Tanjongpandan
Mengapa hampir setiap orang mencintai kampung halamannya? Karena dari sanalah semua cerita bermula, dari sanalah aku merajut mimpi-mimpi masa kecilku, dan di sanalah aku merasakan cinta untuk pertama kalinya. Cinta dari Yang Maha Mencintai, cinta dari orang-orang yang paling mencintaiku, cinta dari setiap desir angin, tetes hujan dan riak gelombang.
Idul Fitri akhirnya tiba. Mataku basah ketika sampai di Surau As Salam. Takbir berkumandang dari pengeras suaranya. Surau kecil ini masih seperti dulu meskipun telah tujuh tahun aku meninggalkannya. Letaknya tak jauh dari rumah kami dulu. Rumah yang kami tinggali sejak aku bisa berjalan sampai lulus SMP, dan akhirnya kami sekeluarga pindah ke Pangkalpinang. Rumah itu kini telah dihuni orang lain.
Kuperhatikan setiap detail bangunan surau, kusen jendelanya kini mulai rapuh digerogoti rayap, warna catnya pun masih sama, biru laut. Beduknya masih yang dulu, dari pohon Kemang besar di tepi lapangan volley dan kulit sapi sumbangan orang Madura yang merantau di kampung kami. Dulu kami biasa memainkannya saat tiba malam lebaran, setelah makan bersama dari dulang (semacam nampan besar dari logam) yang diantar dari setiap rumah, hidangan khas hari raya.
Kupandangi dari kejauhan rumah kami dulu. Pohon Cempedak di halamannya kini sudah tak ada lagi. Catnya pun sudah berubah. Aku masih bisa mendengar suara kucingku, aku masih bisa melihat sepeda yang sering kupakai dulu, aku masih bisa melihat sahabat-sahabat masa kecilku bermain menghabiskan sore, aku masih bisa melihat diriku duduk di bawah rindangnya pohon rambutan. Masih adakah coretan dinding yang dulu kubuat bersama sahabatku? Oh, begitu banyak kenangan masa kecilku di rumah itu. Namun, sekarang aku hanya bisa mengenangnya dalam mimpi.
Suasana khas Pulau Belitong, rumah-rumah sederhana dengan halaman luas yang ditumbuhi pepohonan menghadap ke jalan raya, orang-orang yang suka duduk-duduk di serambi rumah menjelang senja tiba, atau pasar ikan yang ramai sejak dini hari. Rutinitas berbagai etnis yang menyatu dalam kehidupan yang damai di kampung kami.
Pantai Tanjong Pendam telah sedikit berubah, tampak lebih rapi dan terawat. Pantai ini berada tak jauh dari SD ku. Dulu, aku dan teman-teman sekelasku sering menghabiskan sore di sana. Memunguti cangkang-cangkang kerang, menangkap ikan Sembilang atau sekedar memandangi Pulau Kalimoa dari kejauhan. Kami pun sering latihan baris-berbaris menjelang perlombaan pada bulan Agustus. Kami juga pernah latihan pramuka “mencari jejak” dari ujung benteng Belanda sampai mulut dermaga Tanjongpandan melewati hutan bakau di sepanjang pesisir Tanjong Pendam. Benteng Belanda adalah nama yang kami buat sendiri untuk selasar luas yang bertangga cukup tinggi di sisi kiri kanannya. Letaknya di atas bukit kecil di samping sekolah kami yang ditumbuhi pohon-pohon beringin besar. Konon, bangunan itu memang peninggalan Belanda.
Libur lebaran kali ini tak lupa kucicipi jajanan pasar Belitong. Ada es campur Babah Pilai depan tugu pahlawan, ada pampi (kwetiaw) goreng yang lezat, ada kue putu dan kue lumpang atau sea food segar yang mengundang selera.
Tanjongpandan masih seperti dulu ketika aku masih kecil. Tak banyak yang berubah dan aku ingin tetap mengingatnya seperti itu.
Bandung, 19 Januari 2009
Bandung, 19 Januari 2009