Sejak aku bisa mengingat, aku sangat tertarik dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan angka dan ide tentang mengurutkan benda-benda. Waktu kecil, aku sering membangun miniatur rumah-rumahan dari susunan ranting-ranting perdu yang kupotong dalam ukuran seragam. Lain waktu, kucingku kulatih untuk melompat sampai ketinggian tertentu, atau kuajak dia berlari dalam jumlah putaran yang kuatur sedemikian rupa.
Sejak masuk Sekolah Dasar, mata pelajaran yang paling kusukai tentu saja matematika. Pengalamanku bersama guru matematikaku di Sekolah Dasar mungkin adalah satu dari sekian banyak hal yang mempengaruhi pilihan-pilihan hidupku hingga dewasa. Guruku itu, Ibu Fatimah namanya. Dari kacamata anak-anak, matematika seringkali menjadi momok yang menakutkan. Tapi, Bu Fatimah memperkenalkan matematika kepada kami dengan caranya sendiri, hingga menjelma menjadi sesuatu yang indah, menarik, dan tidak membosankan. Cara pandang ini membuka cakrawala yang lebih luas di kepalaku untuk menerima berbagai kemungkinan tak terbatas dari hanya sekadar angka-angka.
Masuk ke Sekolah Menengah Pertama, aku bertemu dengan guru matematika yang boleh dibilang langka. Kami memanggilnya Pak Nawi. Mengapa kubilang langka? Karena Pak Nawi mampu mengubah matematika menjadi dongeng-dongeng yang membawa pikiran kita ke alam imajinasi yang luas. Kadang bisa ditertawakan, kadang menggelitik rasa penasaran, kadang pula membuat kita mempertanyakan hal-hal yang jarang terpikirkan.
Dua orang guruku ini adalah orang-orang yang seringkali tanpa kusadari telah mempengaruhi banyak hal dalam hidupku. Mereka menembus batas-batas pikiran kecilku yang dulu hanya membayangkan dunia tak lebih dari cakrawala Pantai Tanjong Pendam, tempat aku dan teman-temanku biasa menyaksikan matahari tenggelam. Mereka menantangku, menuding raguku, mencambuk rasa percaya diriku, bahwa aku bisa menjadi apa saja yang aku mau. Mereka mengajarkan matematika sebagai sebuah falsafah, sebuah puisi, sebuah nyanyian merdu yang berkelindan dalam alam bawah sadarku:
"Matematika adalah bahasa. Dia tidak bergantung kepada fenomena-fenomena yang direpresentasikannya. Namun sebaliknya, fenomena-fenomena tersebut yang bergantung kepadanya. Kebergantungan inilah yang menentukan seberapa dalam kita (ingin/dapat) memahami realitas yang tertangkap oleh panca indra atas fenomena-fenomena yang terjadi di alam raya. Sebagaimana bahasa, matematika pun mengandung takaran keindahan yang mampu ditangkap oleh mereka yang (ingin) memahaminya."
Bandung, 24 Maret 2021
No comments:
Post a Comment