Matahari telah condong ke ufuk barat ketika aku tiba di ujung dermaga. Tahun telah memasuki penggalan ketiga, bulan-bulan di mana angin barat telah mengintai diam-diam dari ujung samudra. Aku pun tak tahu di mana ujung samudra itu, yang kutahu seperti janji yang selalu mereka tepati, gelombang pasang dan gemuruh angin akan mengepung lautan selama berbulan-bulan ke depan, memaksa perahu-perahu tertambat di dermaga ditinggalkan tuannya.
Aku membayangkan Ibu duduk seorang diri menghabiskan sisa hari-harinya yang senantiasa bergemuruh dipenuhi mimpi tak berkesudahan, mimpi-mimpi yang ia rajut sejak mata kecilnya melampaui ujung cakrawala Tanjong Pendam. Hati kecilnya teramat yakin, ada dunia luas di luar sana yang akan ia jelajahi melampaui segala kemungkinan, Ayah tentu tahu.
Ayah, nelayan-nelayan Marsaxlokk berperahu biru itu berlayar jauh hingga ke laut Belitong senja ini. Perahu mereka menjingga memantulkan matahari megah yang teramat setia kepada Pulau Kalimoa. Nelayan-nelayan Mediterania itu tak berbicara dalam Melayu maupun Indonesia. Tapi, Ibu pernah berkata, “Cinta melampaui segala bahasa yang pernah diciptakan manusia di atas dunia ini, Ram.” Perahu-perahu itu berlayar berbulan-bulan hanya demi mengantarkan cinta Ayah untuk Ibu, dua anak manusia yang paling aku cintai di dunia ini. Mereka berlabuh dalam diam, diayun-ayunkan ombak hingga semesta melarut dalam jingga yang paripurna.
Apa yang akan kuceritakan kepada Ayah ini adalah sebuah perjalanan yang meresap perlahan dari ujung-ujung jari kakiku ketika menyusuri pasir lembut sepanjang Pantai Tanjong Tinggi, pantai yang dahulu hanya kubayangkan dari cerita-cerita Ibu sejak aku terkantuk-kantuk dalam buaiannya. Perempuan yang bahkan baru benar-benar aku kenal tak lebih dalam hari-hari belakangan ini. Hampir separuh dunia harus kutempuh untuk mengumpulkan serpihan-serpihan perjalanan hidupnya, itu pun dengan gerutu, hingga ke tanah asing yang bahkan tak kukenal. Tapi, entah bagaimana kini aku merasa pulang. Aku tak tahu, sejak kapan tanah ini melumat habis kesombonganku hingga hancur berkeping-keping. Aku menyerah tanpa perlawanan dan untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasakan kebahagiaan tak terperi justru dalam kekalahan yang kuinginkan jauh dari lubuk hatiku yang paling dalam.
Pernah pula pada suatu sore di akhir musim dingin beberapa tahun yang lalu, Ibu berkata kepadaku: “Ram, hidup ini tak lebih dari hanya menumpang.” “Menumpang bagaimana, Bu?” “Ya, menumpang”, lanjut Ibu. “Menumpang pada seonggok tanah, menumpang pada aliran udara yang kita hirup setiap detik, menumpang pada urat-urat sungai yang mengalir di permukaan dan perut bumi, menumpang pada waktu yang menguraikan ingatan masa lalu dan mimpi-mimpi masa depan.” Pada sore yang cerah itu, tumpukan salju berkilauan disiram semburat matahari yang menembus ujung-ujung ranting Magnolia yang mulai menguncup, menunggu cuaca menghangat beberapa pekan lagi ketika kelopak-kelopak merah mudanya memenuhi hati Ibu. Aku diam mengamati teduh wajah perempuan yang melahirkanku ini. Pandangannya bergeming melintasi pagar yang membatasi halaman belakang, menerobos jalan dan hutan kecil yang masih meranggas, melintasi sungai Rhein hingga akhirnya diterbangkan angin dari tepi padang, membawanya jauh ke awang-awang. Sesaat kemudian, matanya tajam menatapku, “Ram, Ibu akan pulang!”
Ratusan purnama telah berlalu sejak sore itu, dan kini aku berada di sini, duduk seorang diri di ujung dermaga. Aku berbicara kepada sekawanan camar yang terbang labuh, berharap mereka akan menyampaikan ini kepada Ibu. “Iya Bu, engkau benar. Hidup ini tak lebih dari hanya menumpang.” Bagian mana dari kerak bumi ini yang kusebut sebagai tanah air? Bagian mana dari lempeng benua ini yang kupanggil sebagai kampung halaman? Pertanyaan tak berkesudahan yang sudah sejak lama menghantuiku itu baru saja kutemukan jawabannya, di sini, dekat sekali dari urat leherku, dibisikkan Ibu di telingaku bertahun-tahun yang lalu.
Dalam diriku mengalir darah dari sungai-sungai purba yang membelah pesisir Belitong, menembus rawa bakau dan nipah, menyusuri teluk yang memisahkan Birzebbuga dari Marsaxlokk, dihanyutkan arus Mediterania jauh menuju utara, dan akhirnya bermuara di lembah Rhein yang melegenda. Dalam napasku mengalun gemuruh angin yang membentangkan layar perahu nelayan Burong Mandi, menyapu debu yang menyelimuti kuil prasejarah Hagar Qim, dan menerbangkan helai-helai maple yang berbaris rapi di tepian Ruhr setiap musim gugur. Namun, kenangan masa kecil yang aku simpan tak lebih dari penggalan ketiga dari darah dan angin yang menyisiri lembah-lembah Eropa.
Ayah, aku tak pernah bisa meminta untuk dilahirkan di tanah mana dan terlahir oleh siapa. Tapi, ingin sekali aku kabarkan kepadamu melalui lembaran-lembaran surat ini, bahwa darah dan tulang yang telah menopang hidupku berikut nama yang tersemat dalam dadaku adalah hadiah terindah yang pernah Ayah dan Ibu titipkan kepadaku. Ayah, surat ini akan kutitipkan kepada juntai-juntai gandum yang akan menguning pada musim panas nanti di tepian Kemnadersee. Sempatkanlah dirimu untuk memetik helai demi helainya perlahan-lahan untuk kau baca sepanjang sore. Barangkali jika angin sudah lebih bersahabat, aku akan menyusulmu nanti. Kita bertemu di bawah jembatan batu tak jauh dari dermaga besar Valetta. Nanti, Ibu akan kubawa serta.
Anakmu selalu,
Ram
Catatan:
Potongan cerita pendek ini kutulis di Bandung pada akhir April 2019. Proses kreatif dibalik tulisan ini dilatarbelakangi oleh kenangan tentang kampung halamanku: Belitong, salah satu tanah perantauanku: Bochum, Jerman, dan persinggahanku yang paling berkesan selama merantau di Eropa: Malta.
No comments:
Post a Comment