Mamak, itu mungkin kata pertama yang bisa kuucapkan. Huruf ‘k’-nya itu tidak penuh, tidak seperti huruf ‘k’ dalam kata ‘banyak’ misalnya. Mamak adalah panggilanku untuk Ibuku, orang yang paling aku cintai. Dulu waktu aku masih kecil, kalau aku minta sesuatu pasti yang kupanggil Mamak, kalau aku sakit aku akan mengadu pada Mamak, kalau aku menangis yang kucari juga Mamak.
Mamakku adalah anak tertua dalam keluarganya. Jadi, dari kecil dia sangat mandiri. Mamak jarang bercerita tentang masa kecilnya, tapi adik-adiknya lah yang bercerita pada kami. Dari cerita-cerita paman-paman dan bibi-bibiku, aku bisa menangkap bahwa adik-adiknya begitu sayang dan bangga pada Beliau. Pernah sekali, Mamak bercerita padaku, “Mamak sangat sayang pada adik-adik Mamak, walau bagaimana pun keadaan mereka”. Mamak ingin agar aku pun menyayangi Abangku, sama seperti Beliau menyayangi adik-adiknya.
Mamak adalah seorang pekerja keras. Selain bekerja sebagai pegawai negeri, dulu waktu aku masih kecil, sepulang kerja Mamak masih menyempatkan diri untuk berdagang, mulai dari usaha berjualan makanan, toko sembako, membuat kerajinan renda, dan macam-macam usaha lainnya. Kata Mamak, jadi pegawai negeri itu cuma makan gaji yang tidak seberapa, kalau mau lebih ya harus usaha sendiri, jangan korupsi, bahkan menjual harga diri dengan mengemis. Dulu, Mamak dinas di Departemen Perdagangan, lahan ‘basah’ sebenarnya, kalau tak punya malu, banyak yang merendahkan diri dengan mengemis kepada pengusaha atau korupsi dan kolusi disana sini, “Tak tahu malu!”, kata Mamak. Aku simpan baik-baik pesan moral tersebut hingga kini.
Mamak adalah tipe orang yang mengajarkan segala sesuatu dengan contoh tindakan nyata. Kata Mamak kalau hanya dengan mulut, pelajaran hanya sampai di telinga, tak akan meresap dalam alam bawah sadar kita. Kalau mau mempunyai anak yang rajin sedekah, orangtua juga harus rajin sedekah. Hubungan silaturahim dengan saudara dan handai taulan pun begitu juga. Sejak kecil aku memang sering diajak Mamak berkunjung ke rumah kaum kerabat kami, agar tak putus tali silaturahim walau sampai masa yang akan datang. Kalau memberi sesuatu kepada orang lain, jangan pernah diungkit-ungkit, dan berilah selalu bagian terbaik yang kita punya, biar Allah saja yang akan membalasnya.
Mamak bukan tipe orang yang ekspresif untuk mengungkapkan cintanya kepada kami, anak-anaknya. Dulu, waktu aku belum mengerti, aku sering heran, mengapa Ibu dari teman-temanku sering menciumi anak-anaknya, karena seingatku aku tak pernah diperlakukan begitu oleh Beliau. Kalau Mamak mengenangkan kisah yang sebenarnya menggugah rasa, ekspresinya datar saja. Lambat laun, aku pun jadi paham, Mamak bukannya tak sayang padaku kalau dia tidak menciumku ketika aku berangkat sekolah seperti kawan-kawanku dulu. Mamak punya cara sendiri, aku tahu. Mamak tak pernah mengungkapkannya dalam kata-kata, semisal: “Mamak sayang padamu”, atau “Mamak rindu”, tak pernah, meskipun dalam momen-momen perpisahan di keluarga kami. Mungkin aneh bagi sebagian orang, tapi itulah Mamakku.
Sekian lama aku menjadi anaknya, diam-diam aku menjadi lebih sensitif dengan kata-kata Mamak. Dulu, waktu aku tamat SMA dan akan segera merantau ke Bandung untuk persiapan tes masuk perguruan tinggi, Mamak pernah bilang begini: “Coba ya kalau di sini itu ada sekolah yang bagus”, sudah hanya begitu saja kalimatnya. Aku paham, artinya kalau nanti ketika aku sudah merantau dan jauh dari Mamak, beliau pasti akan rindu. Pun, ketika aku akan merantau lebih jauh lagi, Mamak hanya bilang begini: “Sudah, seperti biasa saja lah, kamu pasti bisa”. Mamak juga tak pernah menangis di hadapan kami, sama seperti Mamo, sesedih apa pun itu. Paling hanya aku dan Abangku saja tukang menangis di rumah kami, dan itu pun sangat jarang sekali, kecuali waktu kami masih kecil dulu.
Mungkin, salah satu kebahagiaan menjadi orang tua adalah ketika Allah menganugerahkan lengkap anak laki-laki dan anak perempuan dalam sebuah keluarga. Kami hanya dua bersaudara, dan aku anak perempuan satu-satunya. Belasan tahun kemudian, ketika aku sudah dewasa, aku sering diliputi perasaan bersalah. Tak terbayang kecewanya Mamak ketika aku dulu tak pernah ingin memakai pakaian-pakaian yang beliau belikan, pakaian-pakaian cantik untuk anak perempuan. Aku juga tak pernah mau beliau dandani. Nasib pakaian-pakaian itu selalu berakhir di lemari sepupu-sepupu atau tetangga kami, ketika sampai tak cukup lagi untuk kupakai dan tak pernah sekali pun aku memakainya. Tapi, Mamak tak pernah menyerah, pakaian-pakaian itu selalu Beliau beli dengan harapan yang selalu sama, bertahun-tahun sampai aku tak ingat lagi berapa jumlahnya dan Mamak tak pernah mengeluh padaku. Maafkan aku, Mak.
Mamak punya cita-cita yang sederhana dan tidak muluk-muluk. Mamak tak pernah menyuruh kami untuk jadi ini itu. Kata Mamak, jadilah orang yang bermanfaat, dan kalau sudah memilih, harus bertanggung jawab dengan pilihan tersebut. Mungkin Mamak pernah berkeinginan seperti kawan-kawannya, punya anak perempuan yang merantau untuk sekolah, lalu pulang, mencari pekerjaan di sana, berkeluarga dan beberapa tahun kemudian menghadiahi masa tuanya dengan cucu-cucu yang lucu. Maafkan aku Mak, anakmu ini pemimpi gila, sampai sekarang pun masih kesana kemari tak tentu arah. Mamak hanya bilang begini: “Sudah, semua orang punya bagiannya masing-masing, kalau tak ada orang sepertimu, mungkin tak ada yang mau menjadi menteri dan mengurus macam-macam untuk negara kita ini”. Aku hanya diam, tak bisa berkata-kata lagi.
Mamak kini tak lagi muda. Sejak aku merantau, aku menjadi jarang bertemu Beliau. Pernah suatu sore ketika aku pulang, aku duduk-duduk berdua dengan Mamak. Mamak minta tolong dicarikan uban, aku diam dan ingin rasanya menangis, betapa sudah sangat jarang aku memperhatikan Beliau, tak terasa rambut Mamak sudah mulai memutih. Helai-helainya itu pasti tahu bagaimana perjuangan Mamak agar aku bisa sekolah, ironisnya agar aku bisa meninggalkannya, egois sekali, bukan?
Mamak, aku tahu pasti, ada cinta dalam setiap peluhmu, ada cinta dalam setiap marahmu, ada cinta dalam setiap diammu, ada cinta dalam setiap doamu. Dalam dinginnya sepertiga malam, selalu kau mohonkan doa terbaik untuk kami. Dalam diammu, sesungguhnya kau telah mengajarkanku agar tak pernah kalah dengan rasa rindu kepadamu. Karena sejauh apa pun aku berjalan, doamu akan selalu mengiringiku. Aku malu, belum bisa menjadi apa-apa untukmu, Mak. Kerjaku hanya bisa menyusahkanmu, dari dulu bahkan sejak aku masih dalam kandunganmu. Tak terhitung dosa yang sudah kuperbuat kepadamu, jangankan untuk menebusnya, untuk membalas jasamu pun aku tak akan pernah bisa, tak pernah, sampai mati pun. Ya Allah sayangilah Mamakku, berkahilah selalu usianya, berikanlah Beliau kesehatan, dan berikanlah kebahagiaan padanya di dunia dan akhirat-Mu kelak.
Di sini, matahari baru tenggelam, langit masih mendung, tapi aku tahu di atas sana pasti ada bintang. Kiranya, kerlipnya sampai ke rumah kami, 7000 mil dari tempatku berada saat ini. Sampaikan salam rinduku untuk Mamakku, walaupun beliau pasti sudah terlelap. Biarkan malam menghapus lelahmu, Mak.