Sunday, May 17, 2015

Adikku Sayang

Terlahir sebagai bungsu, aku tak pernah merasakan menjadi seorang kakak. Namun, dari sekian sepupu yang aku miliki, aku paling dekat dengan Cici, adik kecilku yang kini sudah beranjak dewasa. Tujuh setengah tahun jarak usia kami. Aku masih ingat ketika dulu, pagi-pagi sekali, Mamak mengajakku menjenguk Acik di klinik bersalin dekat rumah kami. Acik adalah panggilanku untuk Ibunda Cici, adik ibuku. Pagi itu, aku merasa seperti baru saja dibelikan mainan baru atau seperti baru bisa naik sepeda, bahagianya sederhana, namun tak terkira. Sejak kecil aku memang sangat dekat dengan Acik, beliaulah yang membantu Mamak untuk mengasuhku sejak kanak-kanak. Pagi itu, Acik telah menjadi seorang ibu, dari seorang bayi perempuan mungil, adik sepupuku.

Waktu memang tak pernah iba, dia melesat meninggalkan kita, yang kadang masih termangu dalam lorong-lorongnya. Dulu ketika Cici masih kecil, setiap pulang sekolah, aku selalu minta diantar Mamak ke rumah Acik. Liburan sekolah pun biasanya kuhabiskan di rumah Acik untuk bermain bersama Cici.

Sore ini, aku termangu melihat teks-teks yang dikirimkan Cici ke emailku. Ada perasaan haru sekaligus bangga. Cici minta dikoreksikan abstrak Tugas Akhirnya, artinya sebentar lagi dia akan diwisuda. Adik kecilku kini telah menjadi gadis pintar yang sedang meneliti pengembangan reaktor nuklir. Sejak SD prestasinya memang sangat cemerlang. 2011 lalu, tepat sebelum aku merantau ke Jerman, Cici memperoleh beasiswa penuh dari BATAN untuk menempuh program sarjana di Fisika ITB, bidang kekhususan nuklir.

Adikku sebentar lagi akan menjadi sarjana. Mimpi-mimpiku akan selalu kubagi bersamanya. Jangan berhenti sampai di situ saja, merantaulah lebih jauh dan lihatlah dunia. Suatu hari nanti, kita ceritakan kepada nenek dan kakek tentang negeri-negeri jauh dan mimpi-mimpi masa kecil kita, meskipun hanya di hadapan pusara mereka.

Bochum, 17 Mei 2015