Surapati-Panatayudha-Dipati Ukur-Sumur Bandung-Taman Sari. Itulah sepenggal jalur angkutan umum Cicaheum-Ciroyom yang kulewati hampir 7 tahun terakhir ini. Banyak cerita, dalam perjalanan singkat sekitar 30 menit itu. Kalau aku berangkat agak pagi, teman seperjalananku rata-rata anak-anak berseragam sekolah. Mereka biasanya terlihat lebih ceria di awal-awal semester. Seragam, sepatu atau peralatan sekolah mereka terlihat lebih bersih atau bahkan baru.
Kalau agak siang sedikit, teman seperjalananku adalah ibu-ibu atau pembantu rumah tangga yang baru pulang belanja dari pasar Cihaurgeulis (Pasar Suci), yang lain biasanya mahasiswa atau karyawan. Ibu-ibu ini membawa banyak belanjaan, sedikit tenang kalau hanya sendiri. Tetapi kalau berteman, obrolan mereka lumayan “hidup”. Kalau mahasiswa biasanya tak banyak bicara, di awal bulan terlihat lebih “sehat”, di akhir semester terlihat lebih “kusut”. Kalau Bandung sedang musim hujan dan dingin sekali, beberapa dari mereka kelihatan sekali sengaja tidak mandi sebelum ke kampus. Kalau musim ujian tiba, mereka mendadak berseragam putih-hitam, karena rata-rata mereka mahasiswa Unpad Kampus Dipati Ukur atau Unikom yang menerapkan aturan seperti itu.
Sopir angkutan umum ini rata-rata orang rantau dari Sumatera Utara. Awalnya aku belum terbiasa dengan style mereka, yang mungkin untuk sebagian orang agak kurang nyaman dengan gaya mengemudi yang “njut2an” atau gaya bicara mereka yang terkesan agak kasar bagi telinga orang Sunda. Tapi lama-lama, mereka jadi “teman baik”-ku selama hampir 7 tahun terakhir ini.
Perjalananku hampir setiap pagi akan melewati 2 lampu merah, yang pertama di perempatan Gasibu, salah satu perempatan paling ramai di Bandung. Di sini ada 2 atau 3 pedagang asongan dan sekitar 6 atau 7 pengamen. Salah satu dari mereka bertubuh gempal, lagu favoritnya: “Slank-SBY (Sosial Betawi Yoi)”. Yang lain biasanya berkolaborasi, satu penyanyi, satu pemain biola, satu pemetik gitar, dan satu penabuh gendang. Biasanya mereka membawakan lagu-lagu Iwan Fals, atau lagu-lagu karangan mereka sendiri, tapi gaya liriknya masih itu-itu juga: memaki-maki pemerintah.
Penumpang angkot biasanya turun di Panatayudha, karena disitu ada SMP dan SMA PGII dan rumah-rumah yang umumnya ber-pembantu rumah tangga. Sebagian akan turun di kampus-kampus sepanjang jalur ini. Di sekitar monument PRJB (Perjuangan Rakyat Jawa Barat), tepat di depan Kampus Iwa Kusumasumantri Unpad Dipati Ukur, biasanya pak sopir akan berhenti agak lama. Karena di kawasan ini lah, sebagian mahasiswa Unikom dan ITB bertempat tinggal. Tiga kali dalam setahun, aku akan bertemu para penjual bunga di sekitar kawasan ini, karena tiga kali pula Rektor Unpad akan mewisuda mahasiswanya. Senang sekali melihat wajah-wajah berbinar dari para wisudawan dan keluarganya. Dulu waktu aku belum diwisuda, secara tidak langsung mereka telah menjadi motivator-motivator ulung bagiku. Kalau sekarang, acara semacam ini menjadi seperti nostalgia saja. Masih seperti dahulu, kesannya tetap menyenangkan bagiku.
Pak Sopir akan kembali berhenti di pertigaan Sekeloa, menunggu mahasiswa-mahasiswa FKG Unpad yang akan ke Rumah Sakit Hasan Sadikin. Mereka rata-rata berpenampilan rapi, lebih rapi dari mahasiswa pada umumnya. Mereka ini calon dokter gigi. Di sepanjang jalan Dipati Ukur ini, terdapat 4 pool travel Jakarta-Bandung PP. Usaha travel Bandung-Jakarta mulai ramai sejak tol Cipularang selesai dibangun sekitar April 2005, menjelang 50 tahun Peringatan Konferensi Asia Afrika di Bandung.
Lampu merah kedua yang kulewati adalah perempatan McD Dago. Restoran fast food asal Amerika ini buka 24 jam. Di seberangnya ada minimarket Circle K yang buka 24 jam pula, lalu di sampingnya teronggok warung kecil pinggir jalan tempat berkumpul para pengamen dan pedagang asongan. Mereka punya seorang bos, kepala preman atau apalah nama yang paling tepat. Yang jelas, pak bos ini terlihat sangat disegani. Setiap sopir akan menyetorkan iuran wajib kepadanya, tapi setiap pagi pula, mereka diberi jatah sarapan 1 kue basah, biasanya donat, risoles atau pastel.
Pengamen di sini relatif lebih terampil, kadang-kadang ada 2 orang anak kecil bersuara emas yang akan menyanyi diiringi lantunan biola. Ada pengamen yang senang sekali membawakan lagu-lagu jaman lawas, suaranya serak-serak basah. Seorang lagi selalu membawakan lagu cinta, belum pernah aku mendengar dia membawakan lagu bertema lain, kalau cuaca sedang cerah biasanya tentang orang yang sedang jatuh cinta, kalau musim hujan dan mendung, biasanya tentang orang yang dikhianati cinta. Sekarang gitarnya makin usang, maka sesekali dia akan memetik ukulele.
Di perempatan ini juga ada seorang juru parkir berseragam oranye dan selalu bertopi, pria setengah baya ini menyambi menjadi pedagang koran. Kalau dia tak berseragam parkir, wajahnya lebih mirip direktur perusahaan multinasional. Kadang kalau angkot yang ngetem di sini dinaiki banyak penumpang, si bapak akan mendapat bagian sepeser dua peser dari pak sopir.
Jalur terakhir yang kulewati sebelum turun adalah jalan Sumur Bandung. Jalannya tidak panjang, mungkin hanya sekitar 100 meter. Sekitar 2008 sampai pertengahan 2010 jalan ini berlubang-lubang, jelek sekali, sampai-sampai ada yang memasang bendera penanda seperti di track rally off road, sebagai sindiran bagi Pemda Bandung. Kalau musim hujan, air tergenang sampai mata kaki. Akhir 2010 jalan ini dan ujung jalan Siliwangi akhirnya diperbaiki dan dicor lebih tinggi. Ternyata salah satu rumah di ujung jalan Sumur Bandung ini adalah rumah Prof. Dr. Oei Ban Liang, sang perintis bioteknologi Indonesia. Rumah sederhana bergaya arsitektur kuno ini halamannya rindang dan pagarnya berwarna hijau teduh. Prof. Oei adalah Guru besar Kimia ITB, beliau meninggal pada bulan November 2010 yang lalu.
Di pertigaan Sumur Bandung-Tamansari, aku akan turun dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Begitu turun, aku akan “disapa” pengemis tua berbaju hitam dan selalu memakai kopiah. Biasanya bergantian dengan rekannya yang juga berpenampilan serupa. Lalu, aku akan bertemu dengan seorang pengemis buta, anak perempuan berusia sekitar 13 tahun, selalu mengenakan kerudung dan sering berteriak-teriak atau berbicara sendiri. Biasanya dia ditemani seekor anjing berwarna putih dengan sedikit corak hitam.
Teman perjalananku yang terakhir adalah pohon-pohon mahoni. Kalau musim kemarau tiba, daun-daunnya akan berguguran dan berserakan di pinggir jalan, indah sekali. Apalagi kalau angin bertiup agak kencang, seperti musim gugur saja. Kalau hujan pertama sudah turun, daun-daun mudanya akan bersemi, mula-mula agak merah, lama-lama kelamaan berubah menjadi hijau muda, hijau tua, dan akhirnya kembali gugur. Begitu terus menerus, sampai akhirnya meranggas dan benar-benar tak berdaun lagi. Sebuah siklus yang teratur, seteratur langkahku setiap pagi, langkah-langkah kecilku meraih mimpi.
Bandung, 3 Februari 2011
No comments:
Post a Comment