Terlahir sebagai bungsu, aku tak
pernah merasakan menjadi seorang kakak. Namun, dari sekian sepupu yang aku
miliki, aku paling dekat dengan Cici, adik kecilku yang kini sudah beranjak
dewasa. Tujuh setengah tahun jarak usia kami. Aku masih ingat ketika dulu,
pagi-pagi sekali, Mamak mengajakku menjenguk Acik di klinik bersalin dekat
rumah kami. Acik adalah panggilanku untuk Ibunda Cici, adik ibuku. Pagi itu,
aku merasa seperti baru saja dibelikan mainan baru atau seperti
baru bisa naik sepeda, bahagianya sederhana, namun tak terkira. Sejak kecil aku
memang sangat dekat dengan Acik, beliaulah yang membantu Mamak untuk mengasuhku
sejak kanak-kanak. Pagi itu, Acik telah menjadi seorang ibu, dari seorang bayi
perempuan mungil, adik sepupuku.
Waktu memang tak pernah iba, dia
melesat meninggalkan kita, yang kadang masih termangu dalam lorong-lorongnya.
Dulu ketika Cici masih kecil, setiap pulang sekolah, aku selalu minta diantar
Mamak ke rumah Acik. Liburan sekolah pun biasanya kuhabiskan di rumah Acik
untuk bermain bersama Cici.
Sore ini, aku termangu melihat
teks-teks yang dikirimkan Cici ke emailku. Ada perasaan haru sekaligus bangga.
Cici minta dikoreksikan abstrak Tugas Akhirnya, artinya sebentar lagi dia akan
diwisuda. Adik kecilku kini telah menjadi gadis pintar yang sedang meneliti
pengembangan reaktor nuklir. Sejak SD prestasinya memang sangat cemerlang. 2011
lalu, tepat sebelum aku merantau ke Jerman, Cici memperoleh beasiswa penuh dari
BATAN untuk menempuh program sarjana di Fisika ITB, bidang kekhususan nuklir.
Adikku sebentar lagi akan menjadi sarjana. Mimpi-mimpiku akan selalu kubagi
bersamanya. Jangan berhenti sampai di situ saja, merantaulah lebih jauh dan
lihatlah dunia. Suatu hari nanti, kita ceritakan kepada nenek dan kakek tentang
negeri-negeri jauh dan mimpi-mimpi masa kecil kita, meskipun hanya di hadapan
pusara mereka.
Bochum, 17 Mei 2015