalagi untuk kerusakan yang terjadi pada bagian dalam badan rel yang tidak dapat diamati secara langsung.

Karena kekurangan ini, para peneliti di seluruh dunia mengembangkan cara-cara lain untuk menginspeksi kondisi rel kereta dengan lebih baik. Sebagian besar cara-cara ini dilakukan dengan metode uji tak merusak (UTM) (non-destructive testing/NDT), antara lain dengan metode radiography (x-rays), ultrasonik, Eddy currents, kebocoran flux magnetik (magnetic flux leakage), dan laser.

Metode Uji Tak Merusak (UTM) Ultrasonik

Di antara metode uji tak merusak (UTM) yang paling umum digunakan untuk menginspeksi kondisi rel kereta di seluruh dunia adalah metode UTM ultrasonik. Gelombang ultrasonik dihasilkan ketika terjadi getaran atau vibrasi dengan frekuensi atau tingkat kekerapan yang sangat tinggi, gelombang bunyi yang melebihi ambang batas pendengaran manusia, yakni di atas 20 kiloHertz (20 ribu getaran per detik). Rentang frekuensi gelombang ultrasonik yang biasa dimanfaatkan untuk inspeksi rel kereta berkisar antara 50 kiloHertz – 10 MegaHertz (10 juta getaran per detik).

Metode ultrasonik dipilih karena berbagai kelebihan, antara lain gelombang ultrasonik memiliki sifat dapat melewati bahan dengan sensitivitas tinggi terhadap perubahan kerapatan udara dan logam. Selain itu, karena memiliki frekuensi yang sangat tinggi, gelombang ultrasonik dapat dipantulkan oleh permukaan yang sangat kecil. Dengan kedua sifat ini, gelombang ultrasonik dapat mendeteksi kerusakan, deformasi, atau keretakan yang sangat halus, baik pada permukaan mapun bagian dalam badan rel (struktur internalnya).

Secara umum, terdapat 2 konfigurasi paling umum dari metode UTM ultrasonik untuk inspeksi rel kereta, yaitu metode pulse-echo dan time-of-flight. Pada metode pulse-echo, hanya digunakan satu buah transduser yang berfungsi sebagai pengirim/pemancar sekaligus penerima gelombang ultrasonik. Sedangkan pada metode time-of-flight digunakan 2 buah transduser, satu berfungsi sebagai pengirim/pemancar gelombang ultrasonik ke rel, ditambah satu lagi sebagai penerima gelombang ultrasonik dari rel.

Metode pengukuran pulse-echo (a) dan time-of-flight (b). (Suprijanto dkk, dokumen pribadi).

Untuk mengetahui besar dan kedalaman cacat pada struktur internal badan rel, maka dilakukan analisis pada sinyal pantulan gelombang ultrasonik yang teramati pada layar pengamat (osiloskop). Selanjutnya, sinyal yang terekam dari osiloskop dapat diproses lebih lanjut di komputer.

Apabila terdapat cacat pada bagian dalam badan rel, maka gelombang ultrasonik akan dipantulkan kembali oleh bagian cacat (flaw) tersebut karena adanya perubahan kerapatan bahan dan udara di dalam rel, dengan waktu tempuh yang lebih cepat jika dibandingkan pantulan dari dinding belakang badan rel (backwall).

Pemeriksaan cacat (flaw) pada sampel badan rel dengan metode ultrasonik. (Sinta, Tesis Magister Instrumentasi dan Kontrol, ITB, 2019).

Sederhananya seperti ini. Misalnya diketahui:

·  Kecepatan rambat gelombang ultrasonik pada bahan rel (baja), c = 5.920 meter/detik.

·   Tinggi rel tipe R-54, L = 159 milimeter (seper seribu meter).

·  Maka, pantulan gelombang ultrasonik dari rel normal (tanpa cacat) akan tiba kembali di transduser dalam waktu t = (2 × L) dibagi c = (2 × 159 milimeter) dibagi 5.920 meter/detik = 53,7 mikrodetik (sepersejuta detik).

Jika terdapat cacat pada rel, maka pantulan gelombang ultrasonik yang akan diterima kembali oleh transduser menjadi lebih cepat, yakni kurang dari 53,7 mikrodetik. Dengan hasil ini, maka dapat diketahui kedalaman cacat dengan cara berikut:

s = (c × t) dibagi 2

Dengan s adalah kedalaman cacat, c adalah kecepatan rambat gelombang ultrasonik pada bahan rel (baja), dan t adalah waktu tempuh gelombang.

Penentuan kedalaman cacat (flaw) pada sampel badan rel dengan metode ultrasonik. (Sinta, Tesis Magister Instrumentasi dan Kontrol, ITB, 2019).

Perkembangan dan Tantangan ke Depan

Tantangan selanjutnya adalah mengembangkan sistem pengukuran yang dapat dioperasikan dengan lebih cepat misalnya dengan cara mengintegrasikan/menyatukan perangkat uji ultrasonik ini pada kereta atau lori inspeksi yang dapat dilewatkan pada rel yang ingin diperiksa dengan kecepatan relatif tinggi jika dibandingkan dengan pemeriksaan manual. Pada perkembangan selanjutnya, dapat ditambahkan sistem pengirim data jarak jauh, sehingga data pengukuran dari lapangan dapat diamati langsung oleh petugas di stasiun pemeriksa tanpa harus berada langsung di lapangan.

Dengan metode yang relatif sederhana ini, diharapkan kerusakan/cacat sekecil dan sedini mungkin pada rel kereta dapat dideteksi dengan baik sehingga dapat mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan. Di Indonesia sendiri, metode ultrasonik ini sudah banyak dikenal di lingkungan perkeretaapian. Namun, dalam penerapannya di lapangan masih terkendala oleh masalah teknis operasional, kurangnya tenaga ahli, serta penyediaan perangkat pengujian yang masih bergantung kepada luar negeri. Untuk itu diperlukan keseriusan tidak hanya dari pihak pemerintah saja, namun dari semua pengampu kebijakan terkait, termasuk dukungan bagi para peneliti di dalam negeri.

Ilustrasi kereta melintas pada jalur rel yang melewati pegunungan. (Shatrishche Hill and ChS4T locomotive, Voronezh Oblast, Russia. Алексей Задонский. Wikipedia).

Lain waktu ketika Anda bepergian dengan kereta api, ingatlah bahwa banyak tangan-tangan tak terlihat yang bekerja bahu-membahu dibalik nyamannya Anda sebagai penumpang yang duduk di dalam gerbong kereta. Para petugas yang bekerja secara rutin memeriksa kondisi rel kereta untuk memastikan keselamatan perjalanan Anda adalah satu dari sekian banyak tangan-tangan tersebut, para pahlawan tanpa nama yang sering kali tak terdeteksi dalam radar kehidupan kita.

Referensi

1.Brook, M.V. (2012): Ultrasonic Inspection Technology Development and Search Unit Design – Examples of Practical Application. IEEE Press, John Wiley & Sons Inc.

2.Sinta. (2019): Pengembangan Sistem Uji Tak Merusak Ultrasonik Multi-frekuensi dengan Metode Pantulan Pulsa untuk Inspeksi Cacat Internal pada Rel Kereta Api dan Simulasi 3D dengan Metode K-Space Pseudospectral. Tesis Magister Instrumentasi dan Kontrol, Institut Teknologi Bandung.

3.Kabir, S., Alsulami, B. (2015): Assessment and Monitoring for Railway Tracks Reliability and Safety using Nondestructive Testing Measurement Systems. International Journal of Railway Research, 2(2): 24-32.

4.Vipparthy, S.T., et al.  (2015): Inspection of Rails using Interface of Ultrasonic Testing. International Journal Mechanical Engineering and Robotics Research, 4(1): 176-184.

5.Cannon, D.F. et al. (2003): Rail Defects: An Overview. Fatigue Fract Eng Mater Struct, 26: 865-887.


Artikel ini pertama kali terbit di Kumparan:

Gelombang Ultrasonik untuk Deteksi Dini Kerusakan Rel Kereta Api

Thursday, April 08, 2021

Brain-Computer Interface, Mengendalikan Kursi Roda Hanya dengan Pikiran

Setiap dari kita pasti akan mengalami proses penuaan. Salah satu efek yang paling dirasakan karena proses penuaan adalah terjadinya penurunan fungsi tubuh, baik secara fisik maupun mental. Proses alami ini menyebabkan para manula menjadi bergantung kepada orang lain untuk melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk fungsi motorik seperti berjalan.

Dalam hal ini, teknologi brain-computer interface (BCI) atau antarmuka otak-komputer hadir untuk membantu orang-orang yang mengalami gangguan motorik (kemampuan bergerak) atau kelumpuhan akibat proses penuaan, atau kecelakaan yang menyebabkan cedera pada sistem saraf, atau penyakit-penyakit yang berhubungan dengan saraf, misalnya stroke, cerebral palsy, amyotrophic lateral sclerosis (ALS), dan lain-lain.


Ilustrasi sistem Brain-Computer Interface (BCI). (Foto: pixabay).

Dalam tulisan ini, saya akan bercerita bagaimana teknologi BCI dapat menghubungkan otak manusia dan komputer, lalu memproses dan mengirimkan perintah-perintah dari otak tersebut ke perangkat eksternal untuk melakukan fungsi-fungsi tertentu, misalnya gerakan. 

Bagaimana Cara Mengekstrak Informasi Perintah dari Otak?

Otak adalah salah satu organ paling penting dalam tubuh kita. Ia berperan layaknya seperti “komputer” yang menjadi pusat pengendalian berbagai sistem tubuh lainnya, mulai dari ketika Anda berpikir dan memilih baju warna apa yang akan Anda pakai, sampai ketika Anda berbicara, atau menyetir mobil. Karena fungsi yang sangat vital ini, otak membutuhkan energi yang sangat besar. Hampir seperlima dari energi yang kita peroleh dari makanan digunakan oleh tubuh untuk kebutuhan otak.

Segala proses yang terjadi di dalam otak dikendalikan oleh aktivitas listrik dari sel-sel saraf (neuron). Anda bisa membaca artikel saya sebelumnya untuk mengetahui bagaimana sel-sel saraf menghasilkan listrik, pada tautan berikut:

Electromyography(EMG), Ketika Otot Rangka Manusia Menghasilkan Listrik

Pada orang-orang dengan gangguan motorik atau kelumpuhan, biasanya terjadi gangguan pada sel-sel saraf motorik yang menghubungkan otak dengan otot sebagai organ motorik. Jadi, sederhananya, perintah dalam bentuk sinyal-sinyal listrik yang dikirimkan dari otak tidak sampai ke otot. Meskipun orang tersebut misalnya ingin melangkahkan kaki, otaknya sudah berpikir untuk melakukan itu, tapi kakinya tidak dapat digerakkan.

Dalam kondisi ini, teknologi BCI dapat dimanfaatkan untuk “mengambil alih” informasi perintah dari otak tadi untuk kemudian dihubungkan dengan komputer. Informasi perintah dari otak merupakan representasi aktivitas listrik dari sel-sel saraf, sehingga dapat diekstrak dalam bentuk sinyal-sinyal listrik. 

Untuk melakukan hal ini, dikenal suatu metode yang disebut EEG (electroencephalography), yaitu suatu teknik perekaman sinyal listrik dari otak. EEG berasal dari 3 kata, yaitu electro yang berarti listrik, encephalo yang berarti hal-hal yang berhungan dengan otak, dan graphy yang berarti hal-hal yang berhubungan dengan tulisan atau bisa juga diartikan sebagai bidang keilmuan.

Berdasarkan cara mengekstrak informasi dari otak, teknologi BCI dapat dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu non-invasif dan invasif. Pada BCI non-invasif, elektrode EEG diletakkan pada permukaan kulit kepala tanpa melukai (non-invasif). Sedangkan pada BCI invasif, elektrode EEG diletakkan langsung pada permukaan otak sehingga dokter perlu melakukan prosedur pembedahan pada kepala. BCI invasif ini dikenal juga dengan electrocorticography (ECoG) atau intracranial electroencephalography (iEEG).

Sinyal-sinyal listrik yang dideteksi oleh elektrode ini kemudian dikirimkan ke sensor dan perangkat encoder EEG. Selanjutnya, pada encoder EEG akan dilakukan proses pengolahan sinyal, antara lain, pemisahan sinyal listrik dari derau (noise), yaitu komponen sinyal pengganggu yang bukan berasal dari aktivitas otak, proses penguatan sinyal oleh amplifier, dan lain-lain. Sederhananya, encoder ini akan mengolah sinyal listrik yang dikirimkan dari elektrode sehingga benar-benar menjadi sinyal listrik otak murni yang mampu terbaca oleh perangkat lunak di komputer. Pada tahap ini, otak dan komputer sudah bisa terhubung dengan baik.

Dari Komputer ke Perangkat Eksternal (Kursi Roda)

Langkah selanjutnya adalah menghubungkan informasi perintah dari otak dalam bentuk sinyal-sinyal listrik EEG yang sudah terkumpul di komputer tadi ke perangkat eksternal, misalnya dalam hal ini kursi roda. Sebelum itu, sinyal-sinyal EEG tadi perlu diolah lebih lanjut agar bisa diterjemahkan menjadi perintah-perintah gerakan pada kursi roda.

Sinyal-sinyal EEG tadi akan diklasifikasikan (dipilah-pilah) dan diproses lebih lanjut untuk menentukan sinyal mana yang benar-benar merepresentasikan perintah motorik dari otak. Bagian otak yang bertanggung jawab untuk memberikan perintah gerak motorik adalah pada bagian motor cortex, yang berada pada bagian frontal lobe (kepala bagian depan atas).

Metode pengolahan sinyal EEG sangat beragam, mulai dari pengolahan sinyal dalam domain frekuensi maupun domain waktu. Para peneliti berusaha untuk mengembangkan algoritme-algoritme tertentu agar sistem yang dihasilkan menjadi semakin cerdas. Dalam perkembangan terakhir, sistem pengolahan datanya sudah melibatkan metode-metode machine learning yang lebih canggih. 

Selanjutnya, setelah berhasil diklasifikasikan dalam bentuk perintah motorik/gerakan, informasi dari sinyal-sinyal EEG ini akan dikirimkan ke kursi roda untuk menggerakkannya. Misalnya, gerakan maju, mundur, berbelok, menghindari rintangan, dan sebagainya. Proses pengiriman informasi dari komputer ke kursi roda ini dapat dilakukan dengan kabel maupun nirkabel. Selain itu, komputer yang bertugas mengolah dan mengklasifikasikan informasi dari sinyal-sinyal EEG tadi dalam perkembangannya sudah banyak yang disatukan langsung dengan perangkat encoder EEG-nya, sehingga perangkatnya menjadi jauh lebih kecil dan ringkas.


Ilustrasi kursi roda dengan teknologi BCI. (Diwakar Vaish, the inventor of the wheelchair during press ceremony. Jasonprost. Wikipedia).

Dengan teknologi BCI ini, penyandang disabilitas yang mengalami gangguan motorik pada kaki dan/atau tangan dapat dibantu dengan kursi roda yang digerakkan dengan perintah otak. Pasien hanya perlu duduk pada kursi roda tersebut dan berpikir/berkehendak untuk melakukan gerakan-gerakan maju, mundur, belok, dan sebagainya. Selanjutnya sistem BCI yang terintegrasi dengan kursi roda tersebut yang akan melakukan gerakan-gerakannya. Intinya, selama otak pasien masih sehat, fungsi kaki dan tangannya dapat “diambil alih”  oleh kursi roda BCI ini. 

Perkembangan Teknologi BCI

Selain untuk membantu penyandang disabilitas dengan kursi roda BCI, teknologi ini dapat pula dimanfaatkan untuk keperluan lainnya. Misalnya, evaluasi dari sinyal EEG dapat digunakan untuk penanganan cedera pada sum-sum tulang belakang atau kelainan neurologi lainnya, misalnya migrain, sakit kepala pada bagian tertentu, atau dapat pula dikembangkan sebagai neuroprosthetic. 

Dalam perkembangan lain, teknologi BCI dapat dimanfaatkan untuk pengenalan suara ucap (speech recognition) secara otomatis. Dengan teknologi ini, sistem BCI dilatih untuk mengenali sinyal otak yang representatif untuk mengenali pola suara ucap sehingga dapat membantu orang-orang dengan gangguan wicara. 

Teknologi BCI termasuk salah satu teknologi mutakhir yang perkembangannya sangat pesat. Laporan dari Frost & Sullivan menyebutkan bahwa segmen pasar BCI secara global mencapai lebih dari 1 miliar USD. Segmen ini meliputi aplikasi dalam bidang kesehatan, hiburan dan gaming, neuromarketing, dan pelestarian lingkungan. Untuk saat ini, bidang kesehatan masih menempati lebih dari 50% dari total segmen pasar BCI secara global.

Tantangan global terutama di negara-negara maju di mana komposisi penduduk usia manula yang semakin dominan menjadi salah satu pemicu perkembangan teknologi BCI untuk bidang kesehatan ini. Lagi-lagi, pemanfaatan teknologi dalam berbagai bidang harus senantiasa diiringi kesadaran penuh akan usaha untuk menyeimbangkan manfaat dan risiko negatif yang mungkin timbul. 

Pemanfaatan BCI dalam bidang kesehatan diharapkan mampu membantu lebih banyak lagi para manula dalam menjalani keseharian mereka. Karena fase kehidupan sesungguhnya berputar dalam suatu siklus. Ketika lahir kita berada dalam keadaan lemah, kemudian tumbuh semakin kuat ketika dewasa, lalu dikembalikan lagi ke keadaan lemah pada usia senja. 

Referensi

1.Belkacem, A.N., Jamil, N., Palmer, J.A., Ouhbi, S., and Chen, C. (2020): Brain Computer Interface for Improving the Quality of Life of Older Adults and Elderly Patients. Frontiers in Neuroscience, 14: 692.

2.Mahmood, M., et al. (2019): Fully Portable and Wireless Universal Brain-Machine Interfaces Enabled by Flexible Scalp Electronics and Deep Learning Algorithm. Nature Machine Intelligence, 1: 412-422.

3.Tareq, Z., Zaidan, B.B., and Suzani, M.S. (2018): A Review of Disability EEG based Wheelchair Control System: Coherent Taxonomy, Open Challenges and Recommendations. Computer Methods and Programs in Biomedicine.

4.Brain-Computer Interface Hold a Promising Future. https://aabme.asme.org/posts/brain-computer-interface-the-most-investigated-areas-in-health-care-hold-a-promising-future

 Artikel ini pertama terbit di Kumparan:

Brain-Computer Interface, Mengendalikan Kursi Roda Hanya dengan Pikiran

Ultrasonik, "Musik" Tak Terdengar untuk Mengolah Bahan Makanan

Pemanfaatan gelombang ultrasonik telah lebih dahulu dikenal dalam dunia kedokteran. Sebagaimana yang dikenal masyarakat luas, metode pencitraan medis dengan ultrasonografi (USG) telah menjadi teknik standar untuk melihat keadaan janin dalam rahim ibu. Dalam kasus ini, USG dimanfaatkan sebagai “kamera”. Anda bisa membaca artikel saya sebelumnya untuk memahami bagaimana gelombang ultrasonik bisa menghasilkan gambar pada tautan berikut:

Tapi, tahukah Anda, bahwa ultrasonik bisa dimanfaatkan tidak hanya sebagai  “kamera” saja? Gelombang bunyi yang tak mampu kita dengar ini ternyata bisa digunakan untuk mengolah bahan makanan. Dari rumah sakit, kali ini gelombang ultrasonik akan merambat hingga ke dapur dan pabrik pengolahan makanan.

Ilustrasi bahan pangan. (Keith Weller, USDA ARS, Wikipedia)

Jenis-Jenis Gelombang Ultrasonik

Gelombang ultrasonik dihasilkan ketika terjadi getaran atau vibrasi dengan frekuensi atau tingkat kekerapan yang sangat tinggi, gelombang bunyi yang melebihi ambang batas pendengaran manusia, yakni di atas 20 kiloHertz (20 ribu getaran per detik). Rentang frekuensi gelombang ultrasonik yang biasa dimanfaatkan dalam dunia kedokteran dan pengolahan bahan makanan berkisar antara 20 kiloHertz – 10 MegaHertz (10 juta getaran per detik).

Perbedaannya, jika dalam dunia kedokteran digunakan gelombang ultrasonik dengan intensitas rendah, maka untuk aplikasi pengolahan bahan makanan, digunakan gelombang dengan intensitas tinggi. Gelombang dengan intensitas yang lebih tinggi memiliki daya yang lebih tinggi pula untuk setiap satuan luas bidang yang ia lewati. Sedangkan daya adalah perubahan energi per satuan waktu, atau kemampuan untuk melakukan suatu perubahan dalam satuan waktu.

Sederhananya, gelombang ultrasonik berintensitas tinggi yang dimanfaatkan untuk mengolah bahan makanan memiliki “daya rusak” yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan gelombang berintensitas rendah. “Daya rusak” ini yang selanjutnya dikendalikan kadarnya untuk mengolah bahan makanan, mulai dari sesederhana untuk mengiris sampai mengawetkan makanan. 

“Daya Rusak” Seperti Apa yang Dimanfaatkan untuk Mengolah Bahan Makanan?

Rentang frekuensi gelombang ultrasonik yang dimanfaatkan untuk mengolah bahan makanan setidaknya dapat dikategorikan menjadi dua jenis. Rentang pertama, rentang frekuensi rendah, yaitu sekitar 20 – 100 kiloHertz, dengan daya dan amplitudo gelombang yang besar. Pada rentang frekuensi rendah ini, gelombang ultrasonik akan menyebabkan perubahan sifat-sifat fisika-kimia (physicochemical) dan/atau struktur dari bahan makanan. Rentang ini dikenal juga sebagai power ultrasound. 

Rentang kedua, rentang menengah, yaitu berkisar antara 100 kiloHertz – 1 MegaHertz. Pada rentang frekuensi menengah ini, jika gelombang ultrasonik dikenakan pada bahan makanan, maka akan terjadi reaksi kimia dan terbentuknya radikal bebas. Karena sifat ini, maka rentang kedua ini dikenal sebagai sonochemistry (sono: bunyi, chemistry: kimia). 

Baik pada rentang frekuensi rendah dan menengah, gelombang ultrasonik akan merasuk dan merambat pada bahan yang dilaluinya (yang dalam hal ini bahan makanan) dalam bentuk gelombang sinusoidal. Anda bayangkan saja seperti gelombang tali yang diayunkan dengan salah satu ujungnya terikat, membentuk puncak dan lembah yang berulang-ulang. Rambatan gelombang ini direspons oleh molekul-molekul bahan dengan ikut bergetar secara elastis sehingga menimbulkan apa yang dinamakan efek kavitasi (cavitation). 

Pada saat terjadi efek kavitasi, pada bahan yang berupa cairan (atau mengandung cairan) akan terbentuk gelembung-gelembung udara berukuran sangat kecil (dalam ukuran mikro meter = sepersejuta meter atau nanometer = sepersemiliar meter). Jumlah gelembung-gelembung udara yang terbentuk akan bergantung kepada frekuensi, intensitas dan lamanya gelombang ultrasonik dikenakan pada bahan tersebut.

Setelah melewati titik jenuhnya, gelembung-gelembung udara ini kemudian akan pecah dengan kecepatan puluhan ribu kali per detik sehingga menghasilkan lonjakan energi, tekanan dan suhu yang sangat tinggi yang terpusat pada area tertentu pada bahan tersebut. Kondisi ini kemudian akan menimbulkan efek seperti gelombang kejut/geser (shear wave) dan terbentuknya radikal bebas. “Daya rusak” dari kedua kondisi inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk mengolah bahan makanan. Pengolahan makanan dalam bentuk apa saja yang dapat dilakukan dengan gelombang ultrasonik?

Memotong

Pekerjaan sederhana ini akan menjadi sedikit menantang jika kita dihadapkan dengan bahan makanan dengan jumlah yang sangat banyak, misalnya di pabrik pengolahan makanan. Dalam hal ini, gelombang ultrasonik dimanfaatkan dengan merambatkan energi getaran tingginya pada mata pisau logam untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan potongnya.

Dengan mekanisme ini, mata pisau akan bergetar dalam getaran yang sangat tinggi sehingga dapat memisahkan bahan makanan dalam potongan-potongan yang jauh lebih halus, dengan risiko keretakan/kehancuran bahan yang jauh lebih kecil. Metode ini juga sangat memudahkan untuk memotong bahan-bahan yang bersifat lengket, mudah hancur, makanan beku, atau yang bahannya cenderung tidak seragam (heterogen). 

Mengeringkan (Dehydration)

Untuk mengeringkan bahan makanan seperti buah-buahan dan sayur-sayuran, gelombang ultrasonik dimanfaatkan melalui mekanisme dehidrasi osmosis. Melalui mekanisme ini, efek kavitasi dari gelombang ultrasonik akan menyebabkan kandungan cairan pada buah/sayur “dipaksa” untuk keluar dari bahan dengan kecepatan yang sangat tinggi, sehingga proses pengeringannya menjadi jauh lebih cepat. Pada saat yang sama kandungan gula dalam buah/sayur juga dapat lebih terkonsentrasi sehingga menghasilkan kualitas bahan makanan kering yang lebih awet. 

Menyaring (Filtering)

Dalam industri pengolahan makanan yang melibatkan proses penyaringan dengan membran/selaput penyaring tertentu, penambahan gelombang ultrasonik akan mempercepat proses penyaringan dengan cara menguraikan molekul bahan makanan yang akan disaring sehingga menjadi lebih kecil.

Ekstraksi

Contoh proses ekstraksi dalam pengolahan bahan makanan misalnya ketika kita ingin memisahkan sari buah/sayur dari komponen padat atau ampasnya atau ketika kita ingin mengekstrak minyak dari biji-bijian. Dengan memanfaatkan efek kavitasi gelombang ultrasonik, proses ini dapat dipercepat dengan cara menguraikan molekul/sel tumbuhan dari bahan makanan yang diproses sehingga menjadi lebih kecil. Dengan cara ini, sari pati sayur/buah atau minyak akan lebih cepat terpisah dari ampasnya tanpa merusak kualitas nutrisi dari hasil ekstraksi. Metode ini dapat dimanfaatkan pula dalam industri obat-obatan misalnya untuk mengekstraksi antioksidan dari bahan-bahan herbal. 

Emulsifikasi

Proses emulsifikasi adalah suatu proses pemantapan emulsi atau penyatuan/pencampuran antara dua zat yang tidak dapat menyatu secara alami dengan menambahkan zat ketiga, kemudian dilakukan proses pengocokan. Dalam industri pengolahan bahan makanan, proses emulsifikasi ini banyak sekali digunakan, terutama dalam pengolahan bahan-bahan yang mengandung lemak atau minyak.

Dengan memanfaatkan efek kavitasi dari gelombang ultrasonik, bidang batas antara minyak dan air menjadi tidak stabil karena turbulensi molekul di sekitarnya, sehingga proses pencampurannya menjadi jauh lebih cepat. Selain itu, efek kavitasi juka menyebabkan penguraian molekul menjadi lebih kecil, sehingga tingkat keseragaman bahan (homogenitas) menjadi lebih baik.

Pembekuan (Freezing) dan Pencairan Makanan Beku (Thawing)

Untuk makanan beku, gelombang ultrasonik dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas bahan makanan dengan mengendalikan proses kristalisasi molekul cairan, misalnya pada es krim. Kebalikannya, gelombang ultrasonik dapat dimanfaatkan dalam proses pencairan bahan makanan beku (thawing) dengan cara menggetarkan molekul-molekul kristal es dengan frekuensi/tingkat kekerapan tinggi. Dengan cara ini, proses pencairan akan berlangsung jauh lebih cepat daripada hanya dibiarkan dalam suhu ruang.

Melunakkan Daging

Dengan mekanisme kavitasi dari gelombang ultrasonik, struktur protein dari daging dapat direkayasa sehingga menghasilkan daging yang lebih empuk dan lebih mudah untuk dimasak. 

Mengawetkan Makanan (Food Preserving)

Gelombang ultrasonik dapat dimanfaatkan untuk mengawetkan bahan makanan tanpa harus menggunakan bahan pengawet tambahan yang umumnya memiliki risiko kesehatan. Dengan gelombang ultrasonik, mikroorganisme dan/atau enzim-enzim tertentu yang terdapat dalam makanan dapat di-inaktivasi (di non-aktifkan perannya), sehingga proses pembusukan makanan dapat ditunda dan makanan akan menjadi lebih awet. 

Mekanisme ini kurang lebih hampir sama dengan apa yang kita lakukan ketika memanaskan makanan pada suhu tertentu. Dengan mengatur kadarnya, kita bisa memilih mikroorganisme dan/atau enzim-enzim mana saja yang ingin tetap dipertahankan, dan yang ingin dihilangkan, karena tidak semua mikroorganisme dan/atau enzim yang ada dalam bahan makanan itu merugikan. Bahkan banyak di antaranya justru sangat dibutuhkan oleh tubuh kita. 

Manfaat Lainnya

Selain dapat dimanfaatkan dalam proses pengolahan makanan, gelombang ultrasonik dapat pula dimanfaatkan untuk “mendiagnosis” bahan makanan. Dalam hal ini, yang dilakukan kurang lebih sama dengan pekerjaan dokter ketika meng-USG janin dalam rahim ibu. Perbedaannya, objeknya saja yang diganti dengan bahan makanan, misalnya sayur-sayuran atau buah-buahan.

Untuk aplikasi ini, digunakan gelombang ultrasonik dengan rentang frekuensi tinggi, yakni sekitar 1 – 10 MegaHertz, namun dengan daya yang rendah, sama seperti USG yang dimanfaatkan dalam dunia kedokteran. Pada rentang frekuensi tinggi dan daya rendah ini, gelombang ultrasonik yang digunakan tidak memiliki “daya rusak” seperti yang dimanfaatkan untuk proses pengolahan bahan makanan. 

Untuk aplikasi “diagnosis” bahan makanan ini, misalnya gelombang ultrasonik digunakan untuk mengetahui tingkat kematangan buah, mengetahui struktur, komposisi, dan tingkat keseragaman (homogenitas) bahan makanan, termasuk kandungan protein, air, atau lemak dalam bahan makanan. 



Ilustrasi Perangkat Ultrasonik dalam Industri Pengolahan Makanan. Schematic of bench (BSP-1200) and industrial (ISP-3000) scale ultrasonic liquid processors produced by Industrial Sonomechanics, LLC. (Peshkovs, Wikipedia).


Keunggulan Pemanfaatan Ultrasonik dalam Bidang Pangan

Teknologi ultrasonik terus berkembang dalam berbagai bidang, tak terkecuali dalam bidang pangan. Selain dari keunggulan-keunggulan khusus yang telah diuraikan di atas untuk setiap aplikasinya dalam bidang pangan, secara umum, teknologi ultrasonik memiliki keunggulan lain, di antaranya, relatif murah, sederhana, hemat energi, dan ramah lingkungan.

Dalam penggunaannya untuk skala yang lebih besar tentu saja pengembangan lebih lanjut dan terus-menerus tetap diperlukan untuk mengoptimalkan manfaatnya sekaligus memperkecil dampak negatif yang mungkin timbul. Tidak ada teknologi yang bisa lepas sepenuhnya dari risiko dan efek negatif, sehingga dalam memanfaatkannya, kita sebagai manusia harus tetap bijak. Karena sesungguhnya alam terkembang tempat kita belajar, bumi terhampar tempat kita menghabiskan masa tak hanya bersama sesama manusia saja, namun bersama-sama dengan makhluk hidup lainnya.

Referensi

1.Ashokkumar, M. (2015): Applications of Ultrasound in Food and Bioprocessing. Ultrasonics Sonochemistry, 25: 17-23.

2.Chemat, F., Zill-e-Huma., and Khan, M.K. (2011): Applications of Ultrasound in Food Technology: Processing, Preservation, and Extraction. Ultrasonics Sonochemistry, 18: 813-835.

3.Cheng, X., Zhang, M., Xu, B., Adhikari, B., and Sun, J. (2015): Applications of Ultrasound in Food and Bioprocessing. Ultrasonics Sonochemistry, 27: 576-585.

4.Gallo, M., Ferrara, L., and Naviglio, D. (2018): Application of Ultrasound in Food Science and Technology: A Perspective. Foods, 7: 164.

Artikel ini pertama kali terbit di Kumparan: