Membuka kotak surat selalu menjadi kebiasaan
menyenangkan bagiku. Walaupun sedang tidak menunggu surat atau paket,
kejutan-kejutan yang tak jarang kutemui di dalam kotak surat menjadikan
rutinitas ini tak pernah membosankan. Sore kemarin, sepulang dari kampus, kutemukan
selembar kartu pos bergambar bunga tergeletak di dalam kotak suratku. Setelah
kubaca ternyata dikirim jauh melintasi samudera, dari Amerika.
Kartu pos cantik itu tepatnya bergambar sebuah
buldozer yang teronggok di padang bunga bluebonnet,
bunga khas musim panas yang banyak tumbuh di Negara Bagian Texas. Aku
tersenyum membacanya. Dalam hatiku, kartu pos ini benar-benar merepresentasikan
karakter pengirimnya, tomboy tapi
sekaligus feminin. Uple, begitu kami
biasa memanggilnya, pertama kali kukenal ketika dia baru memulai Tugas Akhir
sarjananya di lab kami, lab Instrumentasi Medik, sekitar 4 tahun yang lalu.
Uple sebenarnya berasal dari gedung sebelah, Jurusan Biologi, bukan Teknik
Fisika. Tetapi kerjasama yang sudah terbangun sejak satu tahun sebelumnya
antara lab kami dengan salah satu lab di Biologi telah mengantarkan Uple sejak
saat itu menjadi sahabat sepermainan kami.
Aku teringat
pada diriku sendiri bertahun-tahun sebelumnya ketika pertama kali bertemu Uple.
Gadis ini sekilas tak tampak seperti perempuan kebanyakan seusianya. Pakaiannya
lebih seperti anak laki-laki. Namun siapa sangka, setelah bertahun-tahun aku
bersahabat dengannya, kuketahui bahwa perasaan Uple halus luar biasa. Uple
dibesarkan sebagai anak tunggal dari orang tua yang keduanya adalah polisi. Aku
yang sejak kecil sangat tertarik dengan hal-hal berbau militer, selalu
tersenyum mendengar cerita-cerita Uple tentang masa kecilnya. Bagaimana
pleton-pleton taruna Polri, kendaraan-kendaraan militer dan senjata menjadi kesehariannya.
Cerita-cerita yang didengar Uple sejak masa kecilnya adalah tentang bagaimana
ibunya mengurus korban-korban tindak kriminalitas, terutama perempuan dan
anak-anak, bagaimana ibunya menghadapi para pelanggar lalu lintas di jalan
raya, atau tentang bagaimana ayahnya terlibat dalam operasi penangkapan buronan berbagai tindak kejahatan. Lingkungan seperti ini telah membentuk karakter Uple
menjadi seorang pemberani.
Salah satu hal
yang kukagumi dari sahabatku ini adalah sifat kemandiriannya. Walaupun lahir
sebagai anak semata wayang, tak pernah ada kesan manja dan keras kepala yang
tampak darinya, dua karakter yang aku sendiri pun sangat sulit menghilangkannya
jika berinteraksi dengan orang-orang terdekat. Meski usianya lebih muda,
sesungguhnya Uple berpikir jauh lebih dewasa. Tahun-tahun
terakhirku di Bandung banyak kuhabiskan bersama Uple. Kami mengelilingi pelosok
Bandung dengan sepeda motornya yang legendaris itu. Sepeda motor ini juga telah
mengantar Tante, sahabat kami yang lain, ke sana ke mari, menerobos hujan,
panas, dan malam yang dingin.
Uple, sama
sepertiku dan beberapa sahabat kami yang lain, punya cita-cita untuk merantau
ke tempat-tempat yang jauh dan merasakan pengalaman menuntut ilmu di negeri
orang. Fase-fase pencarian ini kami lalui dalam
proses yang tidak mudah. Penolakan demi penolakan tak jarang membuat
semangatnya sedikit surut, tetapi cita-cita yang sudah tertanam sejak lama membuatnya tak menyerah. Aku dan beberapa sahabatku merantau lebih dahulu ke Eropa. Dia
masih harus bersabar menunggu gilirannya tiba.
Lalu pada
suatu sore, aku menerima kabar gembira. Uple mengabariku bahwa dia diterima di
salah satu universitas di Amerika, tinggal menunggu beasiswa. Untuk melanjutkan
pendidikan pasca sarjana di luar negeri, tak jarang urusan beasiswa ini justru
menjadi kunci. Banyak kawan-kawanku yang sudah diterima di universitas, namun urung
untuk memulai studinya lantaran tak memiliki beasiswa. Uple melamar ke salah satu lembaga beasiswa yang prestisius dari Amerika,
Fulbright. Aku yakin seyakin-yakinnya dia akan diterima, karena aku tahu
bagaimana kemampuannya. Namun, sebagai orang beragama, kami tetap berusaha,
menunggu dan menyerahkan hasilnya kepada Yang Maha Kuasa.
Nasib memang telah merentangkan sayap-sayapnya, penuh
misteri sehingga kita hanya bisa menduga-duga. Perjalanan panjang meraih
cita-cita sungguh tak akan sia-sia. Ada banyak peluh dan air mata yang
senantiasa mengiringinya. Musim panas tahun lalu, Uple akhirnya berangkat ke
Amerika untuk memulai studi S2-nya dalam bidang neuroscience di University of Texas at Dallas. Dalam bulan-bulan
terakhir sebelum keberangkatannya, aku menerima kabar dari Vebi bahwa kini Uple
memutuskan untuk mengenakan pakaian muslimah. Uple akan menjadi duta,
representasi muslimah Indonesia yang akan merantau untuk menuntut ilmu di
Amerika. Dialah Ulfa, sahabatku yang mengajarkanku akan banyak hal, tentang
hidup, keberanian dan cita-cita.
Bochum, 15 Juli
2014