Musim panas seperti baru menampakkan wajahnya yang
malu-malu sejak awal Ramadhan tahun ini. Hawa panas, pengap dan gerah menyergap
dari celah-celah jendela sejak malam tadi. 32 derajat Celcius ketika kulirik
penunjuk cuaca di komputerku, pantas saja. Begitu jauhnya perbedaan temperatur udara
antara musim panas dan musim dingin yang dirasakan oleh orang-orang di negara 4
musim. Aku jadi teringat perjalanan bersama sahabatku Mira di bulan Desember
2012 yang lalu, ketika musim dingin mulai menggigit, menyelimuti lamat-lamat
bumi Eropa Timur.
Kami menumpang bis
milik sebuah perusahaan transportasi Ceko dari Prague menuju Bratislava.
Perjalanan sekitar 4 jam itu terasa lebih lama dari seharusnya, entahlah,
mungkin hanya perasaanku saja. Salju mulai turun perlahan, lalu rinai-rinainya
seperti tumpah ruah berhamburan dari langit. Kami
yang memilih tempat duduk paling depan, tepat di belakang sopir, bisa
menyaksikan langsung penampakan jalan raya yang kami lalui sepanjang
perjalanan. Seperti di negeri dongeng antah berantah, aku ingat perjalanan sore
itu, bis yang membawa kami seperti tertelan kabut salju. Jarak pandang mungkin
tak lebih dari 3 meter. Pak sopir melambatkan kecepatan bis, di kiri kanan,
kulihat samar-samar padang-padang yang tertutup salju, muram, kelabu berselimut
beku.
Singkat cerita, sampailah kami di Bratislava, di
sebuah stasiun bis yang sepi dan tampak tak begitu terawat. Tumpukan salju yang
setengah mencair bercampur tanah kecoklatan membuat suasana terminal semakin
kotor. Aku merapatkan retsleting jaket dan mengenakan sarung tanganku, angin
musim dingin kali ini rupanya tak kalah mengiris. Tak ada catatan khusus
mengenai kota tua di jantung Eropa Timur ini, sebelum kami menginjakkan kaki di
sana, di sebuah negara “baru” pecahan Cekoslovakia. Seperti umumnya kota-kota
di Eropa, Bratislava juga relatif sepi di hari natal.
Pegunungan di sekitar Devin Castle, Bratislava |
Kami menginap di sebuah hostel
di pusat kota, tak jauh dari gedung kedutaan Jerman dan Amerika Serikat. Pemilik
hostel ini adalah seorang bapak setengah baya yang sangat ramah dan fasih
berbahasa Inggris. Karena sedang liburan natal, semua pegawai hostel mengambil
cuti. Semua kamar pun kosong, sehingga kami seperti menyewa sebuah hostel tak
berpenghuni. Sang bapak pemilik hostel tinggal agak jauh dari situ, sehingga
dia hanya datang setiap pagi untuk menyiapkan sarapan kami, selebihnya hanya
kami berdua, menginap di bangunan sebesar rumah 3 lantai itu. Kami bebas
menggunakan ruangan mana saja yang kami suka dan kami dipinjami kunci sendiri.
Di lantai bawah, sekaligus
lobi tempat menerima tamu, terdapat Cafe dengan interior yang unik, atau kalau
tak boleh dibilang seram. Betapa tidak, 3 boneka nenek sihir menggantung di
langit-langitnya, menyeringai di bawah temaram lampu. Aksesoris lainnya berupa
barang-barang antik dan koleksi uang kertas dari berbagai negara yang ditempel di
salah satu dindingnya. Kami menemukan pecahan 500 Rupiah bergambar orang utan
yang bergaya bersama wajah-wajah tokoh dari berbagai negara pada pecahan
uang lainnya.
Di hari kedua, pegawai hostel
sudah kembali bekerja. Seorang bapak yang membantu pemilik hostel mengelola
Cafe ternyata tak kalah ramah, namun dia tak bisa berbahasa Inggris. Aku
mencoba-coba saja mengajaknya berbicara dalam bahasa Jerman, dan ternyata dia
menimpalinya. Transportasi umum di Bratislava adalah bis, tram dan taksi.
Slovakia merupakan salah satu negara Eropa Timur pertama yang menggunakan mata
uang Euro. Kesan semrawut masih terlihat di beberapa sudut kota. Namun, kesan
paling dalam dari kunjungan kami ke kota di tepian Danube ini adalah keramahan
penduduknya. Beberapa kali kami dibantu oleh orang-orang yang tak kami kenal
ketika kami terlihat bingung melihat jadwal bis di sebuah terminal. Walaupun
sebagian besar dari mereka tak bisa berbahasa Inggris, namun mereka berusaha
membantu kami, bahkan dengan bahasa isyarat. Pernah juga pada suatu pagi,
seorang kakek menawarkan diri untuk memotret kami tak jauh dari jembatan Novy
Most yang membelah Danube, juga dengan bahasa isyarat. Ternyata keramahan pun
tak ubahnya kejujuran, mata uang yang berlaku di mana-mana, Kawan.
Bochum, 18 Juli 2014
2 comments:
Kota yang ramah penduduknya, walau belum sepenuhnya ramah pada turisnya.
--tante
hahaha, iya, masih suka bingung gara2 minim info dan keterbatasan bahasa Inggris mereka :)
Post a Comment