Beberapa hari ini cuaca Kota Bandung tidak menentu. Siang tadi, matahari bersinar terik sekali, sambil sesekali mendung dan berawan. Tiba-tiba, sore tadi, langit berubah menjadi gelap. Awan hitam terlihat bergumpal-gumpal di kejauhan. Angin berhembus kencang, hawa dingin merasuk hingga ke tulang.
Hampir pukul 6 sore, perutku sudah sangat lapar. Rintik-rintik hujan pertama mulai turun, padahal aku baru seperempat perjalanan pulang. Hari ini, tiba-tiba saja aku memilih jalur angkutan umum berbeda dari biasanya. Aku rindu suasana Gedung Sate sore hari, juga pucuk-pucuk mahoni yang baru bersemi di sepanjang Jalan Diponegoro.
Perjalananku singkat saja. Aku turun di pertigaan Jalan Supratman, tepat di depan Asrama Mahasiswa Gunong Tajam, asrama mahasiswa Belitong, persinggahanku ketika pertama kali ke Bandung, hampir 7 tahun yang lalu. Hari makin gelap dan hujan masih lebat, air tergenang dimana-dimana.
Di sudut jalan, aku menemukan pedagang batagor yang menjajakan dagangannya di mobil bak terbuka. Lumayan untuk mengganjal perut laparku malam ini. Aku bertemu seorang ibu yang kelihatannya baru pulang kerja. Beliau membeli batagor dalam porsi besar, mungkin untuk dihidangkan bersama keluarganya. Kelihatannya beliau tidak membawa payung. "Nak, mau pulang kemana? Boleh Ibu ikut sampai Surapati? Nanti Ibu mau naik angkot pink dari situ". "Oh, tentu saja boleh Bu", jawabku spontan.
Kami melewati Jalan Pusdai yang tergenang, sambil sesekali berhenti untuk menghindari cipratan air dari kendaraan yang lewat. Di bawah naungan payung kecil itu, obrolan kami mengalir. Ibu Maya, begitu beliau mengenalkan diri kepadaku. Beliau bekerja di Citarum, tak jauh dari Pusdai, dan bertempat tinggal di Ujung Berung. Anak sulungnya sudah bekerja, dulu kuliah di Farmasi Unpad. Anak bungsunya baru tamat dari jurusan Perhotelan, juga sudah bekerja dan berniat melanjutkan kuliah lagi.Tersirat rasa bangga di wajah beliau, padahal aku tahu beliau sedang lelah setelah seharian bekerja.
Aku pun mengenalkan diriku. Beliau antusias sekali ketika tahu bahwa aku hidup terpisah jauh dari keluarga, hidup sendiri di Kota Bandung, dan masih memimpikan banyak hal. "Ibu doakan Nak Hesty sukses dan tercapai cita-citanya. Orangtua seperti Ibu tidak akan mewariskan apa-apa, selain ilmu yang bermanfaat. Karena warisan harta betapapun banyaknya, akan habis." Kuaminkan doa dari Bu Maya, dan kudoakan pula Beliau selalu sehat dan dikaruniai usia yang berkah.
Kami berpisah di tepi jalan Surapati, dalam rintik hujan yang mulai reda.
Pesan Bu Maya adalah pesan yang sama seperti yang disampaikan Ibuku dulu ketika aku akan merantau ke Bandung. Aku menjadi rindu, rindu sekali kepada Ibuku. Kiranya hujan sore ini mampu mengantarkan rinduku kepada Beliau, jauh sampai ke kampung halamanku. Kupeluk erat tasku yang basah. Dalam dingin dan mendung, hatiku tiba-tiba menjadi hangat, sehangat kasih sayang Ibuku.
Bandung, 17 Februari 2011
No comments:
Post a Comment