Bertebaran kios-kios mungil di sekitar pusat peradaban yang bernama kampus. Tempat segala macam ilmu diajarkan, dikembangkan, bahkan disombongkan. Kampus bagaikan magnet yang mampu menghisap rupa-rupa manusia. Mulai dari anak-anak kampung yang menggantungkan cita-cita tinggi sampai tukang photocopy yang kelelahan mengikuti putaran deras drum penggiling kertas.
Berupa-rupa ilmu beterbangan, melayang, menggaung dari jendela dan pintu-pintu. Ada pula yang masuk lewat mata dan telinga yang haus menanti ilmu. Kadang banyak mimpi yang lewat sekedar menyapa, lalu hilang ditelan hiruk pikuk mahasiswa. Begitu dinamis rupanya kehidupan di dalam kampus. Sedinamis pikiran-pikiran cemerlang para mahasiswanya.
Tapi di sudut-sudut kecil kios photocopy aku menemukan paradoks yang membuat hatiku ngilu. Dari mahasiswa tingkat I sampai profesor yang sudah karatan pernah menjadi langganan kios-kios kecil itu. Berlembar-lembar, tak putus-putus kertas bertuliskan bermacam-macam teori, angka-angka sampai dokumen-dokumen penting, bergulung sebentar lalu keluar sebagai saudara kembar. Sinar kekuningan menyilaukan, menyelinap serupa pisau-pisau cahaya.
Mungkin dulu ia punya cita-cita. Lembaran-lembaran kertas itu begitu menyilaukan, menyayat mata hatinya. Mengingatkannya akan mimpi-mimpi sepi yang telah lama ia kubur dalam-dalam. Ada kerinduan yang membuncah dalam hatinya. Ia membayangkan dirinya duduk santun di kelas berjendela kaca. Menyimak, bertanya, berdebat tentang berupa-rupa ilmu. Atau sekedar kelelahan bergadang dalam malam-malam panjang untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah. Ah..tapi mimpi-mimpi itu telah lama terenggut darinya. Alasan klasik memang, tak punya biaya.
Kini partikel-partikel toner menyebalkan inilah yang harus dihadapinya tiap hari. Yang pelan-pelan menggerayangi buluh-buluh nafasnya, ada risiko kanker dan asma disana. Kelelahan ia melupakan mimpi-mimpinya, tapi kertas, mesin photocopy dan mahasiswa-mahasiswa itu tak puas-puas melukai hatinya.
Bandung,24 Februari 2008
Berupa-rupa ilmu beterbangan, melayang, menggaung dari jendela dan pintu-pintu. Ada pula yang masuk lewat mata dan telinga yang haus menanti ilmu. Kadang banyak mimpi yang lewat sekedar menyapa, lalu hilang ditelan hiruk pikuk mahasiswa. Begitu dinamis rupanya kehidupan di dalam kampus. Sedinamis pikiran-pikiran cemerlang para mahasiswanya.
Tapi di sudut-sudut kecil kios photocopy aku menemukan paradoks yang membuat hatiku ngilu. Dari mahasiswa tingkat I sampai profesor yang sudah karatan pernah menjadi langganan kios-kios kecil itu. Berlembar-lembar, tak putus-putus kertas bertuliskan bermacam-macam teori, angka-angka sampai dokumen-dokumen penting, bergulung sebentar lalu keluar sebagai saudara kembar. Sinar kekuningan menyilaukan, menyelinap serupa pisau-pisau cahaya.
Mungkin dulu ia punya cita-cita. Lembaran-lembaran kertas itu begitu menyilaukan, menyayat mata hatinya. Mengingatkannya akan mimpi-mimpi sepi yang telah lama ia kubur dalam-dalam. Ada kerinduan yang membuncah dalam hatinya. Ia membayangkan dirinya duduk santun di kelas berjendela kaca. Menyimak, bertanya, berdebat tentang berupa-rupa ilmu. Atau sekedar kelelahan bergadang dalam malam-malam panjang untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah. Ah..tapi mimpi-mimpi itu telah lama terenggut darinya. Alasan klasik memang, tak punya biaya.
Kini partikel-partikel toner menyebalkan inilah yang harus dihadapinya tiap hari. Yang pelan-pelan menggerayangi buluh-buluh nafasnya, ada risiko kanker dan asma disana. Kelelahan ia melupakan mimpi-mimpinya, tapi kertas, mesin photocopy dan mahasiswa-mahasiswa itu tak puas-puas melukai hatinya.
Bandung,24 Februari 2008
No comments:
Post a Comment