Saturday, December 15, 2012

Karena


Karena malam cemburu pada pagi
Dan pagi selalu tak sabar menanti siang
Karena laut mengirimkan ombak kepada angin
Dan angin malu-malu balas merayu
Karena hujan boleh menghapus salju
Tapi bukan rindu
Karena daun tak pernah membenci ranting
Dan ranting masih sabar menunggu semi
Karena rumput tak pernah menyimpan duri
Tapi pagi selalu menitipkan embun pada semak
Karena…
Aku tak punya karena
Dan karenanya, sebab pun malu untuk bertanya
Antar saja aku ke sana, sebelum senja...

Bochum, 15 Desember 2012


Friday, December 14, 2012

Balada Stasiun Kereta


Curilah waktumu sesekali dan berdirilah di stasiun kereta. Perhatikan lalu lalang manusia yang seperti tak ada habisnya. Ada wajah-wajah tergesa, tertawa, menunggu. Ada perpisahan yang mengharukan atau kegelisahan menanti sebuah pertemuan. Berpasang-pasang kaki berderap-derap menyusuri anak tangga dan peron-peron stasiun. Setiap rupa yang tak kukenal ini pasti punya cerita.

Langkah sepasang lansia perlahan menegakkan tubuh mereka yang mulai condong ke depan. Wajah sang kakek agaknya tergesa, tapi tangannya seperti tak hendak lepas merangkul sang nenek yang berjalan lebih perlahan. Keduanya tersenyum, sambil sesekali menunjuk-nunjuk display raksasa yang merangkum jadwal keberangkatan kereta. Kutaksir usia mereka tak kurang dari 80 tahun, kerut-kerut wajah dan helai-helai rambut putih itu yang membisikkannya padaku. Aku membayangkan, berpuluh-puluh tahun yang lalu ketika mereka masih muda, apakah mereka pernah membayangkan dunia yang mereka lihat sekarang? Entah berapa macam zaman telah mereka lalui, zaman perang tentu saja masuk dalam salah satu episodenya. Penyesalan seperti apa yang diam-diam mereka tanggungkan? Atau punyakah mereka pencapaian-pencapaian hidup yang gilang gemilang? 

Seorang Bapak setengah baya menarik koper kulit beroda, warna coklat tua. Tangan kirinya menggenggam gulungan surat kabar. Langkahnya teratur tak terburu-buru. Sesekali dia melirik jam di pergelangan tangan kirinya, memastikan jadwal hari ini masih sesuai rencana. Sepatu, celana dan jaketnya berwarna serupa, coklat tua. Rambutnya coklat kemerahan, disisir rapi ke belakang. Bingkai kacamatanya juga coklat tua. Bapak coklat ini pasti seorang yang disiplin, gerak-gerik dan apapun yang disandangnya tak bisa berdusta. 

Kuperhatikan antrian di loket penjualan tiket kereta. Para petugas yang duduk di balik loket-loket itu sejak pagi masih saja tersenyum ramah. Wajah mereka seperti sudah tercetak seperti itu, mau tak mau, sudah tuntutan profesi. Para pegawai Perusahaan Jawatan Kereta ini setidaknya menguasai dua bahasa, dan tentu saja mereka pendengar yang baik. Entah sudah berapa keluhan yang mereka dengar sejak pagi, aku yakin ucapan terima kasih yang menguatkan mereka menjalani hari demi hari. Ada dua kata sederhana yang sering kita lupakan namun sangat berarti bagi orang-orang seperti para petugas loket ini, ’maaf’ dan ’terima kasih’. Tangan-tangan terampil ini telah mengantar orang-orang ke tempat-tempat yang jauh, sementara sang empunya hanya duduk di loket yang sama, menghitung antrian demi antrian yang menawarkan berupa-rupa wajah dari berbagai bangsa.

Di ujung peron nomor dua, berdiri seorang pemuda. Tatapannya kosong memandang rel kereta. Ransel di punggungnya terlihat padat dan berat. Sudah batang kedua rokok yang dihisapnya sejak tadi. Tangan kanannya sibuk menyentuh layar ponsel, earphone berkabel putih tersambung ke telinganya. Aku membayangkan orang seperti apa yang menantinya di ujung perjalanannya hari ini. Apa kira-kira hobinya, mahasiswakah dia atau seniman dadakan yang baru pulang mengurus sebuah pameran?

Tak jauh di belakangku terdengar gelak tawa seorang bocah perempuan. Wajahnya lugu dan lucu. Rambutnya keriting hitam lebat, bulu matanya lentik, cantik sekali. Dia berlari-lari ke sana kemari, berputar-putar mengelilingi ibunya yang sedang kerepotan menenteng sebuah koper besar. Sesekali ibunya harus berhenti dan menenangkan peri cantik yang tak mau diam ini. Apa yang sedang dipikirkan anak sekecil ini? Dunia di matanya pasti selalu menarik, semenarik renda-renda yang menghiasi rok merah mudanya.

Di salah satu sudut hall stasiun berdiri sebuah toko roti. Pegawainya 3 orang perempuan muda, tersenyum hangat seperti roti-roti yang baru keluar dari pemanggang. Tangan-tangan mereka terampil menata roti-roti di etalase sembari melayani pembeli. Wangi roti, kopi dan coklat yang sama menemani mereka setiap hari. Aku membayangkan pertanyaan-pertanyaan sederhana: apakah mereka juga ikut menikmati roti-roti itu? Pernahkah mereka bercita-cita memiliki toko roti sendiri suatu saat nanti?

Aku melangkah perlahan menuju peron nomor tiga, menanti kereta regional yang akan mengantarku ke kota tetangga. Seorang Bapak terlihat melambai-lambai, tangan kirinya menggandeng seorang anak laki-laki yang juga ikut melambai-lambai. Tatapan mereka tertuju pada seorang ibu setengah baya, yang entah hendak kemana. Mungkin mereka bertiga adalah anak beranak yang akan berpisah dalam waktu agak lama, bisa kubaca dari tatapan sedih sang anak, yang sejak tadi tak berhenti menangis.


Aku memang senang menghabiskan waktu luang seperti ini, memperhatikan lalu lalang manusia di stasiun lalu berangkat dengan kereta jurusan mana saja. Gratis, mengapa disia-siakan? Cerita di gerbong kereta pun tak kalah seru. Kalau penumpang sedang ramai, aku harus berdiri sambil sesekali menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh. Kalau sedang beruntung, aku paling senang memilih tempat duduk tepat di samping jendela. Jendela kereta menawarkan gambar-gambar hidup yang juga pandai bercerita, sepandai dalang mendongengkan babat tanah Jawa.

Bochum, 14 Desember 2012 
[Bersambung ke cerita ke dua: 
Balada Gerbong Kereta: http://maktjik.blogspot.de/2013/10/balada-gerbong-kereta.html]

Saturday, December 08, 2012

Tercekik Mimpi


Bawa aku ke tepian, lelahku hendak bersandar, dahulu
Riak mimpi berkelebat
Lambat, pekat, menjerat
Nafas satu-satu, tersengal
Kunang-kunang hinggap di pelupuk mata, hendak mengeja
Mengaburkan pandang, mengabukan sadar, jadi abu bukan abu-abu
Teriak parau mengigau, tergesa
Pagi tak peduli, katamu
Kutunggu kau di ujung hari, setelah pukul tiga

Bochum, 8 Desember 2012

Abangku, Abang juara satu seluruh dunia


Sejak terlahir ke dunia, seperti tiba-tiba saja aku sudah punya saudara, ya memang karena kenyataannya aku lahir lebih belakangan darinya. Dia, abangku, saudara kandungku satu-satunya. Masa kecil kami, kami habiskan di Tanjungpandan, Pulau Belitong. Dulu waktu aku masih kecil, yang ada di pikiranku hanya bagaimana caranya agar aku seperti abang. Jadilah aku seorang peniru dan pengiri. Apapun yang abang lakukan, aku tak pernah mau kalah. Tapi kawan, hendak kuceritakan padamu, betapa aku menyayangi laki-laki sederhana ini.

Aku lupa, kapan abangku bisa naik sepeda. Sepedanya dulu warna biru, merk Senator. Sepeda yang dikayuhnya sepanjang hari kesana kemari, dan jarang dicuci. Aku jarang diajak abang bermain bersama kawan-kawannya, alasannya satu, ini urusan anak laki-laki katanya. Aku hanya mendengar-dengar saja mereka memperbincangkan ikan-ikan peliharaan, meriam bambu atau rencana mereka berenang di kulong, danau bekas galian timah. Aku paling senang kalau mereka, kawan-kawan abang, berkunjung ke rumah kami. Rasanya memang lebih seru bermain bersama anak laki-laki.

Dulu, kalau musim libur sekolah, abang paling senang menonton film di televisi. Film Boboho adalah salah satu film yang disukainya, film anak-anak khas tahun 90an. Gelak tawa abang ketika menonton film Boboho terkadang lebih lucu daripada film yang ditontonnya. Biasanya kami menghabiskan liburan di rumah nenek, menginap bersama sepupu-sepupu, sambil belajar berdagang di warung milik nenek. Sesekali nenek akan mengajak kami ke kebun paman untuk belajar bercocok tanam.

Dulu abang pernah punya cita-cita jadi advokat, lalu jadi pengusaha, lalu jadi pemain musik, lalu jadi apa lagi, entahlah aku pun lupa. Kami memang diajarkan ayah ibu untuk berani bermimpi dan percaya diri. Kata ibu, percuma pintar kalau tak percaya diri. Saking percaya dirinya, dulu abang sering sekali mengikuti festival band yang memang sedang ’ngetrend’ ketika itu. Gitar kesayangannya warna biru, gitar listrik yang sering dicakar-cakar oleh kucing kesayanganku.

Sampai akhir SMP, abang masih menjadi kawanku. Namun, sejak dia masuk SMA, aku tak banyak mengenal abang. Masing-masing kami seperti sudah punya dunia sendiri. Kalau dia pulang, obrolan kami tak jarang berujung pertengkaran. Waktu itu, kuanggap abang adalah orang paling menyebalkan di rumah kami. Bertahun-tahun kemudian baru aku paham. Abang dan aku ketika itu berada pada usia peralihan dari anak-anak menjelang remaja, dua-duanya keras kepala.  Jadilah kami tak pernah akur, sampai bosan ayah melerai kami.

Setamat SMA abang merantau ke Bandung. Hari itu di pelabuhan Pegantongan, kulihat abang melambai-lambai sampai hilang di kejauhan. Entah harus senang atau sedih, tapi nyatanya beberapa hari kemudian aku merasa kehilangan. Kami sekeluarga pun pindah ke Pangkalpinang. Ketika SMA aku seperti anak tunggal, paling keras kepala dan semakin menyebalkan. Hanya sesekali kudengar kabar abang kalau dia menelpon. Kalau musim liburan pun, dia lebih memilih pulang ke rumah nenek di Tanjungpandan, bukan ke Pangkalpinang. Aku tak tahu bagaimana kuliahnya di Bandung sana, aku hanya asyik dengan urusanku sendiri. Kami pun semakin jauh.

Singkat cerita, akhirnya aku pun menyusul abang ke Bandung, menjemput giliran menjadi mahasiswa. Sejak saat itulah aku banyak mengenal abang. Kami jauh dari orang tua, lalu seperti tiba-tiba saja dia tak semenyebalkan dulu. Ketika itu, aku tiba-tiba dihinggapi rasa tak percaya diri. Masih kuingat sampai hari ini kata-kata abang: ‘Mereka memang orang-orang hebat. Tapi ingat, kau juga bisa menjadi bagian dari mereka.‘ Abang tak ingin aku mengkhianati mimpi-mimpiku sendiri. Suatu malam di bulan Juli, saat pengumuman kelulusan tes masuk Perguruan Tinggi, aku diliputi sukacita. Allah mengabulkan doa kami. Lalu abang mengingatkanku: ‘Boleh kau bersukacita, tapi ini baru awal. Perjuangan panjang siap menunggumu mulai besok‘.

Saat di Bandung dulu, aku sering sekali sakit. Abang tak pernah mengeluh mengurusku setiap aku sakit, tak pernah sekalipun. Kalau sakitku tak begitu parah, abang melarangku menelpon ayah ibu. Abang mengajarkanku agar tak menjadi cengeng. Orang rantau itu harus kuat kata abang. Sampai tiba waktunya kami harus berpisah, aku pun tegar berjalan dengan kedua kakiku hingga hari ini.

Abangku orang yang cerdas dan jujur, buku yang dibacanya bermacam-macam. Kalau dia berbicara, banyak orang yang akan menyimaknya, karena kata-katanya berisi. Dulu dia dipercaya kawan-kawannya untuk menjadi ketua Asrama Mahasiswa Belitong di Bandung. Bukan perkara gampang, Kawan, mengurus belasan mahasiswa rantau dengan belasan perangai pula. Bertahun-tahun kemudian, aku yakin abang pasti bersyukur pernah menjadi ketua Asrama yang sebenarnya tak pernah diinginkannya. Abang paling sedih ketika marah. Kata abang, dia menjadi seperti orang lain, orang yang bahkan tak dikenalnya sendiri.

Kini abang telah menjadi ayah dari seorang anak laki-laki yang lucu, Dhani namanya. Maafkan aku tak bisa hadir di hari-hari bahagiamu, Bang. Dari dulu hingga sekarang, aku memang tak pernah menjadi adik yang baik, tak pernah sekali pun. Kerjaku hanya menyusahkanmu saja, pun tak terhitung kalinya aku telah menyakiti hatimu. Terima kasih Bang, untuk semuanya, cintamu untukku tak habis-habis dan tak pernah bisa kubalas sampai mati. Semoga Allah senantiasa memberkahi hidupmu, Bang.

Aku tak pernah bisa memilih siapa yang menjadi abangku, tapi aku tak pernah menyesal telah menjadi adiknya. 7000 mil jarak memisahkan kami, tapi aku selalu merasakan hangat cintanya begitu dekat. Karena kata abang, keluarga adalah hal pertama yang hadir dalam hidup manusia dan mereka akan selalu ada untuk kita. Abang telah mengajarkanku menjadi seorang manusia, seutuh-utuhnya. Karena abang, aku berani bermimpi, berani mencintai, berani hidup dan berani menjadi aku. 

Bochum, 7 Desember 2012

Tulisan lain tentang Ayah dan Ibu, 3 orang inilah, manusia-manusia terbaik dalam hidupku:

http://maktjik.blogspot.de/2012/11/mamo-ayah-juara-satu-seluruh-dunia.html
http://maktjik.blogspot.de/2012/11/mamak-ibu-juara-satu-seluruh-dunia.html

Saturday, December 01, 2012

Medan kedua belas


Lalu apalagi yang hendak kau tanyakan pada bingkai-bingkai jendela? Terserak, lancip kepingnya tak lagi segitiga. Sedih berujar, air mata telah mengering tak bersisa pada sudut pipi merah saga. Tangis mengiris malam, lalu dinding seolah bertelinga. Menangkap lekat-lekat, sayup menderu memecah bongkah-bongkah baja, porak poranda. Kaki kecil kehilangan raga, raganya kehilangan nyawa. Hujan tak lagi air, tapi peluru. Angin tak lagi mengantar debu, tapi beku. Takut pun lantas meringkuk tak berkutik, tak tahu lagi jalan pulang...

Bochum, 1 Desember 2012