Ada
orang-orang yang dilahirkan untuk menjadi inspirasi bagi banyak orang. Menebar
semangat pantang menyerah yang menjalar hingga ke sum-sum tulang. Tak
berlebihan rasanya jika yang akan kuceritakan ini adalah sosok guru yang telah
lama menjadi salah satu inspirasi dalam hidupku. Beliau berhasil membakar
semangat kami, murid-muridnya, tak berhenti, pun hingga hari ini.
Ingatanku
kembali ke masa-masa yang kuhabiskan di tanah air beberapa tahun yang lalu. Selepas
SMA, sebagaimana anak-anak sebaya di kampung halamanku, aku meninggalkan rumah untuk melanjutkan pendidikan ke Pulau Jawa. Sejak SD aku
memang selalu bercita-cita untuk sekolah di ITB, padahal aku sendiri tak begitu
paham apa, di mana, dan ilmu seperti apa yang diajarkan di sana. Cita-citaku ketika
itu sangatlah dangkal dan lebih tergiring oleh kebiasaan sekitar. Aku pun
diliputi rasa tidak percaya diri, lantaran hanya lulusan sekolah daerah, dan kampung
halamanku pun tak banyak dikenal, belum seperti sekarang.
Singkat
cerita, di akhir tahun 2004 aku seperti tiba-tiba saja sudah menjadi mahasiswa,
masih sedikit mabuk akan euphoria menjadi
mahasiswa baru dengan segala atribut yang melekat padanya. Saat itu aku belum
berpikir tentang tanggung jawab sebagai manusia, dilahirkan dengan membawa misi
yang tidak sederhana di dunia ini. Mungkin jangan jauh-jauh dulu, tanggung
jawab sebagai individu pun ketika itu belum sepenuhnya terpatri dalam alam pikiran
sadarku, apalagi tanggung jawab kepada keluarga, agama bahkan bangsa dan negara.
Menjadi mahasiswa baru bukanlah hal yang mudah, jika tak pandai-pandai kita
akan terlalu hanyut oleh euphoria,
atau bahkan menjadi panik menemukan diri sendiri yang kalah bersaing dengan
orang lain. Jauh tertinggal dan akhirnya harus rela pulang lewat pintu Annex
(Gedung Rektorat ITB), alias drop out.
Tingkat pertama kulalui dengan hasil lumayan, namun belum ada motivasi yang
benar-benar "menggigit" untuk kujadikan alasan kuat bertahan di sana.
Kolam "Indonesia Tenggelam" - Kampus ITB |
Kemudian
aku dipertemukan Allah dengan sosok Pak Guru, Pak Hermawan, dosen mata kuliah
Matematika Rekayasa, mata kuliah wajib yang ketika itu kuambil di semester
tiga. Sejak perkuliahan pertama, ada sesuatu yang kurasakan berbeda dari sosok
beliau. Mulai dari gaya bicara, bahasa
tubuh, dan gaya mengajarnya selalu membangkitkan semangat dan motivasi baru
bagiku. Sampai pada suatu pagi, perkuliahan Pak Her hari itu menjadi salah satu
hari paling bersejarah dalam hidupku yang masih kuingat sampai hari ini. Pak
Her dikenal sebagai sosok dosen yang cerdas, santun, berjiwa kepemimpinan, dan
relijius. Beliau adalah salah satu ahli nano
technology yang dimiliki Indonesia. Belum
pernah aku melihat beliau marah. Namun pagi itu rupanya tingkah kami membuat
beliau sedikit gusar. Pagi itu, setelah perkuliahan Pak Her, kami harus
mengumpulkan PR untuk mata kuliah yang lain sebelum pukul 9. Selama
perkuliahan, sebagian besar dari kami sibuk menyelesaikan PR, lalu bolak-balik
keluar kelas untuk mengumpulkannya di kantor tata usaha. Pak Her tetap
melanjutkan kuliahnya seperti biasa, lalu sampai pada suatu ketika beliau
berhenti dan meminta kami semua untuk menutup buku dan mendengarkan beliau.
Aku tahu ketika itu beliau menahan marah, namun yang keluar dari mulutnya
adalah nasihat panjang penuh penyesalan akan sikap kami sepanjang pagi tadi,
seperti seorang bapak yang dengan lembut menasihati anak-anaknya. Suara beliau
timbul tenggelam. Aku seperti mendengarkan riwayat panjang perjuangan anak bangsa yang
sangat kuat menancapkan cita-citanya untuk bermanfaat bagi banyak orang. Ketika
menempuh pendidikan S2 dan S3 di Amerika, Pak Her pun sempat harus bekerja
paruh waktu, mulai dari menjadi petugas cleaning service, memberi makan binatang percobaan di laboratorium Biologi sampai menjadi tukang parkir di stadion sepak bola kampus. Kata-kata beliau yang selalu kuingat adalah "Never ever surrender!"
Satu
nasihat beliau yang menjadi titik awal perubahan besar dalam hidupku adalah
nasihat beliau tentang pentingnya pendidikan bagi kami, kaum perempuan. Kata
Pak Her, mau jadi apapun engkau nanti, sekolahlah setinggi-tingginya, jadilah
perempuan secerdas-cerdasnya, karena generasi yang hebat lahir dari rahim
perempuan-perempuan yang hebat pula. Beliau melanjutkan: "Saya bisa membayangkan,
anak-anak yang sejak dalam buaian diasuh oleh ibu-ibu luar biasa itu nantinya
akan menjadi apa". Senyumnya mengembang dengan nada penutup kalimat yang hampir-hampir
tak terdengar. Seketika semangat dari sorot mata Pak Her membiusku hingga ke
ubun-ubun. Sejak hari itu, aku bertekad untuk menjadi perempuan hebat seperti
kata beliau.
Siang ini,
di hari ke 7 Ramadhan, Pak Joko, seorang Pak guruku yang lain, membagikan
tautan ceramah Pak Her di halaman Facebook-nya. Pak Her berbicara sebagai Ketua
Asosiasi Masjid Kampus Indonesia. Kuliah singkat tak sampai 30 menit itu
lagi-lagi berhasil memompa semangatku, judulnya pun lantang dan penuh energi: "Panggilan Konstitusi, Seruan Kitab Suci – Tanggungjawab Umat Islam dalam
Membangun Peradaban Indonesia yang Unggul." Pertama-tama Pak Her memaparkan
potensi Indonesia yang dianugerahi kekayaan yang sangat luar biasa, mulai dari
kekayaan alam, budaya, wilayah yang luas dan strategis, serta jumlah penduduk yang sangat besar. Sejak lahir, sebagai bangsa
kita sudah diberi tantangan dengan problem yang luar biasa kompleks.
Tentunya kita akan bertanya, mengapa kita merupakan bagian dari negara yang
sedemikian luar biasanya ini? Tujuan itu, sebenarnya dengan sangat cerdas telah
dirumuskan oleh para pendiri negara ini, yang dituangkan dalam konstitusi,
yaitu agar kita turut berperan secara aktif memelihara dan menjaga perdamaian
dunia. Akan sangat efektif kita memikul tugas dan amanah tersebut jika kita
telah mampu membenahi dan menyelesaikan persoalan di dalam negeri kita sendiri.
Tugas dan amanah ini sebenarnya juga tertera di Al Qur’an, yaitu dalam Surat Al
Baqarah ayat 143: "Dan demikian (pula) Kami telah
menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi
saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas
(perbuatan) kamu".
Bukan Pak Her namanya kalau beliau
tak mampu mengajak muridnya untuk menggantungkan mimpi setinggi-tingginya.
Beliau bercerita tentang negara-negara yang sudah lebih dahulu unggul dalam
peradaban dunia. Kita sebagai bangsa yang masih dipandang sebelah mata tak
boleh sedikit pun ragu dan pesimis, bahwa pada suatu saat nanti kita akan mampu
mewujudkan cita-cita luhur para pendiri negara ini untuk berperan aktif di
level dunia karena kita sudah bisa menyelesaikan persoalan di dalam negeri. Mindset
ini harus selalu hidup di dalam pikiran setiap warga negara, khususnya bagi
kita yang beragama Islam karena hal itu sekaligus merupakan tugas suci yang
diamanahkan oleh Al Qur’an.
Untuk mewujudkan itu semua,
pertama-tama, yang harus kita kuasai sebagai syarat perlu adalah 3 hal, yaitu
sains, teknologi, dan seni. Namun syarat perlu ini harus dilengkapi pula dengan
syarat cukup, yaitu karakter atau akhlakul karimah. "Knowledge is power, but character is more". Sehingga
kekuatan yang dimiliki itu nantinya tidak digunakan secara
sewenang-wenang.
Berangkat
dari amanah luar biasa ini, Pak Her kembali memaparkan persoalan-persoalan yang
kini dihadapi bangsa Indonesia. Intinya bangsa kita tak pernah kekurangan
masalah. Dari segala potensi yang sudah dipaparkan tadi, lalu bagaimana kita
mengolah itu semua menjadi sesuatu yang berdaya guna untuk mewujudkan mimpi
dari para founding fathers negeri ini sekaligus amanah dari kitab suci
tadi? Untuk menjawab pertanyaan ini, tidak ada salahnya kita belajar dari
bangsa-bangsa lain yang telah lebih dahulu berperan luar biasa dalam memajukan
peradaban dunia. Dunia ini diisi oleh berbagai bangsa agar kita saling mengenal
dan saling belajar satu sama lain. Lalu berturut-turut beliau bercerita tentang
bangsa Jerman, Korea dan Amerika. Intinya kita bisa belajar banyak dari
contoh-contoh tersebut dimulai dari adanya tekad untuk mentransformasi bangsa
ini menjadi bangsa yang lebih maju, sejahtera, dan adil.
Semuanya
harus dimulai dari sebuah keyakinan bahwa kita bisa melakukannya. Barangkali
tidak perlu seluruh warga negara, tetapi cukup sekelompok kecil yang
benar-benar mempunyai tekad yang sangat kuat, bersungguh-sungguh dan
berdedikasi. Siapa mereka? Mereka adalah orang-orang yang diberikan nikmat
lebih, salah satunya adalah kelompok kecil yang berkesempatan mengenyam pendidikan
tinggi. Tanggung jawab mereka menjadi
lebih besar untuk menggerakkan semua perubahan itu. Sampai di sini, aku tertegun dan merasa tertampar, bukankah aku juga menjadi bagian dari orang-orang yang beliau maksud?
Di akhir kuliah, beliau menekankan
bahwa kita harus yakin, bahwa selama yang kita lakukan adalah untuk kebaikan,
tidak hanya bagi diri kita sendiri tetapi juga untuk kemanusiaan, maka yakinlah
semua mimpi dan cita-cita kita insyaAllah akan tercapai. Hanya dengan keyakinan
itu kita berani melangkah. Kita membutuhkan karakter yang siap untuk bekerja
keras, bekerja cerdas, bekerja tuntas, bekerja mawas, bekerja yang
berkualitas, dengan landasan integritas dan ikhlas.
Setengah jam pun berlalu dengan
sangat singkat. Tak terasa mataku berkaca-kaca mendengarkan rangkaian nasihat beliau
dan foto-foto tanah air yang sudah hampir 3 tahun aku tinggalkan. Aku
teringat pertemuan terakhirku dengan Pak Her sebelum berangkat ke sini. Beliau
menasihatkan kepadaku agar aku belajar dan berusaha sekeras-kerasnya. Kata Pak
Her aku harus jadi orang cerdas dan tak boleh kalah dengan rekan-rekanku nanti, orang-orang Eropa. Pak Her juga sempat mengucapkan maaf dan terima kasih padaku
karena telah bersedia meluangkan waktuku di kampus dalam 1 tahun terakhir
sebelum keberangkatanku. Aku terdiam menahan haru, bukankah aku yang seharusnya
meminta maaf dan berterima kasih kepada beliau? Bapak guru ini, sosok luar
biasa yang duduk di depanku siang itu akan senantiasa menjadi inspirasi luar
biasa dalam hidupku. Aku membuka kembali email balasan dari Pak Her yang beliau
kirim kepadaku beberapa tahun yang lalu ketika aku baru tiba di Jerman. "Hesty,
kalau pun ada pengalaman saya di US, sewaktu mengambil S3 dulu, yang mungkin
bermanfaat adalah jangan menyerah sampai usaha terakhir dan selalu berdoa
kepada Allah agar diberi jalan keluar yang terbaik dari masalah yang dihadapi". "Guruku, terima kasihku, semoga Allah senantiasa memberkahi hidupmu."
Link video kuliah di atas:
Berikut kukutipkan pernyataan yang pernah disampaikan seorang kawan:
748 languages
1340 ethnic groups
17480 islands
6 official religions
Length of the area is equal as from Paris to Moscow
Hold together as one nation, Indonesia
Isn't that incredible?
I used to think that "one motherland, one nation, one language" was not more than a jargon. But after I travelled to Switzerland where all announcements are in three languages (German, French and Italian) and so with Belgium which is divided into "French Belgium" and "Dutch Belgium", I realize now that Indonesia is a miracle. [Rihan Handaulah]
Bochum, 4 Juli 2014
No comments:
Post a Comment