Berawal dari kecintaanku pada seni, demikianlah kisah
petualangan sebuah buku bermula. Sebuah buku berisi lantunan kata-kata dalam
sebuah ‘Percakapan Diam-Diam’, yang telah tunai petualangannya sampai ke
Bochum, Jerman, kota kecil tempatku berjuang saat ini.
Suatu sore di bulan Juni, musim panas tahun lalu, sepulang dari
kampus, seperti biasa aku melepas lelah sambil membaca buku, menunggu malam
tiba, sambil mengamati deras arus informasi dari berbagai media sosial. Sore itu, tanpa sengaja aku menemukan sebuah akun twitter:
@lelakibudiman, nama yang unik kupikir. Sejak saat itu, sering kusimak ‘kicauan’
sang @lelakibudiman, yang di kemudian hari kuketahui bahwa ia menulis sebuah buku
kumpulan puisi: ‘Percakapan Diam-Diam’, ilustrasi oleh Koskow, dosen ISI
Yogyakarta, yang juga pernah mengajar sahabatku, Ponda.
Ayahku juga seorang pembaca akut, kupikir
tak ada salahnya menghadiahi beliau sebuah buku. Tanpa pikir panjang, aku pun
memesan ‘Percakapan Diam-Diam’ untuk dikirim ke kampung halaman. Nanti saja
pikirku, bila masih ada umur untuk pulang, ‘Percakapan Diam-Diam’ bisa kubaca
sambil menikmati sore di beranda rumah bersama Ayah.
‘Percakapan Diam-Diam’ pun memulai petualangan
pertamanya dari Jogja ke Tanjungpandan
pada November 2012. ‘Bukumu sudah sampai’, kata Ayah pada suatu sore. Lalu
Beliau membacakan beberapa bait puisi di dalamnya. ‘Percakapan Diam-Diam’ masih
tak terjangkau olehku, saat itu ia mewakili rindu.
Januari lalu, karibku Mira yang sedang
belajar di Nijmegen, Belanda, berencana pulang untuk menghadiri pernikahan
kerabatnya. Aku pun serta merta meminta kesediaan Mira untuk mengajak ‘Percakapan
Diam-Diam’ pulang bersamanya nanti ke Belanda. ‘Percakapan Diam-Diam’ pun
melanjutkan petualangan berikutnya dari Tanjungpandan ke Cimahi, Depok dan
Jakarta, untuk selanjutnya menempuh perjalanan ribuan mil ke Amsterdam dan
Nijmegen pada Februari lalu.
‘Percakapan Diam-Diam’ menikmati musim
dingin di Nijmegen, musim dingin yang panjang dan baru beranjak pergi di awal April
tahun ini. Mungkin ia terkejut agaknya, melihat kelabu yang enggan pergi,
kadang sayup dingin menggigit tiba-tiba menyelinap dari celah pintu. Saat itu
ia mewakili tubuh kami, orang Indonesia, yang ringkih diterjang hawa dingin,
demi mengejar mimpi di negeri antah berantah ini.
'Percakapan Diam-Diam' pada suatu siang nan cerah di Keukenhof, Lisse, Belanda |
Musim semi datang terlambat, bunga-bunga
liar yang sempat bersemi di awal Maret, harus mengurungkan niatnya, rupanya salju
masih betah menemani kami berlama-lama. Kuharap ‘Percakapan Diam-Diam’ masih
sabar menungguku sampai musim semi tak berbohong lagi.
Bulan Mei pun tiba membawa hawa hangat dan
semilir teduh sepanjang sore. Waktu yang tepat untuk menjemput ‘Percakapan
Diam-Diam’. Sabtu pagi di Stasiun Leiden Centraal, pada sebuah pertemuan malu-malu,
‘Percakapan Diam-Diam’ terbata mengenalkan diri padaku, tabik senyum rindu, tak
ragu lalu kuajak ia menikmati semi di taman bunga Keukenhof.
Dalam perjalanan pulang kembali ke
Nijmegen, kubaca lirih sebuah puisi dalam ‘Percakapan Diam-Diam’:
'Percakapan Diam-Diam' di jendela kereta dalam perjalanan pulang menuju Nijmegen |
Pun Angin Tak Mampu
Ijinkan aku sejenak
menikmati lembut denyut
yang tak sempat kau ucapkan
Hingga esok
Kubisikkan lirih
selamat pagi.
Pun angin tak mampu
mencuri dengar
debar itu dari hatimu.
***
***
Seorang gadis Belanda, melirik penasaran
mendengar lirih suaraku, senyumnya mengembang. ‘Ini puisi, Nona. Puisi yang
kami bawa jauh dari negeri kami, tempat nenek moyangmu dulu pernah menjajah
leluhur kami’, gumamku dalam hati.
‘Percakapan Diam-Diam’ pun mengakhiri
petualangan panjangnya, tiba dengan senyum bersahaja di Bochum. Kini ia duduk manis
di rak bukuku, rumah barunya. Sore ini kami bercakap-cakap, sambil minum kopi.
Kabarnya rindu tak perlu alasan, begitu kata ‘Percakapan Diam-Diam’:
Sajak Kecil tentang Rindu
Mungkin tak semua hal membutuhkan alasan,
seperti kerinduan.
Datang begitu saja, tiba-tiba. Tanpa alasan, namun menyenangkan.
Kita tak pernah tahu alasan apa yang membuat kita saling
merindukan?
Jarak?
Sebelumnya kita tak pernah dipersatukan jarak.
Atau mungkin kita merindukan sebuah pertemuan? Kita belum pernah bertemu sebelumnya. Rindu itu menelusup tiba-tiba.
Kita tak saling memikirkan, namun saling merindukan.
Sebab kerinduan teramat jujur hingga tak mampu membuat alasan.
Alasan kerinduan adalah rindu itu sendiri.
***
***
Kami pun menutup sore nan manis, semanis reguk-reguk kopi kami
yang mulai dingin dicuri senja, dengan sajak terakhir dari 'Percakapan Diam-Diam':
Tiga Sajak Kecil yang Kutulis Sebagai Surat Cinta
(1)
Aku
Tingkap jendela
Datang memberi nama
Pada Warna
(2)
Engkau
Cahaya, tanpa nama
Menyapa
Tanpa kata
Tanpa swara
(3)
Kita
Hanyalah kecil ruang
Menjamu cahaya
Meramu warna
Dan, menamainya: Cinta
***
***
Bochum, 7 Mei 2013
Catatan kaki:
Terima kasih Mas @lelakibudiman dan Pak
Koskow, yang telah mempersembahkan karya unik nan indah. Saya menantikan
karya-karya selanjutnya. ‘Adik’ sang ‘Percakapan Diam-Diam’ di tan kinira, ‘Teman
Merawat Percakapan’ sudah sampai dengan selamat di London, ia akan ikut
berpetualang bersama sahabat saya ke Belanda, Perancis dan Swiss, sebelum kami
bertemu musim panas nanti di Jerman.
4 comments:
bagus bangeeet :)
ikutan ini juga yuks :)
http://vanisadesfriani.blogspot.com/2013/03/proyek-buku-wb.html
terima kasih, Vanisa, sudah berkunjung, terima kasih juga untuk informasinya :)
hai,salam kenal Nyiayu Hesti..aku tahu blog mu dari Pak Koskow. perjalanan buku yg apik:)
Hallo, salam kenal juga Nath. Terima kasih atas apresiasinya :D
Post a Comment