Tuesday, July 08, 2014

Catatan Ramadhan 1435 H - 11 Ramadhan, Memori Hujan

Langit Eropa jarang sekali menurunkan hujan sepanjang hari, bukan seperti di negeri tropis, air tumpah ruah seperti tercurah dari langit setiap musim penghujan. Di sini, rinai-rinai hujan kadang kala berubah wujudnya menjadi butiran-butiran es yang berhamburan dari langit. Bila musim dingin tiba, dia berubah menjadi derai-derai salju yang menari-nari dipermainkan angin seperti kapas yang kehilangan bobotnya. Langit Eropa selalu punya butir-butir penuh kejutan di setiap musimnya.

Hari ini hujan turun tak henti-henti sejak dini hari. Musim panas tahun ini seperti enggan menampakkan diri, malu-malu. Ramadhan telah memasuki babak kedua, seperti mimpi saja 10 hari berlalu. Steffi pamit padaku akhir pekan yang lalu, dia akan liburan bersama keluarganya selama 3 minggu. Aku "dioleh-olehi"-nya 2 lembar tulisan, daftar pekerjaan yang harus kuselesaikan selama dia pergi. Matahari tak hadir sepanjang hari ini, seperti Steffi, namun entah disengat memori hujan, aku malah bangun terlalu pagi. Ratusan data yang kukumpulkan selama berminggu-minggu sebelumnya kini harus kuterjemahkan satu per satu. Hari ini aku hanya beristirahat tak lebih dari 30 menit, selebihnya aku tak beranjak dari kursi. Menjelang sore, ratusan data tadi mulai tersenyum padaku, senyum penuh misteri dalam ratusan angka dan diagram warna-warni.



***
Genangan-genangan air sepanjang jalan yang kulewati tadi pagi, rombongan mahasiswa yang berjalan di bawah payung warna-warni, mengingatkanku pada memori hujan bulan Februari. Bandung 3 tahun yang lalu. Hampir pukul 6 sore, perutku sudah sangat lapar. Rintik-rintik hujan pertama mulai turun, padahal aku baru seperempat perjalanan pulang. Hari ini, tiba-tiba saja aku memilih jalur angkutan umum berbeda dari biasanya. Aku rindu suasana Gedung Sate sore hari, juga pucuk-pucuk mahoni yang baru bersemi di sepanjang Jalan Diponegoro.

Perjalananku singkat saja. Aku turun di pertigaan Jalan Supratman, tepat di depan Asrama Mahasiswa Gunong Tajam, asrama mahasiswa Belitong, persinggahanku ketika pertama kali ke Bandung, 10 tahun yang lalu. Hari makin gelap dan hujan masih lebat, air tergenang dimana-dimana. Aku bertemu seorang ibu yang kelihatannya baru pulang kerja. "Nak, mau pulang kemana? Boleh Ibu ikut sampai Surapati? Nanti Ibu mau naik angkot pink dari situ". "Oh, tentu saja boleh Bu", jawabku spontan.

Kami melewati Jalan Pusdai yang tergenang, sambil sesekali berhenti untuk menghindari cipratan air dari kendaraan yang lewat. Di bawah naungan payung kecil itu, obrolan kami mengalir. Ibu Maya, begitu beliau mengenalkan diri padaku. Beliau bekerja di Jalan Citarum, hanya beberapa ratus meter dari Pusdai, rumahnya lumayan jauh dari sini, di Ujung Berung. Bu Maya bercerita bahwa anak sulungnya sudah bekerja, seorang alumnus Farmasi Unpad. Sedangkan anak bungsunya baru tamat dari jurusan perhotelan, juga sudah bekerja dan berniat melanjutkan kuliah lagi.Tersirat rasa bangga di wajah beliau, padahal aku tahu beliau sedang lelah setelah seharian bekerja.

Aku pun mengenalkan diriku. Beliau antusias sekali ketika tahu bahwa aku hidup terpisah jauh dari keluarga, hidup sendiri di Bandung dan masih memimpikan banyak hal. "Ibu doakan Nak Hesty sukses dan tercapai cita-citanya. Orangtua seperti Ibu tidak akan mewariskan apa-apa, selain ilmu yang bermanfaat. Karena warisan harta betapapun banyaknya, akan habis". Kami berpisah di tepi jalan Surapati, dalam rintik hujan yang mulai reda.

Pesan Bu Maya adalah pesan yang sama seperti yang disampaikan Ibuku dulu ketika aku akan merantau ke Bandung. Aku menjadi rindu, rindu sekali pada Ibuku. Kiranya hujan sore ini mampu mengantarkan rinduku kepada Beliau, jauh sampai ke kampung halamanku. Kupeluk erat tasku yang basah. Dalam dingin dan mendung, hatiku tiba-tiba menjadi hangat, sehangat kasih sayang Ibuku.

Bochum, 8 Juli 2014