Pulang tak selalu tentang kebahagiaan, terkadang kesedihan
mengiringi rindu yang kian mengembang. Ramadhan melambai dari kejauhan,
memperhatikan wajah-wajah perindu yang penuh harap akan sebuah perjumpaan.
Matahari belum seberapa tinggi ketika kami tiba. Aku memanggul ransel dan
sebuah tas tenteng, menahan terik matahari musim panas yang masih betah
menemani hingga Ramadhan beranjak pergi.
"Assalamu'alaykum", brother
muslim itu membukakan pintu seraya mengucapkan salam kepada kami. Kami disambut
hangat dan dipersilakannya masuk. "Rachid", begitu dia memperkenalkan
diri pada kami. Apartemen mini satu lantai ini sudah sejak jauh-jauh hari kupesan
untuk kami sewa selama empat hari. Sebuah apartemen mahasiswa yang terletak tak
jauh dari Masjid Raya. Begitulah kejadian acak yang seperti tak berpola
mempertemukan kami dengan brother Rachid, saudara kami yang baik hati. Brother
Rachid menjelaskan fasilitas apartemen yang akan kami tempati, meminjami kunci,
lalu kemudian pamit pada kami. Selama kami di sini, dia akan menempati rumah
yang lain, mungkin rumah orangtua atau kakaknya yang sejak tadi diceritakannya.
Tak lupa dia menunjukkan arah menuju Masjid Raya, agar nanti kami bisa
berlebaran di sana.
Ketika siang
mulai beranjak, kami menyusuri sudut-sudut Rue menuju Masjid. Kompleks bangunan
bercorak hijau abu-abu itu mencakup area yang cukup luas, diapit tiga jalan
utama. Kami menuju pintu masuk utama. Dua orang bapak setengah baya duduk di
belakang sebuah meja, melayani pembayaran zakat fitrah 5 € per jiwa. Aku
memberanikan diri bertanya: " Assalamu'alaykum, apakah Bapak berbicara
dalam bahasa Inggris?" Sang Bapak tersenyum menjawab salamku sambil
membalas: "Apakah Anda berbicara dalam bahasa Arab?" Aku pun
menggeleng sambil tersenyum. Baiklah, masih dalam bahasa Inggris aku mencoba
bertanya tentang jadwal pelaksanaan sholat Idul Fitri. Sang Bapak dengan bahasa
Inggris campur Perancis dan Arab berusaha menjelaskan pada kami. Intinya beliau
belum dapat memastikan hingga hasil musyawarah para ulama setempat nanti malam
diumumkan. Aku takjub bagaimana rasa persaudaraan itu telah memecahkan
sekat-sekat bahasa, budaya dan suku bangsa. Assalamu'alaykum adalah salam yang
sama pula, yang mengandung doa, berlaku di seluruh dunia dan senantiasa
menyejukkan jiwa.
Sore itu, perjalanan kami lanjutkan menyusuri jalur-jalur kereta
bawah tanah menuju "magnet" raksasa yang namanya telah tersohor
hampir ke seluruh dunia. Entah bangsa apa saja yang lalu lalang tak habis-habis
mengelilingi kaki-kakinya hingga radius sekian kilometer. Matahari masih menyengat. Hawa pengap
dan debu diterbangkan angin hingga mengepul mengeruhkan udara. Sekelompok anak
asyik berenang di sebuah kolam yang terletak tepat di hadapan muka sang
raksasa. Caroussel mini berputar-putar mempermainkan kuda-kuda plastik yang
ditingkahi kerlip lampu dan irama musik nan riang. Taman-taman dipenuhi para
wisatawan, jalanan pun tak kunjung sepi.
Sambil menunggu matahari tenggelam, dalam riuh keramaian aku
merasa kehilangan. Bias-bias senja disembunyikan gumpal-gumpal awan, namun
sesekali mengintip pada celah-celah kaki sang raksasa pesolek malam. Tunai
sudah Ramadhan tahun ini menemuiku, dan aku mengantarnya dari sudut berdebu di
tengah keramaian. Senyumnya perlahan hilang ditelan malam. Lalu tak lama,
brother Rachid menghubungi kami, memberitakan bahwa besok hari Senin, Masjid
Raya akan mengadakan sholat Idul Fitri sekitar pukul 8 pagi. Riak-riak Seine
menari-nari dipermainkan kerlip lampu kota dan kapal wisata yang hilir mudik
melintasinya. Angin berhembus pelan, mengantarkan wangi kenangan Ramadhan yang
akan selalu aku rindukan. Ramadhan, pulanglah ke peraduan, simpanlah
cinta kami padamu dalam serpih-serpih kerinduan.
Paris, 27 Juli 2014