Waktu berlalu begitu
cepat. Dari hari ke hari rasanya hanya seperti mimpi, tahu-tahu sudah malam,
tahu-tahu sudah lewat 1 hari, 1 minggu, 1 bulan, 1 tahun. Kita pun semakin
menua dan sisa usia semakin berkurang jatahnya. Lalu, kita sudah berbuat apa?
Untuk orang tua, keluarga, agama, bangsa dan negara. Kalau teringat akan
hal ini, aku selalu diliputi perasaan bersalah. Hingga hari ini rasanya aku hanya berorientasi
lebih banyak untuk diriku sendiri, jangankan memberikan manfaat untuk orang
lain, lebih banyak merepotkan lebih tepatnya.
Musim gugur tahun
2011 pertama kali aku menginjakkan kaki di Bochum. Belum banyak orang Indonesia
lainnya yang kukenal di kota kecil ini. Aku memulai studiku di Bochum atas
rekomendasi Pak Yul, dosenku yang ketika itu sedang ditugaskan sebagai Atase Pendidikan
di KBRI Berlin. Lewat email, Pak Yul memperkenalkanku dengan seorang mahasiswa
Indonesia lainnya yang kebetulan satu fakultas denganku di Ruhr Universität
Bochum, dialah Friska. Neng Pika, begitu kami memanggilnya, sedang menempuh program
sarjana di Teknik Elektro. Dia tinggal di Bochum bersama suaminya, Panji, yang
sama-sama sedang menempuh program sarjana. Aku mengenal pasangan muda
ini sebagai orang-orang yang santun, ramah dan penyayang.


Neng Pika dan Panji melalui hari-hari sebagai orang tua baru,
sekaligus tetap menjalani rutinitas mereka sebagai mahasiswa. Aku kagum dengan
ketangguhan pasangan muda ini. Hidup di perantauan tak pernah selalu mudah, berbagai
tantangan senantiasa menghadang untuk menguji kesabaran dan sejauh mana rasa
syukur kita kepada Sang Pencipta. Aku saja yang hanya sendiri dan tak harus
mengurus siapa-siapa, tak jarang gelagapan menghadapi berbagai tantangan hidup, apalagi bagi mereka sebagai keluarga muda yang berada jauh dari orang tua. Semoga Allah senantiasa memberikan kemudahan dan keberkahan untuk Neng Pika sekeluarga.
Abiyan tumbuh menjadi
anak yang sehat dan ceria. Anak lucu ini jarang menangis dan lagi-lagi
aku kagum melihat kesabaran Neng Pika dalam mengasuh Abiyan. Tak jarang kami
bepergian bersama. Dalam setiap kesempatan, Abiyan mau diasuh hampir oleh siapa
saja. Hanya sekali aku melihatnya rewel, waktu itu kami sedang di kereta dalam
perjalanan pulang ke Bochum. Mungkin lantaran capek dan lapar, Abiyan menangis
dan sedikit rewel. Selebihnya aku mengenal Abiyan sebagai anak periang.
Baru beberapa minggu yang lalu Abiyan bisa berjalan untuk pertama
kalinya. Tak terasa hari ini, di
hari ke 10 Ramadhan, tepat 1 tahun usianya. Teriring doa agar Abiyan tumbuh
menjadi anak yang cerdas, sehat, serta soleh dan mensolehkan orang-orang di
sekitarnya. Memperhatikan foto-fotonya yang kuabadikan dalam kamera dari waktu ke waktu, aku
takjub bagaimana Allah sebaik-baik Pencipta, menciptakan makhluk yang bernama
manusia. Sorot mata nan lugu, tangan dan kaki yang perlahan tegak, lalu melangkah dan kemudian berlari. Dalam setiap
isyarat penciptaan ini terselip tanda-tanda Kekuasaan Allah. Maka, tak ada hak kita untuk menjadi sombong, lalu lupa bahwa kita pernah dan akhirnya pula akan
menjadi makhluk tak berdaya.
Abiyan, kesayangan kami
Bila engkau dewasa nanti
Ingatlah bahwa engkau pernah berjanji
untuk menjadi sebaik-baik khalifah di muka bumi
Abiyan, kesayangan kami
Bila engkau dewasa nanti
Ingatlah orang tuamu
yang tak henti-henti
mendoakanmu lebih dari mereka sendiri
Teriring salam sayang dan doa dari Maktjik untuk Abiyan.
Bochum, 7 Juli 2014