Langit Eropa jarang sekali menurunkan hujan sepanjang
hari, bukan seperti di negeri tropis, air tumpah ruah seperti tercurah dari
langit setiap musim penghujan. Di sini, rinai-rinai hujan kadang kala berubah
wujudnya menjadi butiran-butiran es yang berhamburan dari langit. Bila musim dingin tiba, dia berubah menjadi derai-derai salju yang menari-nari
dipermainkan angin seperti kapas yang kehilangan bobotnya. Langit Eropa selalu
punya butir-butir penuh kejutan di setiap musimnya.
Hari ini hujan turun tak henti-henti sejak dini hari. Musim panas tahun ini seperti
enggan menampakkan diri, malu-malu. Ramadhan telah memasuki
babak kedua, seperti mimpi saja 10 hari berlalu. Steffi pamit padaku akhir
pekan yang lalu, dia akan liburan bersama keluarganya selama 3 minggu. Aku
"dioleh-olehi"-nya 2 lembar tulisan, daftar pekerjaan yang harus
kuselesaikan selama dia pergi. Matahari tak hadir sepanjang hari ini, seperti Steffi,
namun entah disengat memori hujan, aku malah bangun terlalu pagi. Ratusan data
yang kukumpulkan selama berminggu-minggu sebelumnya kini harus kuterjemahkan
satu per satu. Hari ini aku
hanya beristirahat tak lebih dari 30 menit, selebihnya aku tak beranjak dari
kursi. Menjelang sore, ratusan data tadi mulai tersenyum
padaku, senyum penuh misteri dalam ratusan angka dan diagram warna-warni.
***
Genangan-genangan air sepanjang jalan yang kulewati
tadi pagi, rombongan mahasiswa yang berjalan di bawah payung warna-warni, mengingatkanku
pada memori hujan bulan Februari. Bandung 3 tahun yang lalu. Hampir pukul
6 sore, perutku sudah sangat lapar. Rintik-rintik hujan pertama mulai turun,
padahal aku baru seperempat perjalanan pulang. Hari ini, tiba-tiba saja aku
memilih jalur angkutan umum berbeda dari biasanya. Aku rindu suasana Gedung
Sate sore hari, juga pucuk-pucuk mahoni yang baru bersemi di sepanjang Jalan
Diponegoro.
Perjalananku singkat saja. Aku turun di pertigaan Jalan Supratman, tepat di
depan Asrama Mahasiswa Gunong Tajam, asrama mahasiswa Belitong, persinggahanku
ketika pertama kali ke Bandung, 10 tahun yang lalu. Hari makin gelap dan hujan
masih lebat, air tergenang dimana-dimana. Aku bertemu seorang ibu yang
kelihatannya baru pulang kerja. "Nak, mau pulang kemana? Boleh Ibu ikut
sampai Surapati? Nanti Ibu mau naik angkot pink dari situ". "Oh,
tentu saja boleh Bu", jawabku spontan.
Kami melewati Jalan Pusdai yang tergenang, sambil sesekali berhenti untuk
menghindari cipratan air dari kendaraan yang lewat. Di bawah naungan payung
kecil itu, obrolan kami mengalir. Ibu Maya, begitu beliau mengenalkan diri padaku. Beliau bekerja di Jalan Citarum, hanya beberapa ratus meter dari
Pusdai, rumahnya lumayan jauh dari sini, di Ujung Berung. Bu Maya bercerita
bahwa anak sulungnya sudah bekerja, seorang alumnus Farmasi Unpad. Sedangkan anak bungsunya
baru tamat dari jurusan perhotelan, juga sudah bekerja dan berniat melanjutkan
kuliah lagi.Tersirat rasa bangga di wajah beliau, padahal aku tahu beliau
sedang lelah setelah seharian bekerja.
Aku pun
mengenalkan diriku. Beliau antusias sekali ketika tahu bahwa aku hidup terpisah
jauh dari keluarga, hidup sendiri di Bandung dan masih memimpikan banyak hal.
"Ibu doakan Nak Hesty sukses dan tercapai cita-citanya. Orangtua seperti
Ibu tidak akan mewariskan apa-apa, selain ilmu yang bermanfaat. Karena warisan
harta betapapun banyaknya, akan habis". Kami berpisah di tepi jalan
Surapati, dalam rintik hujan yang mulai reda.
Pesan Bu
Maya adalah pesan yang sama seperti yang disampaikan Ibuku dulu ketika aku akan
merantau ke Bandung. Aku menjadi rindu, rindu sekali pada Ibuku. Kiranya hujan
sore ini mampu mengantarkan rinduku kepada Beliau, jauh sampai ke kampung
halamanku. Kupeluk erat tasku yang basah. Dalam dingin dan mendung, hatiku
tiba-tiba menjadi hangat, sehangat kasih sayang Ibuku.
Bochum, 8 Juli 2014