Monday, March 22, 2021

Mendeteksi COVID-19 dengan USG, Sebuah Angin Segar di Tengah Pandemi?

Corona virus disease-2019 (COVID-19) telah dinyatakan WHO sebagai pandemi global sejak 11 Maret 2020. Wabah penyakit ini mengubah berbagai sendi kehidupan manusia di seluruh dunia, terutama tantangan terbesar tentu saja dihadapi oleh dunia kesehatan. 

Seiring dengan merebaknya COVID-19, diperlukan suatu sistem yang mampu mendeteksi penyakit ini secara mudah, murah, cepat, dan akurat untuk membantu penanganan dan mencegah penyebaran yang semakin luas. 

Metode Deteksi COVID-19
Saat ini, metode Reverse-Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) adalah metode pemeriksaan standar yang menjadi rujukan utama (gold standard) untuk mendeteksi COVID-19.

Namun, meskipun hasil pemeriksaan RT-PCR memiliki tingkat akurasi yang tinggi, metode ini memiliki kekurangan karena harus dilakukan secara invasif dengan memasukkan alat swab ke bagian dalam rongga hidung (nasofaring) dan tenggorokan.

Selain itu, metode membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan metode alternatif lainnya, misalnya pencitraan medis (x-ray, CT-scan, dan ultrasonografi/USG). Dalam praktiknya, untuk skrining umum secara cepat sebelum ditegakkan diagnosis oleh dokter, diperlukan metode-metode alternatif lainnya sebagai pendukung.
Mendeteksi COVID-19 dengan USG, Sebuah Angin Segar di Tengah Pandemi? (2)
Prosedur pengambilan sampel cairan dari rongga dalam hidung (nasofaring) dengan alat swab. (Raimond Spekking, Wikipedia).
Metode Deteksi COVID-19 Berbasis Pencitraan Medis
Metode pencitraan medis berbasis x-ray konvensional dan CT-scan dapat dijadikan rujukan untuk mendeteksi adanya kelainan pernapasan akut dari hasil analisis citra/gambar paru-paru.

Dalam penerapannya, metode ini tidak memungkinkan untuk digunakan langsung pada pasien di ruang IGD, ruang perawatan, ICU dan ruang isolasi. Pasien perlu dipindahkan ke ruang pemindaian (scanning) terpisah sehingga menambah risiko penularan/penyebaran infeksi dari pasien ke para tenaga kesehatan.

Masalah lain yang harus dihadapi di Indonesia adalah terbatasnya jumlah CT-scan, biaya scanning yang relatif mahal, standardisasi quality control dari citra medis yang masih harus ditingkatkan, serta risiko radiasi/ionisasi jika proses scanning dilakukan cukup intens.
Mendeteksi COVID-19 dengan USG, Sebuah Angin Segar di Tengah Pandemi? (4)
Hasil CT-scan paru-paru dari pasien COVID-19. (Jin, Y., Cai, L., Cheng, Z. et al., Wikipedia)
Metode Deteksi COVID-19 dengan Ultrasonografi
Salah satu alternatif lain yang telah banyak dipraktikkan di berbagai negara adalah metode POCUS (Point-of-care Ultrasound). POCUS merupakan metode pemindaian (scanning) USG yang diterapkan langsung pada pasien di tempat pasien berada (bedside), baik itu di ruang IGD, ruang perawatan, ICU, dan ruang isolasi.

Khusus untuk keperluan diagnosis COVID-19, pemindaian dilakukan pada area permukaan dada untuk memperoleh citra/gambar USG paru-paru tanpa metode invasif (melukai atau memasukkan alat ke dalam tubuh pasien). Dengan kelebihan ini, pasien tidak perlu dipindahkan ke ruang pemindaian terpisah sehingga dapat mengurangi risiko penularan.
Kelebihan lain dari metode USG paru-paru ini adalah penerapannya cukup menggunakan perangkat/mesin USG konvensional yang jumlahnya relatif banyak di faskes-faskes di Indonesia, sehingga biaya tes dapat ditekan serendah mungkin, tanpa risiko radiasi/ionisasi, serta hasil diagnosis dapat diperoleh secara cepat/langsung pada layar USG atau ponsel pintar.

Bagaimana Cara Mendeteksi COVID-19 dengan USG?

Prinsip dasar dari pencitraan (imaging) USG paru-paru untuk mendeteksi COVID-19 didasarkan pada terjadinya artifak tertentu pada citra USG paru-paru. Artifak, secara sederhana dapat diartikan sebagai “keanehan” atau perubahan yang terjadi pada citra USG yang tidak mewakili organ/objek sebenarnya yang sedang dipindai (di-scan).
Pada kondisi paru-paru normal, gelombang ultrasonik dari probe akan diteruskan oleh alveolus yang hanya berisi udara, sehingga bagian bawah citra USG di bawah lapisan paru-paru (pleura) memiliki pola seperti kantong udara kosong.

Secara umum, citra USG untuk paru-paru normal ditandai dengan pengulangan garis-garis horizontal (A-line) yang jaraknya teratur satu sama lain. A-line ini timbul dari hasil pemantulan gelombang ultrasonik oleh lapisan pleura.
Mendeteksi COVID-19 dengan USG, Sebuah Angin Segar di Tengah Pandemi? (5)
Citra USG paru-paru normal dengan kemunculan A-line berulang dengan jarak teratur. (Susanti, H., dan Suprijanto, 2021).
Kondisi terjadinya infeksi paru-paru dapat menyebabkan penebalan pada lapisan pleura atau timbulnya cairan pada alveolus atau bagian paru-paru lainnya. Kondisi ini menyebabkan terjadi pemantulan berulang-ulang (multiple reflection) dari gelombang ultrasonik oleh lapisan pleura dan/atau area alveolus dan sekitarnya.

Pemantulan berulang ini mengakibatkan terjadinya artifak khas pada citra USG paru-paru berupa garis-garis horizontal (A-line) berulang dengan jarak tidak teratur dan garis vertikal (B-line) berulang yang memotong atau menghilangkan A-line.

Sebelum menegakkan diagnosis, kemunculan artifak-artifak khas ini perlu pula ditambahkan dengan pengetahuan terhadap kondisi-kondisi khas lainnya pada citra USG paru-paru yang mengindikasikan gangguan/kelainan tertentu pada paru-paru.
Mendeteksi COVID-19 dengan USG, Sebuah Angin Segar di Tengah Pandemi? (6)
Garis-garis vertikal (B-line) pada paru-paru pasien pneumonia. (Neil.m.young, WikEM, The Global Emergency Medicine Wiki).
Perkembangan Teknologi USG untuk Deteksi COVID-19
Penilaian citra USG paru-paru ini memiliki tantangan lain dalam penerapannya, terutama dengan masifnya jumlah pasien per hari yang harus ditangani oleh tenaga kesehatan.

Keterbatasan jumlah dan kemampuan dokter dibandingkan dengan jumlah pasien dapat menurunkan ketepatan/akurasi penilaian langsung oleh dokter terhadap citra USG paru-paru.

Kondisi ini mendorong para peneliti untuk mengembangkan metode pengolahan citra/gambar USG dengan algoritme tertentu pada program komputer dan teknologi kecerdasan buatan (AI/Artificial Intelligence), sehingga penilaian citra USG paru-paru dapat dilakukan secara otomatis dan lebih cepat.
Bagaimana Membedakan Kondisi Paru-paru Akibat Infeksi COVID-19 dengan Kelainan/Penyakit Paru-paru lainnya?
Sampai saat ini, diagnosis kondisi paru-paru dengan metode USG ini belum memiliki konsensus internasional, pengujian kompetensi, serta sertifikasi yang dapat diterapkan pada semua pasien di setiap negara.

Selama ini, pengujian dilakukan berdasarkan pengalaman kasus per kasus. Untuk COVID-19 sendiri, sampai saat ini para ahli sudah mengembangkan beberapa acuan praktikal diagnosis untuk kasus-kasus khusus, misalnya yang dikembangkan oleh Youssef dkk untuk penerapan pada pasien terduga COVID-19 dalam kondisi hamil.
Meskipun demikian, metode pencitraan USG paru-paru untuk mendeteksi COVID-19 ini menjadi angin segar yang diharapkan dapat membantu melengkapi metode deteksi standar yang sudah ada sebelumnya.

Dengan kelebihannya yang praktis, aman, dan efektif, penggunaan USG paru-paru terutama di ruang IGD sebagai metode skrining awal COVID-19 semakin banyak diterapkan di berbagai negara.
Lalu, bagaimana Indonesia menjawab tantangan dan kesempatan ini?
Referensi
1. Susanti, Hesty, dan Suprijanto. (2021): Image Processing Framework for Pleural Line (A-Line) Detection in Video Lung Ultrasonography, IEEE-EMBS Conference on Biomedical Engineering and Sciences 2021.
2. Kulkarni, S., Down, B, dan Jha, S. (2020): Point-of-care (POC) lung ultrasound in intensive care during the COVID-19 pandemic, Clinical radiology.
3. Youssef, A., Serra, C., dan Pilu, G. (2020): Lung ultrasound in the COVID-19 pandemic: a practical guide for obstetricians and gynecologists, American Journal of Obstetrics and Gynecology.
4. Leidi, A., dkk. (2020): Point of care ultrasonography from the emergency department to the internal medicine ward: current trends and perspective, Internal and Emergency Medicine, 15(3): 395-408.
5. Buonsenso, D., dkk. (2020): Point-of-care lung ultrasound findings in novel coronavirus disease-19 pnemoniae: a case report and potential applications during COVID-19 outbreak, European Review for Medical and Pharmacological Sciences, 24(5): 2776-2780.
6. Fiala, M.J., dkk. (2020): A brief review of lung ultrasonography in COVID-19: is it useful? Annals of Emergency Medicine.
7. Poggiali, E., dkk. (2020): Can lung US help critical care clinicians in the early diagnosis of novel coronavirus (COVID-19) pneumonia? Radiology.
8. Huang, Y., dkk. (2020): A preliminary study on the ultrasonic manifestations of peripulmonary lesions of non-critical novel coronavirus pneumonia (COVID-19), Research Square.
9. Koenig, S., dan Tsegaye, A. (2019): POINT: Should point-of-care ultrasound examination be routine practice in the evaluation of the acutely breathless patient? Yes, Chest, 156(3), 424-426.
10. Peng, Q-Y., Wang, X-T., dan Zhang, L-N. (2020): Findings of lung ultrasonography of novel corona virus pneumonia during the 2019-2020 epidemic, Intensive Care Med, 46: 849-850.
11. Yoo, J, dkk. (2020): Emergency department lung ultrasound findings in novel coronavirus, Annals of Emergency Medicine.

'Melihat' dengan Gelombang Bunyi Ultrasonik, Indra yang Tertukar?

Ultrasonografi atau USG merupakan salah satu teknik pencitraan medis yang telah lama dikenal oleh masyarakat. Teknologi ini didasarkan pada gelombang ultrasonik yang sesungguhnya merupakan gelombang bunyi. 

Namun umumnya, masyarakat mengasosiasikan USG hanya terbatas untuk mencitrakan janin dalam kandungan, sebagaimana masyarakat sering mengasosiasikan x-ray hanya sebagai foto rontgen dada. 

Aplikasi lain dari USG dalam bidang medis belum terlalu banyak dikenal. Padahal, tahukah Anda? USG adalah salah satu teknik pencitraan yang memiliki banyak keunggulan dibandingkan teknik pencitraan medis lainnya.

Sejarah Ultrasonik
Sebelum mengenal bagaimana USG bekerja dan menghasilkan citra bagian dalam tubuh manusia, saya akan bercerita bagaimana teknologi ini bermula.

Menelisik sejarahnya, teknologi ultrasonik ternyata berasal dari laut, karena lautlah yang mula-mula mengilhami pemanfaatan teknologi ini sebagai indra penglihatan yang menggantikan keterbatasan manusia. Di kedalaman laut, indra penglihatan, penciuman, peraba dan perasa hampir-hampir tak bisa digunakan. Salah satu harapan yang tersisa adalah indra pendengaran.

Gelombang ultrasonik adalah harapan yang tersisa tersebut. USG adalah “indra pendengaran” yang direkayasa menjadi “indra penglihatan“ untuk mengamati berbagai fenomena yang terjadi di kedalaman samudra. Pada masa-masa awal pengembangannya, dikenal lah teknologi SONAR (Sound Navigation and Ringing) yang memanfaatkan gelombang ultrasonik untuk navigasi atau mendeteksi objek bawah laut.
'Melihat' dengan Gelombang Bunyi Ultrasonik, Indra yang Tertukar?  (8)
Aplikasi SONAR dengan memanfaatkan gelombang ultrasonik untuk navigasi dan deteksi objek bawah laut. (NOAA, Wikipedia)
Apa Itu Gelombang Ultrasonik?
Seiring dengan berkembangnya teknologi, pemanfaatan USG kemudian lebih banyak kita kenal dalam dunia medis.
Gelombang ultrasonik merupakan gelombang bunyi dengan frekuensi sangat tinggi melebihi ambang batas pendengaran manusia, yaitu di atas 20 kHz (20 ribu getaran per detik) sehingga kita tidak dapat mendengarnya.

Di alam, jenis-jenis hewan tertentu mampu mendengar jenis gelombang ini, di antaranya kelelawar dan lumba-lumba. Kedua hewan ini memanfaatkan gelombang ultrasonik untuk berkomunikasi dan bernavigasi untuk pergerakannya.
Bagaimana Gelombang Ultrasonik dapat Menghasilkan Gambar?Pada sebuah perangkat USG, bagian probe yang dikenakan ke permukaan tubuh kita adalah komponen yang dinamakan transduser. Transduser ini berfungsi untuk mengirimkan gelombang ultrasonik dari sumbernya ke tubuh kita, lalu gelombang tersebut akan mengenai organ/objek di dalam tubuh.

Selanjutnya, pantulan gelombang ultrasonik dari objek tersebut akan diterima kembali oleh transduser untuk diproses lebih lanjut menjadi gambar/citra.

Gelombang pantul dari objek tadi mengandung informasi berupa jarak/kedalaman dari seberapa lama waktu yang diperlukan untuk kembali ke transduser. Semakin cepat pantulannya diterima, artinya letak objeknya lebih dangkal, dan seterusnya.

Informasi lain yang terkandung dalam gelombang pantul ini bisa berupa kepadatan, tekstur, bentuk, atau jenis jaringan dari objek/organ tersebut. Semakin kuat intensitas pantulannya, artinya organ tersebut relatif lebih padat dibandingkan dengan jaringan di sekitarnya, dan sebagainya.
'Melihat' dengan Gelombang Bunyi Ultrasonik, Indra yang Tertukar?  (10)'Melihat' dengan Gelombang Bunyi Ultrasonik, Indra yang Tertukar?  (11)
Kiri: Probe USG yang dikenakan ke permukaan tubuh manusia sebagai pengirim dan penerima gelombang ultrasonik. (Drickey, Wikipedia). Kanan: Perangkat/"mesin" USG yang umum digunakan di fasilitas kesehatan. (Drickey, Wikipedia)
Informasi-informasi ini kemudian diterjemahkan oleh perangkat USG sebagai gambar dengan skala keabuan (grayscale) tertentu, atau masyarakat mengenalnya sebagai foto USG “hitam putih”.

Objek-objek yang letaknya lebih dangkal dari permukaan kulit akan berada pada posisi pada gambar yang lebih dekat ke transduser (garis paling atas), dan seterusnya. Objek-objek dengan pantulan yang lebih kuat akan terlihat lebih putih, sebaliknya objek-objek yang lebih lunak atau mengandung lebih banyak cairan akan terlihat lebih gelap (kehitam-hitaman). Gambar “hitam putih” inilah yang kemudian dicetak oleh dokter dan seringkali dikoleksi oleh ibu-ibu hamil sebagai foto janin kesayangan mereka.

Pada perkembangan selanjutnya, gambar USG tidak hanya sebatas gambar “hitam putih” 2 dimensi saja. Informasi dari gelombang pantul tadi diolah lebih lanjut dengan mengikutsertakan informasi-informasi lainnya sehingga dapat diamati secara real time sebagai gambar 3 dimensi.
'Melihat' dengan Gelombang Bunyi Ultrasonik, Indra yang Tertukar?  (12)
Gambar/citra USG 2 dimensi janin dalam kandungan ibu, aplikasi teknologi ultrasonik dalam bidang medis. (Wolfgang Moroder, Wikipedia)
Keunggulan Teknologi Ultrasonografi
Meskipun dari segi kualitas gambar, USG masih kalah dibandingkan dengan x-ray, CT-scan, atau MRI, namun teknologi ini memiliki beberapa keunggulan, antara lain tidak ada risiko radiasi/ionisasi, perangkatnya relatif kecil dan portabel, lebih praktis, dan lebih murah. Oleh karena itu, untuk banyak kasus tertentu misalnya untuk pasien ibu hamil, hanya USG yang dapat digunakan karena x-ray, CT-scan, dan MRI memiliki risiko tinggi paparan radiasi terhadap janin.

Dengan berbagai keunggulan ini, apakah USG dapat digunakan untuk aplikasi lain dalam bidang medis selain untuk melihat janin? Jawabannya tentu saja bisa. Lain waktu akan saya ceritakan bagaimana USG dapat dimanfaatkan untuk mendiagnosis paru-paru dari pasien COVID-19.

Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi selama puluhan tahun, gelombang bunyi yang tak terdengar, tak teraba, tak tercium, dan tak terasa ini mampu diubah menjadi sesuatu yang dapat terlihat yang dalam perjalanannya mampu mengubah banyak hal dalam sejarah peradaban manusia, dari laut hingga ke perut.

Artikel ini pertama kali terbit di Kumparan: