Pada liburan Idul Fitri tahun ini, aku akan sejenak memindahkan channel kehidupanku dari rutinitas yang padat di Bandung menjadi sebuah perjalanan indah meretas kembali jejak-jejak masa kecilku. Masa kecilku yang paling indah di sebuah pulau kecil yang sangat aku sayangi. Sejuta rindu kubawa untuk orang-orang tercinta dan hawa pesisir yang menghangatkan jiwa.
Aku Masih di Pulau Jawa
Aku akan menempuh perjalanan darat yang tak begitu lama dari Bandung ke Jakarta. Hampir tak ada pemandangan menarik yang bisa kulihat selain rambu dan penanda kilometer dalam hitungan mundur. Atau sesekali terlihat sawah dan perkebunan teh. Pejalanan hampir 3 jam ini akan sangat membosankan bagi sebagian orang. Tapi, sejak kecil ada perasaan istimewa yang muncul dalam benakku bila melihat bangunan tinggi, jalan layang atau jembatan. Aku mengagumi konstruksi-konstruksi simetris yang begitu kokoh dari beton bertulang ini. Dalam pikiran kecilku, terlihat begitu “teknik”. Hesty kecil ketika itu bercita-cita menjadi seorang insinyur.
Walaupun kini bidang yang kutekuni bukan teknik sipil, namun bayangan masa kecilku itu secara tak langsung telah membimbingku untuk mendedikasikan diri di bidang engineering. Kini aku menemukan diriku terbenam dalam dunia fisika teknik, bidang kekhususan instrumentasi medik.
Memasuki kota Jakarta, kulihat beberapa baliho Laskar Pelangi. Oh, kampong halamanku! Kini kau jadi perhatian banyak orang. Masih kuingat dulu waktu pertama kali aku menginjakkan kaki di Pulau Jawa. Banyak yang tak tahu dimana Pulau Belitung (aku lebih senang menyebutnya Belitong, ah…terdengar lebih indah di telinga kami sebagai orang Melayu). “Oh, di Sulawesi ya?” atau “Dekat Riau kan ?” atau “Rangkas Bitung maksudnya?”. Begitulah reaksi orang-orang yang baru kukenal.
Namun, sedikit harus kuceritakan rasa heranku pada orang-orang kota ini. Apakah pengetahuan geografi mereka begitu rendah? Kuingat dulu, sejak SD aku hafal pulau-pulau kecil di Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi atau kota-kota kecil di pulau-puau besar Nusantara.
Kalau masih tak paham, mari kuceritakan sekilas mengenai Pulau Belitong. Bukan dari ikon-ikon yang mengangkat namanya seperti timah, Laskar Pelangi, DN Aidit, Andrea Hirata, Yusril Ihza Mahendra atau nama-nama yang lain. Namun dari letak geografisnya.
Pulau Belitong dibatasi oleh Laut Cina Selatan di sebelah Utara, Laut Jawa di sebelah Selatan, Selat Karimata di sebelah Timur dan Selat Gaspar di sebelah Barat. Sedikit ke arah Barat membujur dari Barat Laut ke Tenggara terdapat Pulau Bangka yang lebih besar. Jadi Belitong dan Bangka adalah pulau yang terpisah. Dulu kedua pulau ini merupakan bagian dari Propinsi Sumatera Selatan, namun sekarang telah memisahkan diri menjadi Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Propinsi pertama di Indonesia yang mencantumkan nama “Kepulauan”.
Kepulauan Bangka Belitong terpisah jauh dari Kepulauan Riau seperti terpisahnya Kepulauan Raja Ampat dari Halmahera. Dibutuhkan beberapa jam perjalanan laut. Namun, akses dari Pulau Jawa ke Belitong sangat mudah. Hanya butuh 45 menit penerbangan dari Jakarta. Jadi, kami tak seterpencil yang orang kira.
Ada cerita menarik tentang keterpencilan ini. Dulu aku sempat tertawa dalam hati ketika seorang temanku yang berasal dari Jawa bertanya: “Di Belitung katanya belum ada listrik ya? Cuman siang aja?”. Hahaha…asal kalian tahu, instalasi listrik yang diklaim Belanda terbesar se-Asia Tenggara ketika itu telah dibangun penjajah pada masa pra kemerdekaan. Jauh sebelum Nusantara bisa menikmati listrik dari PLN seperti sekarang ini. Sampai disini, sudah paham dimana letak pulau kelahiranku? Kalau belum, rajin-rajinlah membuka peta! Atau tak kan kuceritakan perjalananku selama di sana.
Tak terasa, sampailah bis yang kutumpangi di Bandara Soekarno-Hatta. Suasana begitu ramai dan sibuk, arus mudik sedang mencapai puncaknya. 45 menit perjalanan yang singkat dari Jakarta ke Belitong. Tak ada yang istimewa, selain gerombolan kecil yang menarik perhatian penumpang lain, bocah-bocah Laskar Pelangi!
Bandung, 3 November 2008
Bandung, 3 November 2008