Menyoal pilihan hidup, bagiku tak lebih dari memandang elemen paling dasar dari kehidupan itu sendiri: "hidup untuk apa?" Otakku sedang sedikit rumit sore ini, ingin menalar sekelumit tanya pada diri sendiri. Aku ingin duduk sebentar, berhenti berlari lalu menoleh ke belakang, memandang kelok-kelok yang kadang sudah gelap tertelan belukar.
Pada detik ini, aku mencoba menyusun kembali remah-remah memori yang telah dengan sangat ajaib terangkai membentuk kehidupan yang kujalani pada sekian hari belakangan ini. Beruntung, tak sekali pun ayah ibuku memaksaku untuk menjadi apa, tapi terkadang nalar bebasku sering sekali terlalu menguasai.
Aku masih ingat, berbelas-belas tahun yang lalu, aku pernah punya cita-cita ingin menjadi penerjun payung, lalu ingin jadi tentara, dan terakhir ingin jadi insinyur. Khayalan-khayalan bebas masa kecil adalah api semangat yang senantiasa menyala, merangkai mimpi-mimpi yang bebas pula. Lalu asumsi-asumsi yang dulu kubuat dalam imajinasiku sendiri, dibumbui dengan perhitungan-perhitungan konyol, lambat laun menciptakan kesadaran-kesadaran baru di kemudian hari, kesadaran akan berbagai ketidakmungkinan dan kenyataan yang pelan-pelan tak jarang bertolak belakang.
Aku paling gemar memperhatikan bagaimana kehidupan merangkai cerita yang diperankan oleh para pelakonnya. Kawan-kawan kecilku dulu, yang berbelas-belas tahun tak terdengar kabarnya, lalu seperti tiba-tiba saja telah menjadi "Bapak-Bapak" dan "Ibu-Ibu" yang dulu hanya kami kagumi lewat buku-buku atau tokoh-tokoh hidup yang kebetulan hadir dalam masa kecil kami. Si A kini telah menjadi dokter, si B jadi guru, lalu si C jadi polisi, dan si D jadi pengusaha. Sayangnya, aku telah melewatkan kisah-kisah mereka, yang tentu bukan hanya sesingkat dan semudah menggoreng telur untuk sarapan pagi.
Lalu, di fase kehidupan selanjutnya, aku bertemu orang-orang dengan berbagai kisah yang tak kalah seru. Ada sahabat yang pun tanpa diminta, selalu menyelipkan nama kita di setiap doanya, ada pula sahabat yang diam-diam menyimpan rindu dalam setiap pertengkaran kecil dan debat tak berkesudahan. Ada sahabat yang sudah tak tahu ingin mencapai apa lagi dalam hidupnya, karena saking suksesnya dalam takaran hidup duniawi, lalu merasakan kegamangan hidup yang luar biasa. Banyak orang yang tak seperti bagaimana tampaknya, keropos paling rapuh yang tersimpan dalam hati adalah teritori paling pribadi yang hanya diketahui oleh si pemilik raga, juga Sang Penciptanya. Oleh karena itu, aku tak pernah berani menilai pribadi orang lain, sedekat apa pun aku mengenalnya.
Lalu bagaimana dengan aku sendiri? Pun demikian adanya. Rangkaian pengalaman, mimpi, logika, usaha dan segala macam kelumit dalam hidup pelan-pelan telah membentuk aku yang seperti sekarang ini. Aku yang masih dengan mimpi-mimpi bebal menari-nari dalam kepala semenjak pagi, aku yang masih sering tak sabar menikmati episode-episode seru yang mengajakku berlari, lalu aku yang pun belum bisa bermanfaat untuk ayah ibuku hingga hari ini.
Setinggi apa pun cita-cita, sejauh apa pun jarak yang pernah ditempuh, selalu ada kata kembali yang senantiasa memberikan secercah harapan. Lelah yang terakumulasi sepanjang hari, punya kata kembali: malam, tidur, atau istirahat. Perjalanan jauh baik itu untuk merantau atau sekedar bepergian, punya kata kembali: pulang, atau mudik. Hidup dengan episode-episode yang tak terduga punya kata kembali: mati, kubur, atau akhirat. Pun fenomena-fenomena di alam ini senantiasa menemui fase kembali untuk istirahat dan memulai siklus berikutnya. Kata ayah ibuku: "Jadi apa pun engkau nanti, jadilah orang yang bermanfaat. Tujuan hidup di dunia ini hanya satu: untuk beribadah, itu saja".
Dalam rangkaian imajinasi bebalku ini, aku punya cita-cita yang sungguh sederhana: menikmati sisa hidup dengan damai di kampung halamanku nun jauh di seberang samudera sana. Hidup sederhana dalam rumah panggung beratap rumbia, tak punya segala macam alat komunikasi elektronik yang mengalihkan dunia nyata yang tinggal satu-satunya di hadapan mata. Lalu pelan-pelan nyawa ini direnggut tanpa ada yang menangisi, dan tanpa menyusahkan seorang pun juga. Ah, damai sekali rasanya.
Bochum, 27 Juni 2013
musim panas berinai hujan