Aku dilahirkan jauh di negeri tropis, dibuai hangat mentari sepanjang tahun. Sinarnya itu jarang sekali malu-malu, seperti hujaman pedang-pedang cahaya yang tak habis-habis. Bila musim kemarau tiba, jalanan kering berdebu, daun-daun mahoni berguguran menyisakan ranggas-ranggas kerontang terbakar matahari. Waktu aku masih kecil, aku biasa bermain ke sana ke mari bertelanjang kaki, menyusuri jalanan tanah kerontang, keluar masuk huma dan hutan kecil, atau sesekali berenang di sungai bersama kawan-kawanku. Kalau sudah ke pantai, lain lagi ceritanya, pendeknya selalu saja ada hal baru yang menakjubkan yang kualami setiap hari. Hujannya pun jarang sebentar, tumpah ruah melimpah dari langit. Bila musim hujan tiba, aku paling tak suka kalau harus terkurung di rumah karena sakit. Aku lebih memilih mandi air hujan sambil menghanyutkan perahu kertas pada saluran-saluran air di tepi jalan. Hanya petir yang mampu menghentikan permainan kami di tengah hujan.
Ada pula masanya ketika kemarau betah berlama-lama. Sumur di rumah kami kerontang kehilangan airnya. Lalu orang-orang di kampung kami akan berbondong-bondong mengumpulkan air dari sebuah sumur yang tak pernah kering walaupun kemarau panjang. Sumur ini terletak tak jauh dari aliran sungai, di dekat rumah seorang tetangga kami yang keturunan Tionghoa, Babah Anyin namanya. Maka orang-orang pun menamakan sumur ini "perigi Anyin". Ayahku akan membawa jerigen-jerigen ukuran 20 liter yang disusunnya pada keranjang "pempang" di belakang sepeda motornya. Aku mengikutinya sambil berlari-lari kecil dari belakang. Musim kemarau itu musim susah, tapi keceriaan orang-orang di perigi Anyin mampu mengobati kesedihan kami.
|
Pantai Tanjong Pendam, Belitong |
Aku tak mengenal segala macam permainan elektronik seperti video game, internet apalagi, satu-satunya hiburan digital di rumah kami hanya televisi. Dulu, kupikir orang-orang di seluruh dunia itu merasakan musim yang sama, tak ada yang namanya musim dingin yang panjang, kalau pun salju paling hanya sebentar, karena kebanyakan film-film luar negeri yang kutonton di televisi menampilkan suasana musim panas, tak ada orang berjaket tebal yang kerepotan menahan dingin. Coba lihat serial
Little House on The Prairie, pakaian mereka tak ubahnya pakaian orang-orang di negeri tropis juga. Langitnya pun biru cerah tak berawan, dihembus sepoi-sepoi udara hangat, lalu Laura berlari-lari kecil bersama anjingnya di atas padang rumput nan luas, amboi! Belasan tahun kemudian aku baru menyadari, bahwa suasana seperti itu sesungguhnya sangat jarang dirasakan mereka yang tinggal di negeri empat musim. Mereka hanya merasakan musim panas yang tak begitu lama, sisanya adalah hari-hari kelabu tak bermatahari, dingin, hujan, bahkan bersalju.
|
Ladang Raps di musim semi, Bochum |
Rasanya dulu ketika musim-musim berganti tak pernah kurasakan begitu berkesan, biasa saja. Bunga-bunga liar dari berbagai jenis akan tumbuh dengan mudahnya sepanjang tahun, tak harus menunggu musim semi. Masa kecilku hanya tentang anak kampung yang betah menghabiskan sorenya menunggui matahari di ujung dermaga, bersepeda ke sana ke mari tak kenal lelah atau mengajari kucingku macam-macam ketangkasan. Tahun demi tahun lewat sampai tiba waktunya aku harus meninggalkan kampung halaman. Rupanya belasan tahun kemudian, aku sering diliputi rindu. Aku rindu suara bedug bertalu-talu dari Surau kecil di depan rumah kami, rindu kumandang adzan, rindu layangan warna-warni yang menghiasi angkasa, rindu teriakan ibuku memanggil-manggil jika aku masih betah bermain hingga sore menjelang. Lalu, akan kukatakan pada dunia bahwa masa kecilku terukir dengan sempurna di sebuah negeri indah, jauh di seberang samudera sana, Belitong, Indonesia.
Bochum, 27 Maret 2014