Thursday, December 12, 2013

Reuni Kecil di Awal Musim Dingin, Akhir Tahun Ini

Dia seperti melayang tertiup angin yang datang tiba-tiba, hanya sekedipan mata. Kau jangkau-jangkau pun percuma, dia tak akan pernah kembali lagi. Pertemuanmu memang tak lama, itu lah waktu, Kawan. Bulan Desember adalah bulan dengan hari-hari terpendek dalam setahun di belahan bumi sebelah utara. Pagi rasanya tak tegak-tegak, tahu-tahu seperti disambar elang, matahari begitu lekasnya pulang.  Dan aku masih di sini, melalui hari demi hari, mengamati musim-musim berganti. Bulan-bulan terakhir tahun ini ditandai beberapa peristiwa penting dalam hidupku, tak terkecuali sore itu.

Suasana Hörsaal HID tak seperti biasanya, bukan ramai suara mahasiswa. Ruangan dengan langit-langit tinggi menjulang itu, dirancang dengan apik. Kiranya memenuhi kriteria-kriteria bagaimana seharusnya sebuah ruangan kuliah dibangun, pas secara akustik, termal, dan pencahayaan. Kesimpulannya memang nyaman dan tepat guna. Baris-baris bangkunya kokoh dari kayu berwarna coklat muda, disusun dalam deret-deret bertangga, persis seperti ruangan-ruangan kuliah antik di kampus ITB. Aku jadi ingat dosen-dosenku dulu, walaupun aku tak melanjutkan bidang keahlian fisika bangunan, namun pengetahuan tentang hal itu akan senantiasa bermanfaat bagiku di kemudian hari. 

Sore itu, para Profesor, dosen, pejabat Fakultas dan tamu undangan satu per satu memenuhi ruangan. Banyak wajah yang tak kukenal, sorot-sorot mata mereka teduh sekaligus tajam, pasti bukan orang-orang "sembarangan". Lalu, Supervisorku maju ke depan ruangan, memimpin acara dan memperkenalkan beberapa tamu undangan yang hadir. Acara dibuka dengan adat khas orang Eropa, musik klasik. Tiga orang musisi, "Ensemble Bellamira" sudah siap di depan ruangan. Dalam khayalanku, mereka seperti anak beranak, terdiri dari seorang ibu yang piawai memainkan piano, seorang anak bujangnya terampil menggesek cello, dan anak gadisnya yang tak kalah gesit jari-jarinya memainkan seruling kayu.

Semua hadirin sudah duduk dengan rapi di deretan bangku-bangku kuliah tadi, hening. Lalu alunan lembut seruling kayu merambat lamat-lamat, memenuhi seisi ruangan, berkejar-kejaran dengan denting-denting piano dan gesekan cello. Iramanya harmonis, dalam ketukan-ketukan cepat dan lambat berganti-ganti. Layar display di dinding bagian depan ruangan menampilkan judul lagu yang mereka bawakan. Di sana tertulis Sonata op.1 Nr. 2, Fransesco Barsanti (1690–1770). Mataku lekat mengamati tangan-tangan "sakti" di depan sana, siapa mereka yang dengan piawainya menjaga warisan nenek moyang mereka, musisi antah berantah yang hidup berabad-abad sebelumnya. Musik klasik pertama diakhiri tepuk tangan panjang dari seluruh hadirin. Tiga anak beranak tadi mengangguk-angguk membungkukkan badan sambil tersenyum mengembang.

Giliran pembicara pertama yang maju ke depan. Setelah sepatah dua patah sambutan, dia melanjutkan presentasinya dengan serangkaian slide. Baru slide pertama, sebagian wajah kami sudah sedikit "gelisah". Topik yang dia bicarakan begitu kental berbau kedokteran, sedangkan sebagian besar hadirin adalah orang-orang teknik. Fakultas kami pun dengan terang dinamakan "Fakultät für Elektrotechnik und Informationstechnik". Tapi, tunggu dulu, Kawan. Bapak setengah baya ini salah satu orang terpenting dalam perhelatan di sore yang dingin ini. Dia seorang Profesor dari RWTH Aachen, ahli pencitraan molekuler. Pak dokter ini kutaksir umurnya baru 40an awal, namun kecerdasannya berhasil menyihir hampir seluruh ruangan. Kuperhatikan beberapa wajah Profesor sepuh tampak mengangguk takzim, seperti hendak bertanya, tersenyum, lalu sesekali mengetuk-ngetukkan jarinya pelan-pelan ke meja, seperti sedang berpikir dengan seksama, sekaligus menikmati sajian dari seorang "anak muda" di depan mereka ini. Tak tampak lagi wajah gelisah seperti pada awal presentasi tadi. Presentasi hampir satu jam ini disajikan sebagai pembuka wawasan kedokteran yang telah "dikawinkan" dengan ilmu teknik, khususnya untuk aplikasi pencitraan molekuler. Tepuk tangan panjang menyudahi slide terakhir berisi foto sang dokter, supervisorku dan bintang tamu yang sesungguhnya paling kami tunggu, dalam sebuah konferensi di Dublin tahun lalu. 

Kelompok "Ensemble Bellamira" menunaikan tugas keduanya. Kali ini aku tak terlalu memperhatikan lagi judul lagu yang mereka bawakan. Pendeknya, mata hadirin kian tersihir oleh penampilan piawai mereka. Tak kurang dari 4 lagu karya musisi-musisi klasik abad ke 15 dan 16 mereka bawakan hingga akhir acara. Berganti-ganti dengan penampilan dua ilmuwan hebat yang berkicau-kicau menikmati helai-helai presentasi berisi penemuan yang menjadi salah satu pencapaian dalam hidup dan karir mereka. 

Siapakah gerangan bintang tamu yang paling kami tunggu sore itu? Dia lah Moni, sahabat kami yang cerdas dan baik hati. Walaupun sudah menjadi Doktor sejak musim semi tahun lalu, tak tampak ada yang berubah dari pribadi yang bersahaja ini. Beberapa jam sebelum acara, dia khusus datang ke kantor kami, rekan-rekan lamanya. Hari ini seperti sebuah reuni kecil untuk kami. Moni mengetuk pintuku saat aku sedang makan siang. Dia memelukku seperti pertama kali kami bertemu 2 tahun yang lalu, ketika dia menjemputku di bandara Düsseldorf, kali pertama kakiku menginjak tanah Eropa. Senyumnya tak berubah, pun gaya bicaranya yang terkesan begitu akrab. "Bagaimana, Hesty? Sudah benar-benar jadi orang Jerman kah, kau sekarang?" begitu sapaan pertamanya padaku, mungkin lantaran dia melihat aku makan roti, bukan nasi. Aku mengucapkan selamat padanya atas sebuah pencapaian hebat untuk ilmuwan muda sepertinya, dan aku pun turut merasa bangga sebagai kawannya. Tahun ini, Moni memperoleh penghargaan bergengsi dari sebuah asosiasi ahli dan teknologi atas hasil penelitian disertasinya dulu yang dianggap luar biasa, berjudul: "Pencitraan Ultrasonik Molekuler Kuantitatif".

Moni maju ke depan, menyajikan hasil penelitiannya yang rupanya masih dilanjutkannya hingga sekarang bersama Profesor muda dari Aachen tadi. Deja vu aku memandang baris-baris tulisan yang disajikan Moni, presentasi yang sama yang kami nikmati setahun yang lalu ketika ujian sidang doktoralnya. Kontras dengan presentasi pertama, slide-slide Moni lebih didominasi oleh benda-benda yang lebih akrab kami lihat sehari-hari, rumus dan angka serta animasi gambar 3 dimensi. Di bagian akhir baru berbau kedokteran sebagai bagian dari tahap aplikasi dunia teknik di bidang kedokteran. Presentasi hampir setengah jam itu, ditutup dengan tepuk tangan yang lebih meriah. Perwakilan asosiasi pemberi penghargaan maju ke depan bersama Supervisorku, menyerahkan piagam dan seikat bunga untuk Moni. Kulihat ayah Moni sedikit terharu, wajahnya seperti hendak menangis. Matanya lekat memperhatikan anak kesayangannya itu, satu dua blitz kameranya mengabadikan salah satu momen bahagianya tahun ini.

Sore itu, aku menyaksikan bagaimana berbagai kecerdasan dipadu-padankan dalam satu kesempatan. Ketika ilmu-ilmu eksakta menari-nari dalam kepala kami, serta merta pula alunan musik klasik dari abad-abad yang telah lalu membelai lembut telinga kami. Aku menutup sore itu dengan satu tekad dan mimpi. Suatu hari aku ingin seperti Moni, yang mendedikasikan ilmunya untuk kebaikan dan kemanfaatan banyak orang. Kakiku sudah jauh melangkah, tak elok rasanya jika aku mengkhianati semua kesempatan ini. Maka, di sini aku masih berdiri di atas kedua kaki, mari berlari lagi, lebih kencang lagi!

Bochum, 12 Desember 2013

Saturday, December 07, 2013

Mengunjungi Tanah Air, Sebentar Saja

Sejak tadi malam, aku hanya tidur barang sebentar. Sudah lama aku tak menonton film Indonesia. Dari browsing singkat beberapa sinopsis, setidaknya 3 film sudah kutonton hingga siang tadi. Dari tema-tema yang beragam, ada satu benang merah yang bisa ditarik dari film-film tersebut. Persepsi tentang dunia luar, Eropa khususnya, digambarkan agak aneh menurutku. Ataukah aku yang memang lugu?

Eropa digambarkan sebagai budaya unggul yang terlalu diagung-agungkan. Tempat segala tujuan dunia ditambatkan serta cita-cita yang tak jelas motivasinya. Gaya hidup ke-Eropa-Eropa-an diadopsi mentah-mentah sebagai patokan kemapanan dan modernitas yang kebablasan. Padahal, orang Eropa sendiri tak sebegitunya. Bagi orang dewasa yang sudah matang pola pikirnya, mungkin film-film ini hanya akan sedikit membuat tersenyum, dan menganggapnya sebagai hiburan saja. Namun coba bayangkan bagaimana pengaruhnya bagi anak-anak, remaja, dan usia-usia pra-dewasa. Masa-masa di mana manusia sedang giat-giatnya mencari jati diri.

Aku jadi ingat sebait kalimat dalam Roman Sejarah "Anak Semua Bangsa", Pram pernah menulis: "Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Di mana pun ada yang mulia dan jahat....Kau sudah lupa kiranya, Nak, yang kolonial selalu iblis. Tak ada yang kolonial pernah mengindahkan kepentingan bangsamu." Sekian dekade sudah berlalu, zaman sudah berganti. Setting masa kolonial dalam cerita Pram ini sudah bertransformasi menjadi bentuk lain. Namun relevansinya, menurutku, masih mengena hingga saat ini. 

Hamburg, pada suatu malam di Bulan September

Diam-diam aku sangat bersyukur dibesarkan orang tuaku di lingkungan "udik", di kampung. Tempat segala kesederhanaan, mimpi dan cita-cita kami pupuk sejak belia. Aku bangga di masa kecilku aku tak terlalu mengenal segala macam hiburan elektronik, internet dan sebangsanya. Alam yang mengasuh kami. Masa kecil akan membentuk bagaimana seseorang ketika dewasanya. Masa kecilku di Pulau Belitong, bagiku adalah masa kecil yang paling indah yang akan aku kenang seumur hidupku. Di dalam Novel "Edensor", Pak Cik Ikal pernah menulis: "Kemanapun tempat telah kutempuh, apapun yang telah kucapai, dan dengan siapapun aku berhubungan, aku tetaplah lelaki udik, tak dapat kubasuh-basuh."

Bochum, 7 Desember 2013

Wednesday, December 04, 2013

Jarum Anestesi dan Kasih Sayang Ibu

Kapan terakhir kali engkau bertemu Ibumu, Kawan? Kalau aku baru malam tadi. Beliau tak banyak bicara, hanya tersenyum memperhatikan gerak-gerikku. Demikianlah, sudah 2 tahun berlalu, aku hanya bertemu beliau lewat mimpi atau sayup-sayup suaranya terdengar di ujung saluran internet ketika Ayahku menelpon. Beliau jarang menelponku secara langsung, pun begitu saat aku masih di Bandung dulu. Tak terasa, sudah lebih dari 10 tahun aku meninggalkan rumah. Tak ada yang berubah, aku dan Ibu punya definisi sendiri tentang cinta dan rindu, tak ada orang lain tahu.

Sepanjang hari ini, aku mencorat-coret kertas, menyiapkan rancangan yang besok akan kubawa ke bengkel workshop. Jarum-jarum anestesi berserakan di atas mejaku, dingin dan tak peduli. Tiap centimeternya akan menembus kulit dan daging, mengalirkan "obat bius" ke tubuh-tubuh yang menahan sakit. Berlembar-lembar literatur tentang anestesi yang kubaca sampai hari ini tak lebih dari helaian kertas bisu. Aku tak bisa membayangkan bagaimana dulu Ibu berjuang melawan rasa sakit demi melahirkanku. Maka, Kawan, doakanlah selalu Ibumu.

Bochum, 4 Desember 2013


Monday, December 02, 2013

Tanjong Pendam

Surut jauh sampai tepian
Mentari luntur indah kilauan
Belaian mayang elok lambaian 
Rinduku hanyut dalam buaian

Pantai Tanjong Pendam, Tanjongpandan, Belitong 
29 Desember 2010

Sepenggal Cerita di Kantor Imigrasi

Pagi masih muda, musim panas mulai beranjak perlahan-lahan, angin pagi nan sejuk menyentuh kulitku dengan ramah. Hari ini, kali kedua aku harus ke Ausländerbüro, kantor imigrasi, untuk mengurus perpanjangan visa. Semua diurus serba rapi dan teratur, bahkan aku sudah mendapatkan nomor antrian sejak minggu kemarin, tepat pukul 10 pagi aku harus menyerahkan semua dokumen yang diperlukan. 

Orang Jerman tak banyak basa basi, jangan terlalu berharap bahwa engkau akan bertemu orang-orang dengan wajah tersenyum ramah di jalan-jalan, langka. Tapi pagi ini, aku punya pengalaman unik. Pegawai Ausländerbüro terkenal lebih tak banyak berbasa-basi, bahkan cenderung 'dingin' dan sangat irit bicara, apalagi dalam bahasa Inggris. 

Aku berusaha mengikuti prosedur dan berbicara sedapat mungkin dalam bahasa Jerman, lalu voíla, wanita muda yang mengurus dokumenku hari ini tiba-tiba ramah dan menimpali semua pembicaraanku dalam bahasa Inggris. Pelajaran moralnya: orang akan senang jika kita berusaha berbicara dalam bahasa ibu di tanah air mereka. Ramah itu tak mengenal bangsa, Kawan.

Bochum, 13 Agustus 2013

Menjalani Mimpi-Mimpi

Aku masih memimpikan banyak hal, tentang dunia penelitian yang bersinergi satu sama lain. Dunia penelitian yang kuhadapi saat ini begitu ideal untuk ukuran orang Indonesia. Betapa tidak, peneliti-peneliti di bidang kedokteran senantiasa bahu membahu bersinergi dengan kami peneliti-peneliti di bidang Engineering. Hal yang masih sulit kita temui di tanah air kita tercinta. Namun, bukan hal yang mustahil, bukan?

Ingatanku melayang-layang jauh ke belakang. Pada suatu siang yang panas, lebih dari 10 tahun yang lalu, aku yang terkantuk-kantuk karena mulai bosan dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia, tiba-tiba ditunjuk ke depan kelas untuk menceritakan mimpi dan cita-cita di masa yang akan datang. Lalu dengan spontan aku menceritakan mimpi-mimpi yang ada dalam kepalaku saat itu. 

Dari sederet mimpi itu, aku uraikan bahwa suatu hari nanti, aku ingin meneliti di suatu lembaga penelitian atau universitas di negara maju, entah di mana, pokoknya ingin saja. Saat itu kukatakan alasannya, sederhana saja, aku hanya ingin tahu apa yang orang-orang lakukan di luar sana, singkatnya aku ingin melihat dunia.

Lalu, sekarang aku menjalani mimpi itu sedikit demi sedikit. Masih berkelut tak habis-habis dengan perjuangan yang juga tak mudah. Namun, sedikit pun aku tak pernah menyesal telah memilih jalan ini. Lalu, alasan sederhana belasan tahun yang lalu itu, kini bertambah dengan kesadaran-kesadaran lain, kesadaran akan manfaat dan tujuan hidup di dunia ini. Suatu saat aku yakin, insyaAllah apa yang aku pelajari hingga saat ini ada manfaatnya. Syukur-syukur bisa dirasakan kontribusi nyatanya dalam aplikasi klinis, suatu hari nanti. Agar lebih banyak lagi dokter yang bisa membantu para pasiennya.

Beberapa bulan terakhir ini, aku dipertemukan dengan orang-orang yang luar biasa. Aku diberikan kesempatan oleh Allah untuk mengenal lebih dekat apa-apa yang dilakukan para dokter di rumah sakit, masalah-masalah apa yang sering dihadapi pasien, lalu mendiskusikannya dengan Profesor pembimbingku, yang notabene adalah seorang "insinyur". Dua tahun belakangan ini, beliau sudah seperti pamanku sendiri, yang masih sabar dan tak lelah menjadi pendengar dan kawan diskusiku hampir setiap minggu.

Suatu hari nanti akan kuceritakan, Kawan, apa yang aku geluti saat ini, dalam dunia "Medizintechnik/ Medical Engineering", sebuah nama yang dulu sangat asing di telingaku. Lalu kuputuskan untuk berakrab-akrab dengannya sejak 5 tahun belakangan ini. 

Oiya, jika suatu hari nanti, kau juga diberikan kesempatan untuk sekolah lagi dan melihat dunia, ambillah cepat-cepat kesempatan itu, Kawan. Niscaya, engkau tak akan menyesal. Sekian banyak tantangan, kesulitan, dan halangan akan menempa jiwamu sekeras baja, agar tak cengeng menghadapi dunia yang kian sombong ini. 

Ada hal lain yang tak kalah menarik, aku dan beberapa orang kawanku yang juga mengalami nasib serupa, "terdampar" di negeri antah berantah, jauh dari bangsanya ini, diam-diam menemukan bakat-bakat tersembunyi, yang kadang kala sulit kita temukan dengan sengaja. Mungkin aku menyebutnya sekedar hobi saja, tak percaya diri jika aku menyebutnya sebagai bakat terpendam.

Lalu pada akhirnya, Kau pun akan pula berpikir, betapa lemahnya diri ini, betapa hanya sedikit ilmu yang kita ketahui, dan betapa Maha Hebat-nya Allah, Yang Menciptakan dunia beserta segala isinya dengan sangat sempurna.

Bochum, 2 Desember 2013
Catatan ini kutulis untuk guru-guruku yang sangat hebat yang tak bisa kusebutkan satu per satu, terutama Bu Nuraini dan alm. Pak Asnawi, serta pasien-pasien di luar sana yang sedang berjuang melawan penyakitnya. Tetap semangat!