Kata orang, usia 40 tahun adalah titik di mana kita seperti terlahir kembali, terlahir untuk kedua kalinya dalam versi yang sudah jadi. Makanya tak jarang kita lihat, seseorang dengan karakter tertentu yang sudah melekat pada dirinya akan sulit diubah jika usianya sudah menginjak 40 tahun ke atas. Tapi, aku termasuk dari sedikit orang yang naif dan masih percaya bahwa seseorang bisa berubah, setidaknya sampai hari ini. Sore kemarin, keyakinanku itu dibenarkan oleh seorang Sore dalam film Sore: Istri dari Masa Depan. Namun, dia membenarkan anggapanku itu dengan sebuah catatan kaki yang menampar mentah-mentah egoku.
***
Sore itu, aku menatap diam-diam rumah yang sudah berangsur-angsur dikosongkan sejak pekan lalu itu. Semua perabot dan barang sudah dinaikkan ke bak truk untuk diangkut ke rumah Kakekku. Rumah dengan teras bertangga dan dua bilah daun jendela itu adalah rumah dinas PT. KIA yang sebelumnya ditempati oleh Pamanku sekeluarga. Pamanku itu Abang dari Ayahku. Aku masuk ke dalam mobil sedan Datsun coklat dan duduk di jok belakang, disusul Abang sepupuku yang kerepotan memasukkan 4 ekor kucingnya ke dalam mobil, seekor induk dan 3 ekor anaknya yang masih kecil. Di dalam mobil, aku menggendong dua dari kucing manis itu. Pak Salim, mantan bawahan Pamanku menginjak gas, sedan itu pun melaju menyusul truk yang sudah berlalu lebih dulu. Sambil menggendong 2 kucingnya, Abang sepupuku terus menatap ke arah belakang mobil yang membawa kami, diam dan tidak menangis. Pak Salim diam, aku juga diam, padahal saat itu dadaku sesak menahan air mata yang tumpah ruah dalam buluh napasku. Pohon kersen yang biasa aku panjati di halaman rumah itu seperti layu dan menggugurkan daun-daunnya. Daun-daunnya itu terbang terbawa angin bersama kenangan-kenangan yang luruh dimakan waktu.
Namun, rentetan kejadian hampir 30 tahun yang lalu itu tak pernah hilang dari ingatanku hingga hari ini. Sejak hari itu, aku dan Abangku seperti ketambahan satu saudara kandung lagi, bukan Adik, tapi Abang sepupu kami. Ketika itu, Pamanku (Ayahnya) belum lama berpulang, saat usia Abang sepupuku belum genap 15 tahun, hanya berselang 9 bulan setelah Ibunya berpulang lebih dahulu. Dia punya seorang Abang dan seorang Kakak perempuan, keduanya saat itu sedang berkuliah di Bandung. Setelah kehilangan kedua orang tua mereka, Abang sepupuku tinggal di rumah Kakekku yang sudah lama hanya ditempati salah seorang Bibiku, Kakak dan Abangnya kembali ke Bandung untuk menyelesaikan pendidikan mereka.
Sejak saat itu, kami bertiga tumbuh bersama. Abangku paling dekat dengan Abang sepupuku, usia mereka hanya terpaut 1 tahun. Setiap pulang sekolah, aku dan Abangku biasanya singgah ke rumah Kakek untuk membaca komik dan majalah anak-anak miliknya. Koleksi buku dan gamenya banyak sekali, pemberian Ayah dan Ibunya dulu. Sejak kecil, dia senang menggambar dan bermain musik. Hobi Abangku juga tak jauh berbeda. Kalau denganku, persamaan kami adalah soal kucing-kucing yang kami sayangi.
Kejadian-kejadian yang berlangsung cepat itu, sampai hari ini masih meninggalkan bekas mendalam, mengiris dalam benakku. Tapi, aku ingat betul, Abang sepupuku tidak menangis, baik ketika Ibu maupun Ayahnya berpulang. Aku hanya ingat dia menangis ketika dia bertengkar saja. Aku mungkin serupa dengan dirinya, dulu aku biasanya menangis karena marah, bukan karena sedih, tapi seiring waktu, aku juga berubah.
***
Rol film kuputar kembali ke masa sekarang. Abang sepupuku kini telah menjadi seorang Ayah dari seorang anak laki-laki. Keponakanku itu saat ini duduk di kelas 1 SMP. Di masa dewasa, kami tak mengobrol sesering dulu. Meskipun tidak sering bertemu, sesekali aku menanyakan kabarnya ke Ayah dan Ibuku atau Abangku yang sekarang tinggal tak berjauhan dari rumahnya. Entah mengapa, dia juga salah satu sosok yang relatif sering hadir dalam mimpiku, selain mendiang Kakek dan Nenekku, baik dari pihak Ayah maupun Ibuku. Lukisan goresan pensilnya ketika dia kuliah di Jurusan Desain Grafis dulu masih kupajang sampai hari ini, lukisan sebuah rumah berdinding kulit di tepi telaga, di bawah temaram cahaya bulan. Tiap melihat lukisan itu, memori dalam kepalaku terlempar kembali ke kejadian sore itu ketika aku melihat teras berpagar rendah itu untuk terakhir kalinya. Seperti tipikal stereotipe sebagian seniman, Abang sepupuku perokok berat, pekerjaannya yang memang menuntut sisi kreatif sering sekali menyita waktu istirahat malamnya, malam hari dia terjaga, siang hari dia baru tidur. Makannya juga tidak berpantang, dan jarang kami melihat dia berolahraga.
Beberapa pekan yang lalu, aku menerima panggilan video dari Abangku, wajahnya muram seperti hampir menangis. Dia mengabarkan bahwa kemarin Abang sepupuku terkena serangan jantung. Aku terdiam, suaraku tercekat. Kepalaku serasa berputar-putar. Dipan rumah sakit, buah srikaya dan permen mint tiba-tiba muncul dalam ingatanku. Tiga benda yang paling kuingat ketika Pamanku berpulang dulu. Beliau sudah lama memiliki masalah jantung. Dulu waktu aku masih kecil, Ayahku rutin mengantarnya berobat ke Rumah Sakit Jantung Harapan Kita di Jakarta, dr. Sibarani nama dokter spesialis jantung yang merawatnya. Di hari-hari terakhirnya, Pamanku minta dibelikan buah srikaya dan permen mint, dua benda itu teronggok muram di sebelah dipan pembaringan terakhirnya di Rumah Sakit Timah, tak jauh dari sekolahku dulu.
Setelah dirawat hampir seminggu di Rumah Sakit, Abang sepupuku kembali ke rumah, dirawat jalan sambil berangsur-angsur belajar berjalan dan belajar menelan kembali. Proses penyembuhannya memang pasti butuh waktu dan kesabaran. Selama dirawat, Abangku yang berdiskusi langsung dengan dokter yang merawatnya. Kejadian ini cukup membuat kami sekeluarga khawatir, apalagi yang tinggal jauh dari sana, termasuk aku. Lalu, tak sampai seminggu setelah kembali ke rumah, rupanya tak banyak yang berubah dari Abang sepupuku, bukan kondisi kesehatannya, tapi kebiasaan hidupnya yang sudah tercetak paten di usianya yang sudah menginjak awal 40-an ini. Menerima kenyataan itu, perasaanku campur aduk. Ada rasa marah, sedih, takut, dan kecewa yang mewujud dalam perih dan memori-memori traumatis masa kecilku ketika tumbuh besar bersama dirinya. Deru roda mobil Datsun itu tiba-tiba melintas dalam mimpiku, aku terbangun dalam igau, mataku basah, jam masih menunjukkan pukul 02.00 dini hari.
Kembali ke film Sore: Istri dari Masa Depan. Sebagai lulusan Teknik Fisika, aku tak mau membahas aspek fisika dari film ini, bukan karena tak kompeten, tapi bukan itu pelajaran paling menghujam yang kudapat setelah menonton Sore, sore kemarin. Supaya tidak spoiler, aku tak akan menceritakan detail filmnya. Serupa dengan versi seriesnya, film ini mengangkat fiksi sains yang dikemas dalam penceritaan dan sinematografi yang sangat artistik. Seorang Sore kembali ke masa lalu untuk bertemu dengan Jo, suaminya (yang saat itu belum menjadi suaminya). Misinya hanya satu: ingin membuat hidup Jo menjadi lebih baik. Jo yang seorang fotografer ini, gaya hidupnya awut-awutan, tipikal gaya hidup sebagian seniman: perokok berat, sering begadang, jarang olahraga, ditambah hobi minum alkohol. Karena gaya hidup ini, di masa depan, Jo meninggal lebih dahulu dari istrinya, di usia relatif muda, karena serangan jantung.
Dalam usahanya, Sore entah sudah berapa ribu siklus mengulang-ulang rangkaian kejadian yang sama untuk mengubah Jo. Sikus-siklus berulang yang melelahkan dan menyakitkan ini pada akhirnya membuat Sore tersadar, yang bisa mengubah Jo bukan dia, tapi diri Jo sendiri. Tugas dia hanya mencintai Jo, setulus-tulusnya. Jo tetaplah Jo, dalam paket lengkap dengan segala sifat dan kebiasaan hidupnya. Di akhir film, Jo kembali ke tanah air, dalam potongan garis waktu yang belum bertemu Sore di masa mendatang, lalu dia seperti mendapat “ilham” untuk memperbaiki gaya hidupnya agar menjadi lebih baik. Meskipun belum mengenal Sore, siklus-siklus percobaan Sore mengubah Jo dalam potongan-potongan garis waktu yang berbeda tadi seperti sudah tertanam di alam bawah sadar Jo. Wujud cinta yang tulus dari seorang Sore pada sosok Jo berhasil mengubah Jo menjadi versi lebih baik dari dirinya di masa lalu. Lalu, Jo mengatakan: “Orang berubah bukan karena rasa takut, tapi karena dicintai.” Potongan kalimat ini seketika menyentak kesadaranku, menampar egoku yang runtuh seketika.
***
Masa penyembuhan Abang sepupuku adalah proses yang melelahkan lahir dan batin, bukan hanya bagi dirinya, tapi juga bagi kami sebagai keluarga. Abangku adalah sedikit dari manusia yang kukenal yang hatinya luas sekali. Aku yakin, dia belum atau tidak akan menonton film Sore. Tapi, pelajaran dari film ini yang tadi menampar kesadaranku, sudah diterapkan oleh Abangku jauh-jauh hari sebelum film ini dibuat, dalam wujud yang terang benderang, tanpa banyak teori ini itu. Abangku adalah orang paling sabar dalam menghadapi masa turbulensi Abang sepupuku dalam hari-hari belakangan ini. Wujud cintanya tenang dan menenangkan, tak hendak melawan. Aku berefleksi kembali, sebenarnya rasa marah dan kecewaku tadi apakah sebenar-benarnya wujud cinta yang tulus untuk Abang sepupuku, atau hanya ego dan keras kepalaku saja yang ingin dia berubah sesuai keinginan dan gambaran ideal dalam versiku? Pada akhirnya, dalam idealisme rasa sayang ini, yang harus berubah itu bukan Abang sepupuku, tapi aku sendiri. Selama ini, apakah pernah aku terpikir, luka yang mana dalam jiwanya yang belum mengering? Cukupkah kasih sayang yang dia terima selepas kepergian Ayah Ibunya?
Hidup yang tak seberapa lama ini punya seribu wajah dan lapisan-lapisan yang tak harus tersingkap semuanya. Tapi, sesekali aku perlu berhenti sejenak dan mengamatinya lebih tenang untuk menyingkap rahasia-rahasia yang dititipkan oleh Sang Pemilik hidup. Usia menjadi sesuatu yang relatif, dan kematian tak mengenal tua dan muda. Tahun lalu, ketika reuni 20 tahun angkatan kami, seorang dosenku memberikan nasihat: menginjak usia 40, hidup itu idealnya bukan lagi tentang diri sendiri, tapi sudah harus memikirkan lebih banyak tentang orang-orang lain dan persiapan untuk kembali ke haribaan Ilahi.
“Abang-Abangku, aku menyayangi kalian, dan akan terus belajar untuk mencintai setulus-tulusnya, inshaa Allah.”
Bandung, 26 Juli 2025