Apa yang ada di benak Anda saat mendengar
kata "merantau"? Bagi saya pribadi, merantau tak hanya sekedar
meninggalkan kampung halaman berbekal nekat, namun pola pikir yang matang harus
dibangun jauh-jauh hari, jauh sebelum langkah kaki meninggalkan segala
kenyamanan di tanah kelahiran. Segala kemungkinan tak terduga, baik kemungkinan
positif maupun negatif akan kita temui di negeri orang. Yang pertama harus
dipersiapkan adalah tujuan apa yang ingin kita capai di perantauan nanti. Tak
ada salahnya bermimpi, bahkan mimpilah yang masih menjadi bara semangat yang
tetap menyala, yang menguatkan saya menjalani hari-hari. Jangan lupa persiapkan
mental sekeras baja dan kunci terakhir adalah tawakal.
Motivasi terbesar saya ketika merantau
meninggalkan kampung halaman adalah keinginan untuk mengisi masa muda dengan ilmu-ilmu
baru, duduk bersama orang-orang yang belum saya kenal sebelumnya, mendengarkan
kuliah dari guru-guru terbaik, membaca buku-buku dari perpustakaan-perpustakaan
terbaik, serta mengenal orang-orang dari berbagai ras dan kebudayaan yang berbeda-beda.
Singkatnya, saya ingin melihat dunia, melebihi sekat-sekat bahasa, usia, ruang
dan waktu.
Dalam era globalisasi sekarang ini, dunia
seakan tanpa sekat. Orang-orang dengan mudahnya bisa bepergian ke sana ke mari
dalam waktu yang relatif singkat. Arus deras informasi menghantam dari segala
penjuru. Apa jadinya jika kita tak mempersiapkan bekal dalam diri kita?
Tentunya kita akan terombang-ambing seperti tanpa pendirian, menjadi gagap
budaya, gagap kepribadian serta gagap-gagap lainnya yang akan susul-menyusul
menghantui hidup kita. Bekal pertama bagi seorang anak adalah pendidikan
keluarga, satuan komunitas terkecil, tempat segala mimpi bermula. Kepribadian
yang kuat, nilai-nilai moral dan agama yang baik, akan menjadi mata uang
berharga yang akan berlaku sepanjang usia.
Salah satu benang merah yang mewarnai
motivasi orang untuk merantau adalah kesempatan untuk mendapatkan pendidikan
yang lebih baik. Pendidikan tak pernah mengenal usia, berapa pun usia Anda,
jangan pernah berhenti belajar. Bagi generasi muda, kesempatan emas ini jangan
disia-siakan. Sebelum kesehatan terenggut dari tubuh kita, sebelum waktu terampas
oleh kesibukan-kesibukan lainnya, isilah masa muda untuk menuntut ilmu
setinggi-tingginya.
Generasi muda khususnya, mempunyai
kesempatan luas untuk menuntut ilmu di negeri orang. Kesempatan terbuka lebar
di depan mata, kembali ke diri sendiri, mau atau tidak kita memanfaatkan
kesempatan-kesempatan tersebut. Saya sering menemui anak-anak muda dengan
potensi luar biasa, tapi ketidakpercayaan diri mengungkung keberanian mereka
untuk melangkah. Rasa rendah diri karena berasal dari daerah atau keluarga yang
kurang mampu, rasa minder karena dibesarkan di kampung, dan beban-beban negatif
lainnya telah menghalangi sekian banyak bibit-bibit unggul di masa depan untuk
menularkan energi-energi positif bagi lingkungan di sekelilingnya.
Sebelum melangkah meninggalkan kampung
halaman untuk melanjutkan pendidikan, terutama selepas SMA, kita harus
mengetahui lebih dahulu, potensi dan bakat terbesar apa yang ada dalam diri kita
masing-masing. Jika sudah yakin, carilah sekolah dan lingkungan terbaik untuk
mengembangkan bakat dan potensi tersebut. Tancapkan cita-cita untuk bergabung di
lingkungan pendidikan terbaik. Tercapai atau tidak nantinya, itu urusan
belakangan. Namun, motivasi awal ini akan menjadi bekal kita untuk
mempersiapkan usaha terbaik demi mewujudkannnya.
Saya memperhatikan dengan seksama sistem
pendidikan di Jerman, di mana sedari kecil anak-anak Jerman sudah diajak untuk
mengenal potensinya masing-masing. Pendidikan dasar diwarnai sebagian besar
oleh proses bermain, anak-anak tak terlalu disibukkan dengan beragam PR yang
menyita waktu bermain mereka. Melalui proses bermain yang menyenangkan ini,
mereka diarahkan untuk mengenal hobi dan bakat masing-masing. Dalam tahap
pendidikan selanjutnya, sejak kira-kira tingkat setara SMP, mereka sudah harus
memilih sekolah jenis apa yang menentukan nasib mereka nantinya sampai tahap
perguruan tinggi. Sistem ini meminimalisasi gagap dan kebingungan-kebingungan
yang umumnya dialami anak-anak selepas SMA ketika akan memilih program studi di
perguruan tinggi.
Saya tak ingin menyalahkan sistem pendidikan
yang berlaku sekarang di Indonesia, di mana sekolah-sekolah pada umumnya belum
bisa memfasilitasi terlalu jauh untuk mengenali dan mengembangkan bakat dan
potensi diri ini. Lingkungan dan budaya kita tak jarang masih mempunyai pola
pikir, bahwa anak pintar itu adalah anak yang meraih nilai-nilai terbaik bidang
eksakta, atau "straight A"
dalam semua mata pelajaran. Padahal, kecerdasan itu tak hanya kecerdasan
matematika dan sains, banyak kecerdasan lain yang tak kalah berharga, seperti
kecerdasan dalam bidang seni, olahraga, dan lain-lain. Manusia dikaruniai
bakat-bakat yang berbeda-beda untuk menjadi yang terbaik sesuai potensinya masing-masing
jika dimaksimalkan. Dengan sistem dan budaya sekeliling yang belum terlalu
mengakomodasi tujuan ini, tugas kitalah untuk memaksimalkan pencarian diri
masing-masing. Maksimalkan potensi yang ada sejak belia, warnai dengan
kepercayaan diri dan bercita-citalah setinggi-tingginya.
Selain ketidakpercayaan diri, hal lain yang
sering menghinggapi generasi muda yang baru merantau ke luar daerah
adalah sifat "ikut-ikutan" atau dalam bahasa Belitung dikenal
istilah "seuru'-uru'an". "Seuru'an-uru'an" ini adalah sifat
yang sangat berbahaya, apalagi seringkali menyerang pada fase-fase kritis yang
sangat menentukan. Anak-anak muda yang dihinggapi sifat ini hatinya dipenuhi oleh
euforia karena baru saja mencapai tahap paling keren dalam hidupnya: lulus SMA
dan diizinkan oleh orang tua untuk pertama kalinya merantau meninggalkan tanah
kelahiran. Akibatnya, mereka lupa tujuan awal untuk apa mereka merantau.
Padahal kompetisi yang luar biasa sudah menunggu di depan mata. Untuk
mendapatkan sekolah dan lingkungan pendidikan terbaik, tentunya kita harus
bersaing dengan ribuan siswa dari seluruh tanah air. Persaingan sengit
sesungguhnya dimulai pada tahap ini, bukan hanya sebelum menghadapi UN.
Kepercayaan diri, motivasi dan tujuan yang
kuat serta moral dan kepribadian yang tangguh adalah bekal terbaik yang harus
kita persiapkan untuk meraih cita-cita. Apapun yang akan kita hadapi di luar
sana, kita tak akan kehilangan pijakan paling dasar: motivasi untuk bermanfaat
bagi orang banyak dalam bidang apapun yang akan kita geluti nantinya. Merantau
akan melatih mental kita sekeras baja, karena berupa-rupa pengalaman yang akan
kita temui tak akan selalu manis. Keberhasilan dan kegagalan hanyalah bagian
yang sangat relatif, proses yang kita jalani adalah pelajaran sesungguhnya yang
tak akan pernah kita peroleh jika kita hanya berdiam diri di zona nyaman dan
tanah kelahiran sendiri. Merantau pada akhirnya akan mengantarkan kita pada
perjalanan-perjalanan tak terduga, bukan hanya untuk mengenal dunia, tapi lebih
dari itu, dalam perjalanan panjang tersebut kita akan diajak untuk mengenal
siapa diri kita sesungguhnya. Betapa kerdilnya kita di hadapan Sang Pencipta
dan alam raya yang tak akan ada habis-habisnya untuk kita jelajahi sampai akhir
usia.
Mengutip sebuah syair yang sangat terkenal dari Imam Syafi'i, cukuplah rindu pada tanah kelahiran yang menguatkan para perantau menjelajahi setiap jengkal tanah-tanah impian.
Orang
berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkanlah
negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah,
kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah,
manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang
Aku melihat
air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika
mengalir menjadi jernih, jika tidak 'kan keruh menggenang
Singa jika
tak tinggalkan sarang tak 'kan dapat mangsa
Anak panah
jika tak tinggalkan busur tak 'kan kena sasaran
Jika
matahari di orbitnya tak bergerak dan terus berdiam
tentu
manusia bosan padanya dan enggan memandang
Bijih emas
tak ada bedanya dengan tanah biasa sebelum ditambang
Kayu gaharu
tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan
Merantaulah
Orang
berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkanlah
negerimu dan menjadi asinglah di negeri orang
Bochum, tepian Sungai Ruhr, 9 Juni 2015