Wednesday, May 11, 2016

Jemari Waktu

Di sela jemari itu,
menetes satu per satu,
ingatan yang terbelit jaring-jaring waktu

Ke mana suara itu?
Bersahut-sahutan ia menggema,
dipantul-pantulkan dinding,
yang mengepung darah,
meletup-letup dalam dadaku

Sesak, nafasku tersengal,
keringat berjatuhan dari langit
bulir-bulir bening di sela jemari itu
tak usah kau seka

Awan-awan rendah,
bernaung di bawah kabut,
bergumul dengan asap
yang kuciptakan sendiri,
dari api dan kerasak kering
dari pohon-pohon ingatan

Ke mana cahaya itu?
Tanganku menggapai-gapai
sayup-sayup sampai

Dingin memelukku,
angin membayang-bayangiku,
di sela jemari itu,
meniupkan napasnya yang wangi

Tidurlah, sayang
pagi akan membasuhmu.

Bandung, 11 Mei 2016




Teduh

Mengalirlah menuju samudera
hingga tak ada lagi kesedihan yang tersisa
Wahai butir-butir air yang membawa serta
segala kesementaraan

Kutitipkan pula,
satu dua perkara,
yang selalu kuhadirkan dalam doa-doa
Bawalah serta

Tunggu aku di sana,
di ujung bukit sebelah tenggara
saat angin bergeming menuju senja,
senja terakhir yang menjinggakan semesta

Ketika itu,
semua pulang,
satu per satu, menuju Sang Maha

Bandung, 29 April 2016

Jentera Langit

Pagi itu,
setelah didera ribuan rindu,
dua jentera langit saling bercumbu

Tak ada yang lebih indah dari perjumpaan mereka
pada sehelai pagi yang biru itu
Meski tak lama,
namun seisi angkasa seketika menjadi cemburu,
begitu pun aku

Lihatlah gumpal-gumpal awan itu,
berarak mereka menyelimuti langit timur yang sendu.

Tanjong Tinggi, Belitong, 9 Maret 2016

Tanjong Pendam [2]

Langitmu adalah hamparan kanvas
Lautmu adalah benatangan kertas
Bias cahaya senjamu adalah goresan kuas

Tanjong Pendam tak pernah mencintai yang lain,
hanya Engkau saja wahai Kalimoa
Tanjong Pendam tak pernah merindukan yang lain,
hanya Engkau saja wahai Air Saga

Tanjong Pendam adalah sebentuk permata yang merona setiap senja
Tanjong Pendam adalah sebentuk cinta yang teramat setia

Tanjong Pendam, Tanjung Pandan, Belitong, 7 Maret 2016

Suara

Aku mendengar gemericik sungai dipeluk sepi.
Aku mendengar amukan ombak
yang menelan parau suara.
Aku mendengar gemerosok kerasak
yang diterbangkan angin.
Aku mendengar halilintar yang merambat
bersama cahaya.
Aku mendengar lirih tangis anak pesisir
Aku mendengar keroncong perut-perut lapar.
Aku mendengar tawa-tawa terbahak
dari sekawanan bajing.

Aroma busuk menyerbak.
Mataku berair,
menahan bau serakah,
menahan kesedihan yang berkarat,
dalam aliran anak-anak sungai.

Bandung 17 Februari 2016

Puisi untuk Ibu

Helai-helai benang yang ia renda menjadi doa.
Derap-derap langkah yang ia hentakkan melawan masa.
Jaring-jaring rencana
yang berkelindan dalam kepalanya.

Letih dan bahagia yang mengambang di sela renyah tawanya.
Bias-bias harap yang berjentera
dalam bola matanya.
Butir-butir peluh yang ia seka dari keningnya.

Dingin malam, setangkup tangan.
Dibelai hembusan angin senja,
di wajahnya, aku melihat bayang-bayang surga.

Bandung, 18 Februari 2016

Berlembar-lembar Perca(ya)

Karena pagi masih teramat malu
untuk bercermin pada gumpal awan
yang melintas-lintas di sela bukit.

Anjing kampung berbulu coklat,
kemilau emas disiram cahaya fajar,
dari retak-retak cermin tak berbingkai

Rerumputan tak beranjak dari mesranya
bersama embun sejak semalam,
padahal hujan sudah lama pulang dijemput angin.

Tahun menuju penghujung doa
yang masih berhias rangkai-rangkai semoga.
Engkau hanya perlu menyimpan
berlembar-lembar perca(ya).

Bandung, 16 Februari 2016

Hitam-Hitam Cahaya

Berlari-lari ke dalam gelap.
Melompat-lompat di dalam gelap.
Hentak-hentak berdebu.
Aku diam.

Di dalam gelap,
lubang cahaya seperti jarum tajam,
menusuk, menghujam, menyilaukan.
Lambai-lambai memotong pedang cahaya itu,
sementara saja,
sampai malam datang.

Aku di dalam gelap,
memilih, bukan tersesat.
Pekat, lamat, berat,
suara dari lubang cahaya,
bercampur pendar cahaya,
bercampur debu-debu yang menari,
bercampur secangkir waktu,
tanpa gula.

Bandung, 16 Februari 2016

Cerita Kupu-Kupu

Sayap kupu-kupu tak pernah salah arah.
Dia terbang rendah di sela-sela kelopak bunga,
bercengkerama menghisap sarinya.

Lalu, disiram rinai hujan,
putik pun menyembul berenda-renda.
Sesekali kilau embun
menempel pada pipinya.

Aku hanya mengingat yang manis-manis saja tentang mereka:
cerita sekawanan kupu-kupu,
kelopak bunga,
embun,
dan matahari senja.

Gantong, Belitong, 6 Februari 2016

Bersama Engkau

Kepak-kepak sayap mengangkasa,
menerbangkan helai-helai mimpi.
Butir-butir hujan membumi,
membasahi jengkal-jengkal tanah.
Anak-anak panah menghujam,
menusuk bingkai-bingkai waktu.

Engkau tak sabar,
ingin membelah udara,
menjadi bilah-bilah sukma.
Padahal, dia
hanya ingin mengarung masa,
perlahan mengeja,
bersama engkau,
berdua saja.

Mengapa mereka tak juga membaca tanda-tanda?


Bandung, 28 Januari 2016

Silhouette

Kini pendar cahaya itu perlahan meredup,
menyisakan kerlip-kerlip di kejauhan.

Bayang-bayang berkelebat,
berebut ke arah timur,
terbang rendah.

Silhouette membeku satu per satu,
ditangkap mata yang letih,
menahan silau.

Langit dihamburi remah-remah kaca berkilauan,
anak-anak bintang.

Purnama murung saja,
dicumbu awan kelabu,
menunggu hujan membasuhnya.

Atau tiba-tiba saja pagi merenggutnya?
Jangan!

Bandung, 26 Januari 2016

Sisa Purnama

Pokok pepaya yang sebatang kara.
Anjing kecoklatan yang bahagia.
Rumah-rumah Wae Rebo yang bersahaja.
Punggung perbukitan yang hijau senantiasa.
Masih ingatkan Engkau sisa purnama
yang malu-malu dicumbu cakrawala?
Pada pagi yang wangi di jantung Nusa Tenggara. 

Ruteng, Flores, 28 Desember 2015

Lembah Wae Rebo

Kawan,
pada pagi yang biru itu,
halimun menguap perlahan
dari lembah-lembah Wae Rebo.

Sayup-sayup kudengar
cericit burung pada dahan kayu di tepi jurang.
Jalan setapak yang kulewati masih basah,
sisa hujan semalam,
yang masih malu-malu menyapa Manggarai.

Namamu kutulis di atas selembar daun,
di antara pokok-pokok berdaun merah
yang aku tak tahu namanya.
Biar angin yang menjaganya. 

Wae Rebo, Flores, 28 Desember 2015

Aku Pulang ke Matamu

Kupu-kupu melayang-layang,
seperti kertas kuning,
sisa layangan yang terbang gagah
di langit sebelah timur.

Hujan telah menyapu sebagian pulau.
Rumput keemasan perlahan menghijau.
Ombak berbuih-buih dihempaskan angin
pada karang-karang yang tumpah dari langit.

Bukit-bukit terjal, samar-samar,
kokoh tertancap di Laut Flores.
Elang terbang labuh,
perahu-perahu masih tertambat,
diombang-ambingkan riak pagi yang sepi.

Di kedalaman Laut Flores,
aku melihat mata yang merona-rona,
mata-mata dari surga.
Di kedalaman hatimu,
aku melihat jernih air mata yang biru,
berhulu di kaki bukit kelabu,
menghilir ke tepian sudut matamu.

Labuan Bajo, Flores, 24 Desember 2015

Wednesday, February 24, 2016

Pendar Cahaya Bulan Memelukku

Ingatanku tiba pada suatu malam yang sangat biasa, aku, ayahku, ibuku, dan abangku, saudara kandungku satu-satunya. Rembulan mengawang rendah, awan tipis seperti berasap-asap melingkupi bola matanya yang sendu. Cahaya pucatnya berpendar dipantulkan pucuk-pucuk pohon kelapa yang melambai-lambai, entah kepada siapa. Aku dipakaikan ibu jaket wol hijau tua, sedikit berbunga, tapi tak berenda. Abang dipakaikan ayah jaket bercorak hitam, coklat muda, dan biru tua, dari bahan wol juga.

Sisa hujan sore tadi masih menggenang di tepian jalan aspal berbatu. Suara jangkrik menguasai sudut-sudut temaram di tepi padang ilalang, menebas sepi-sepi. Sepeda motor ayah, Yamaha PX-80, warna merah, masih kerap lalu lalang dalam mimpiku. Malam tadi, ia menghampiriku.


Seperti yang dikisahkan kunang-kunang kepadaku. Malam itu, kami pulang dari rumah kakek, ayah membonceng abang di bagian depan, ibu duduk di bagian belakang, aku digendong ibu sehingga pandanganku menghadap ke belakang. Pada malam yang dingin itu, hanya aku saja yang menatap teduh wajah rembulan, sesekali ia merayuku, tak ada orang lain tahu. Aku bertanya pada ibu: “Wahai ibu, mengapakah gerangan rembulan mengikutiku dan masih tak hendak pulang? Bukankah malam semakin merambat? Tak takutkah ia dipeluk gelap?” Semakin erat ibu mendekapku. “Tidurlah Nak, sebentar lagi kita sampai”.

Payung langit dipenuhi anak-anak bintang yang berkerlap-kerlip memperhatikan kami. Seperti untaian cinta ayah yang mencium lembut rambut abang, seperti helaian cinta ibu yang menidurkanku dalam pelukannya, malam yang sangat biasa itu sesungguhnya teramat istimewa.

Bandung, 24 Februari 2016