Tuesday, May 07, 2013

Langlang Buana ‘Percakapan Diam-Diam’


Berawal dari kecintaanku pada seni, demikianlah kisah petualangan sebuah buku bermula. Sebuah buku berisi lantunan kata-kata dalam sebuah ‘Percakapan Diam-Diam’, yang telah tunai petualangannya sampai ke Bochum, Jerman, kota kecil tempatku berjuang saat ini.

Suatu sore di bulan Juni, musim panas tahun lalu, sepulang dari kampus, seperti biasa aku melepas lelah sambil membaca buku, menunggu malam tiba, sambil mengamati deras arus informasi dari berbagai media sosial. Sore itu, tanpa sengaja aku menemukan sebuah akun twitter: @lelakibudiman, nama yang unik kupikir. Sejak saat itu, sering kusimak ‘kicauan’ sang @lelakibudiman, yang di kemudian hari kuketahui bahwa ia menulis sebuah buku kumpulan puisi: ‘Percakapan Diam-Diam’, ilustrasi oleh Koskow, dosen ISI Yogyakarta, yang juga pernah mengajar sahabatku, Ponda.

Ayahku juga seorang pembaca akut, kupikir tak ada salahnya menghadiahi beliau sebuah buku. Tanpa pikir panjang, aku pun memesan ‘Percakapan Diam-Diam’ untuk dikirim ke kampung halaman. Nanti saja pikirku, bila masih ada umur untuk pulang, ‘Percakapan Diam-Diam’ bisa kubaca sambil menikmati sore di beranda rumah bersama Ayah.

‘Percakapan Diam-Diam’ pun memulai petualangan pertamanya  dari Jogja ke Tanjungpandan pada November 2012. ‘Bukumu sudah sampai’, kata Ayah pada suatu sore. Lalu Beliau membacakan beberapa bait puisi di dalamnya. ‘Percakapan Diam-Diam’ masih tak terjangkau olehku, saat itu ia mewakili rindu.

Januari lalu, karibku Mira yang sedang belajar di Nijmegen, Belanda, berencana pulang untuk menghadiri pernikahan kerabatnya. Aku pun serta merta meminta kesediaan Mira untuk mengajak ‘Percakapan Diam-Diam’ pulang bersamanya nanti ke Belanda. ‘Percakapan Diam-Diam’ pun melanjutkan petualangan berikutnya dari Tanjungpandan ke Cimahi, Depok dan Jakarta, untuk selanjutnya menempuh perjalanan ribuan mil ke Amsterdam dan Nijmegen pada Februari lalu.

‘Percakapan Diam-Diam’ menikmati musim dingin di Nijmegen, musim dingin yang panjang dan baru beranjak pergi di awal April tahun ini. Mungkin ia terkejut agaknya, melihat kelabu yang enggan pergi, kadang sayup dingin menggigit tiba-tiba menyelinap dari celah pintu. Saat itu ia mewakili tubuh kami, orang Indonesia, yang ringkih diterjang hawa dingin, demi mengejar mimpi di negeri antah berantah ini.

'Percakapan Diam-Diam' pada suatu siang nan cerah
di Keukenhof, Lisse, Belanda
Musim semi datang terlambat, bunga-bunga liar yang sempat bersemi di awal Maret, harus mengurungkan niatnya, rupanya salju masih betah menemani kami berlama-lama. Kuharap ‘Percakapan Diam-Diam’ masih sabar menungguku sampai musim semi tak berbohong lagi.

Bulan Mei pun tiba membawa hawa hangat dan semilir teduh sepanjang sore. Waktu yang tepat untuk menjemput ‘Percakapan Diam-Diam’. Sabtu pagi di Stasiun Leiden Centraal, pada sebuah pertemuan malu-malu, ‘Percakapan Diam-Diam’ terbata mengenalkan diri padaku, tabik senyum rindu, tak ragu lalu kuajak ia menikmati semi di taman bunga Keukenhof.

Dalam perjalanan pulang kembali ke Nijmegen, kubaca lirih sebuah puisi dalam ‘Percakapan Diam-Diam’:

'Percakapan Diam-Diam'  di jendela kereta
dalam perjalanan pulang menuju Nijmegen
Pun Angin Tak Mampu

Ijinkan aku sejenak
menikmati  lembut denyut
yang tak sempat kau ucapkan

Hingga esok
Kubisikkan lirih
selamat pagi.

Pun angin tak mampu
mencuri dengar
debar itu dari hatimu.
***


Seorang gadis Belanda, melirik penasaran mendengar lirih suaraku, senyumnya mengembang. ‘Ini puisi, Nona. Puisi yang kami bawa jauh dari negeri kami, tempat nenek moyangmu dulu pernah menjajah leluhur kami’, gumamku dalam hati.

‘Percakapan Diam-Diam’ pun mengakhiri petualangan panjangnya, tiba dengan senyum bersahaja di Bochum. Kini ia duduk manis di rak bukuku, rumah barunya. Sore ini kami bercakap-cakap, sambil minum kopi. Kabarnya rindu tak perlu alasan, begitu kata ‘Percakapan Diam-Diam’:

Sajak Kecil tentang Rindu

Mungkin tak semua hal membutuhkan alasan, seperti kerinduan.
Datang begitu saja, tiba-tiba. Tanpa alasan, namun menyenangkan.
Kita tak pernah tahu alasan apa yang membuat kita saling merindukan?
Jarak?

Sebelumnya kita tak pernah dipersatukan jarak.
Atau mungkin kita merindukan sebuah pertemuan? Kita belum pernah bertemu sebelumnya. Rindu itu menelusup tiba-tiba.

Kita tak saling memikirkan, namun saling merindukan.
Sebab kerinduan teramat jujur hingga tak mampu membuat alasan.
Alasan kerinduan adalah rindu itu sendiri.
***

Kami pun menutup sore nan manis, semanis reguk-reguk kopi kami yang mulai dingin dicuri senja, dengan sajak terakhir dari 'Percakapan Diam-Diam':

Tiga Sajak Kecil yang Kutulis Sebagai Surat Cinta

(1)
Aku
Tingkap jendela
'Percakapan Diam-Diam' pada suatu sore nan teduh di Bochum
Menunggu cahaya
Datang memberi nama
Pada Warna

(2)
Engkau
Cahaya, tanpa nama
Menyapa
Tanpa kata
Tanpa swara

(3)
Kita
Hanyalah kecil ruang
Menjamu cahaya
Meramu warna
Dan, menamainya: Cinta
***

Bochum, 7 Mei 2013

Catatan kaki:
Terima kasih Mas @lelakibudiman dan Pak Koskow, yang telah mempersembahkan karya unik nan indah. Saya menantikan karya-karya selanjutnya. ‘Adik’ sang ‘Percakapan Diam-Diam’ di tan kinira, ‘Teman Merawat Percakapan’ sudah sampai dengan selamat di London, ia akan ikut berpetualang bersama sahabat saya ke Belanda, Perancis dan Swiss, sebelum kami bertemu musim panas nanti di Jerman.