Wednesday, February 10, 2021

Pohon Rambutan Yai

Pergantian berupa-rupa kejadian dalam hidup kadang membawa kita kembali ke suatu masa yang rasanya tidak pernah tidak kita rindukan. Kejadian-kejadian itu tak melulu harus yang hebat-hebat. Kejadian-kejadian itu dapat pula meliputi sesuatu yang kecil, halus seperti pergerakan benda-benda yang tidak kita sadari, atau pergantian musim dan cuaca. Pergerakan matahari, aliran air, arah angin, dan bintang gemintang menyanyikan hidup pada bebijian yang berkecambah. Hara diisap oleh akar-akar tumbuhan, menyemi daun-daun, menyemai buah-buahan pada tangkai-tangkainya. 

Aku dilahirkan di tanah khatulistiwa yang disiram matahari sepanjang tahun. Pergantian musim-musim, panas dan hujan, berarti pula pergantian musim buah-buahan. Pertengahan musim hujan di awal tahun menandai salah satu musim buah kesukaanku sejak kanak-kanak, buah rambutan. Mengapa bagiku buah ini begitu istimewa, tak sekadar rasanya saja? Mari kuceritakan, Kawan. 

Dulu, dulu sekali, ketika aku masih kecil, tersebutlah seorang kakek, aku memanggilnya Yai. Beliau adalah tetangga kami, sekaligus keluarga dari pihak ayahku. Sejak aku bisa mengingat, yang kutahu Yai sudah pensiun. Dulu, kudengar beliau mengepalai Kantor Penerangan di kabupaten kami. 

Aku mengenal Yai sebagai seorang kakek yang rajin bercocok tanam. Apa saja yang ditanamnya pasti tumbuh dengan baik, berbunga, berbuah. Tangannya "dingin" kalau kata ibuku.  Hampir setiap hari ada saja tanaman yang dirawatnya. Sesekali aku melihatnya bepergian dengan sepeda phoenix. Rambutnya disisir rapi ke belakang, mengkilap dan wangi minyak rambutnya masih kuingat sampai sekarang. Lalu, rambut yang rapi itu akan ditutupinya dengan peci hitam dan sepeda pun dikayuhnya entah ke mana. Nanti, sepulangnya yang entah dari mana itu, ada saja cerita yang dibawanya. Yai juga kukenal sebagai sosok yang humoris dan ramah. Beliau mempunyai beberapa cucu, tapi yang juga bertetangga dengan kami dan umurnya tak berjauhan denganku hanya 4 orang. Mereka adalah sahabat-sahabat pertamaku dalam hidup. Kami tumbuh dan besar bersama dalam kasih sayang Yai. 

Di depan rumah kami dulu, pada sepetak tanah yang Yai jadikan kebun, tumbuhlah dua pohon rambutan. Sejak aku bisa mengingat, yang kutahu pohon rambutan itu sudah tinggi menjulang, cabang-cabangnya banyak sekali, rimbun pula daunnya. Saking rimbunnya, panas dan terik tak akan terasa bila kita berteduh di bawahnya. Ketika tiba musimnya, buah-buah manis itu akan menggelayut pada cabang-cabangnya, merah merona, menggoda tangan-tangan kecil kami. Tapi, aku tahu, Yai tak senang kalau kami memetik rambutan tanpa seizinnya. Maka, kami akan menunggu dengan sabar sampai tiba hari panen yang dinanti-nantikan. 

Ayahku tahu, aku menyukai buah rambutan. Maka, tak perlu menunggu hari panen itu pun, sejak para pedagang mulai menjual rambutan di pasar-pasar, ayahku pasti akan membelikan buah rambutan untuk dibawa pulang. Tapi, tetap saja, hari panen buah rambutan Yai adalah yang paling istimewa, tak pernah sama, tak ada yang bisa menggantikannya. 

Pada hari raya itu, aku, abangku, dan keempat cucu Yai akan bekerja sepanjang hari memetik buah-buah rambutan dari cabang-cabang rendah yang berada dalam jangkauan kami. Orang-orang dewasa akan memetik dari cabang-cabang yang lebih tinggi dengan memanjat atau dengan galah. Lalu, buah-buah rambutan itu akan dipilah-pilah, dibersihkan dari daunnya, dan diikat dalam kumpulan beberapa tangkai. Kami, anak-anak, akan bertugas membagi-bagikannya ke para tetangga, lalu sisanya dititipkan di kedai-kedai dekat rumah kami. 

Kenangan-kenangan sederhana tentang pohon rambutan Yai, selalu mengingatkanku kepada sahabat dan keluargaku, kepada kampung halamanku, kepada asal di mana aku bermula. Rambutan tak menjadi sekadar buah saja, ia adalah salah satu representasi paling manis dari kenangan masa kecilku, kenangan akan kasih sayang dari orang-orang terkasih. 

Bertahun-tahun kemudian, terlebih ketika aku merantau ke Eropa, di mana mendapatkan rambutan tak lebih mudah dari mencari ikan kala purnama, ketika aku benar-benar mendapatkannya, maka aku akan menyediakan waktu istimewa untuk mengingat Yai. Sekarang pun, meski aku sudah kembali ke tanah air dan mendapatkan buah rambutan tak lagi sesulit dulu, tetap saja awal tahun yang menandai musim rambutan itu selalu menjadi saat-saat yang istimewa. Maka, bagiku buah rambutan adalah buah kasih sayang, tak lebih dan tak kurang. 

Bandung, 10 Februari 2021





Tuesday, February 09, 2021

Kebebasan Berpikir

Pada gagasan tentang kemerdekaan, terkandung pula di dalamnya kebebasan berpikir. Jika engkau masih merasa takut untuk membaca buku-buku tertentu atau menyimak pembicaraan orang-orang tertentu karena kekhawatiran akan terpengaruh, bukan karena pilihan sadar masalah kesukaan saja, artinya engkau belum sepenuhnya berkuasa atas pikiranmu sendiri. Untuk sampai pada tahap ini, memang tidak serta merta terjadi begitu saja. Aku sendiri berproses sejak belia untuk memapar diriku sendiri dengan beragam pemikiran, tak peduli apapun pendapat orang tentang pemikiran-pemikiran tersebut. Aku lebih memilih untuk mencoba menyelaminya sendiri, membaca, mempelajari, menganalisis, membandingkan, berdiskusi dengan banyak orang, lalu memutuskan pada akhirnya, apakah pemikiran-pemikiran tersebut akan bersemayam dalam kepalaku sebagai sekadar pengetahuan saja, atau sebagai gagasan yang lebih besar untuk kuanut, tak terkecuali untuk masalah agama.

Mungkin terdengar liar dan berbahaya untuk sebagian orang, tapi tidak untuk kedua orang tuaku. Sejak kecil, aku dan abangku dibebaskan oleh mereka untuk memilih, untuk berpikir dan berpendapat, namun tentu dengan arahan-arahan yang kadarnya mereka atur sedemikian rupa, tidak mengekang tapi tidak pula lepas kendali, sampai pada saatnya ketika mereka yakin, aku dan abangku bisa berdiri sendiri. Dulu, kupikir, perlakuan yang kuterima ini biasa saja, tak ada yang istimewa, tapi semakin jauh aku merantau, semakin banyak orang yang kukenal, aku mendapati ternyata tak banyak anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan sepertiku, terlebih pula untuk seorang perempuan yang dibesarkan di dunia timur.

Di rumah kami dulu, aku membaca macam-macam buku, dari literatur tasawuf milik kakekku, novel-novel klasik dan modern, sampai komik milik abang sepupuku. Aku memilih pula untuk berpindah-pindah sekolah karena ternyata tak semua guru bisa berdamai dengan pertanyaan-pertanyaan kritisku. Konsekuensi positifnya aku bisa mengenal semakin banyak kawan dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, etnis, budaya, dan agama. Aku ingin melihat dunia dari kacamata mereka yang berbeda dariku dan itu tidak kurang menyenangkannya dari kesukaanku melahap buku-buku.

Kemerdekaan berpikir adalah anugerah yang mesti kurawat baik-baik karena ia adalah pedang bermata dua. Intelektualitas hanya satu dari tiga komponen yang membentuk manusia serta membedakannya dari binatang. Manusia adalah makhluk biologis, intelektual, sekaligus spiritual. Timpang salah satunya saja, tak akan pernah baik kesudahannya. Maka, pada akhirnya, perjalanan hidup kita tak lain adalah petualangan tak henti-henti dalam menyeimbangkan ketiganya sejak kali pertama Ibu mengantarkan kita ke dunia, hingga napas terakhir kelak mengembus dari dalam dada.

Bandung, 9 Februari 2021. 

Home

If there is any vivid loving memory of my past, my childhood home is definitely one of them. Often in my dream, I just live my life as beautifully as I did at that time. As if it was never a past nor a bitterness of longing for the things that will never come back.

I never forget the moment I stepped my feet out of its door for the last time to find out later that we never came back to that home again for the noble reasons my parents made that I actually never regret. That home will still be the same in my dream with all the memories of my childhood. Our family homes after that have never been crafted more deeply in my heart. 

Wherever and whenever I go to find a nest, one after another, from the sunny day at my boarding school in Bangka to the cruel winter in Bochum, from the bustling morning of my neighborhood in Pangkalpinang to the chilly morning in Bandung, bittersweet memories of my childhood home is my very own definition of homesick. It always has been and always will be.

Bandung, 9 February 2021.