Thursday, July 10, 2014

Catatan Ramadhan 1435 H - 13 Ramadhan, Para Perantau dari Afrika

Sejak kecil aku mengagumi para perantau. Mereka rela meninggalkan kampung halaman dengan pengorbanan lahir batin yang tidak sedikit, untuk menuntut ilmu, mencari penghidupan yang lebih layak serta tujuan-tujuan mulia lainnya. Kali ini aku ingin sedikit bercerita tentang para perantau dari benua dengan kebudayaan unik dan kaya, Afrika.

Tak seperti bangsa Eropa, aku pertama kali bertemu bangsa Afrika baru-baru saja, sejak merantau ke Jerman. Sebelumnya di tanah air, tak sekalipun aku bertemu orang-orang dari bangsa mereka. Silih berganti aku memiliki tetangga yang berasal dari Afrika, antara lain dari Uganda, Kenya, Ghana dan Guinea. Rata-rata dari mereka sangat fasih berbicara paling tidak dalam satu bahasa Eropa, imbas dari sejarah masa lalu ketika tanah air mereka diduduki oleh bangsa-bangsa Eropa. Mereka adalah perempuan-perempuan cerdas yang mampu mengubah stereotip yang ada di kepala orang-orang yang masih beranggapan bahwa bangsa Afrika adalah masyarakat kelas dua. Sebagai contoh saja, aku mengenal Catherine, sahabatku dari Uganda sebagai kandidat Doktor bidang ekonomi yang sangat brilian. Ibu muda ini menamatkan pendidikan Masternya di Swiss dengan sangat gemilang.

Salah satu hal yang menarik perhatianku sejak lama adalah kebudayaan dan sejarah bangsa-bangsa di dunia. Sebuah peta Afrika Timur yang menggambarkan danau-danau terbesar di Afrika menempel di samping tempat tidurku, sering mengantarkan mimpiku untuk mengunjunginya suatu hari nanti. Dulu waktu masih kecil, aku paling suka mengamat-amati Atlas yang dibelikan ayahku di Toko Buku Usaha. Membayang-bayangkan negeri-negeri jauh, serta berbagai bangsa yang mendiaminya. Ketika itu internet belum jamak seperti sekarang, sehingga imajinasiku hanya terbatas pada gambar-gambar yang kulihat dari buku-buku atau siaran televisi. Aku tak pernah mendengar bahasa-bahasa asing langsung dari penutur aslinya, yang kukenal hanya sebatas nama.
 
Perempuan-perempuan Afrika. Sumber: ingenieur.de (Universität Hohenheim)
Sore kemarin, aku memasak di dapur seperti biasa. Dapur kami ini seperti pusaran budaya tempat berkumpulnya berbagai bangsa. Sudah hampir seminggu aku kedatangan tetangga baru berwajah Afrika, belum juga sempat aku berbincang-bincang dengannya. Aku hanya sekedar menyapa dan tersenyum. Sore itu kali pertama aku berkenalan dengan Umu, begitu dia memperkenalkan namanya. Perempuan muda ini berasal dari sebuah negara yang dulu sulit aku membedakannya karena setidaknya ada 3 negara bernama sama di sekitar wilayah Teluk Guinea Afrika. Negara itu adalah Guinea, sering disebut Guinea Perancis, untuk membedakannya dengan Guinea Bissau dan Guinea Ekuator. Aku bertanya apakah dia bisa berbahasa Inggris, dia menggeleng: “Ich spreche ein bisschen Deutsch...“ “Saya hanya berbicara sedikit dalam Bahasa Jerman...“ Umu bercerita padaku bahwa saat ini dia sedang mengambil kursus Bahasa Jerman untuk mempersiapkan kuliah Masternya dalam bidang Informatika tahun depan. Lalu kutanya pula, sehari-hari dia berbicara dalam bahasa apa di tanah airnya. Bahasa Pular, ujarnya, lalu Bahasa Perancis sebagai bahasa kedua. Tak lama telepon genggam Umu berdering, dia berbicara dalam Bahasa Pular yang tadi diceritakannya. Aku seketika takjub mendengar bahasa asing ini untuk pertama kalinya. Iramanya cepat dengan penekanan-penekanan pada beberapa huruf konsonan serta diucapkan dengan intonasi lantang, seperti senandung yang mengiringi tarian-tarian eksotik berirama gembira.

Lalu setengah bercanda kutanyakan pada Umu, mengapa dia tidak kuliah saja di Perancis, tentunya dia tak perlu repot-repot untuk mempelajari Bahasa Jerman dan bisa langsung memulai kuliah Masternya. Umu menjawab sambil sedikit menggeleng, “Aku juga tidak tahu, Hesty. Tiba-tiba saja aku sudah menemukan diriku berada di negeri ini. Nasib seperti mengantarku ke sini, bukan ke Perancis“. Dalam hatiku, kita ternyata tak jauh berbeda, Umu. Aku pun begitu, niat merantau ke benua lain yang terpatri sejak lama seperti tiba-tiba saja mengantarkanku ke sini, ke Bochum, yang bahkan baru kukenal tak lebih dari 2 bulan sebelum keberangkatanku, bukan ke kota atau negara lain. Serangkaian usaha yang kita lakukan hanyalah cara, bukan penentu. Syarat cukupnya adalah izin Allah. Nasib senantiasa penuh misteri seperti masa depan yang tak pernah pasti.

Setelah hampir seminggu ini Bochum diguyur hujan, hari ini di hari ke 13 Ramadhan, matahari menampakkan senyumnya. Sebelumnya, sejak sore kemarin, kabut tebal menyelimuti udara. Dingin dan sendu, seperti halimun di punggung-punggung pegunungan yang melingkupi Bandung hampir setiap pagi. Aku pun menjadi rindu. Bandung sudah seperti kampung halaman ke dua bagiku, kampung halaman tempat aku menghabiskan awal-awal masa dewasa dan pencarian jati diri.

Aku pun teringat pada sebuah syair Ethiopia berjudul Guramayle. Guramayle adalah istilah yang digunakan oleh suku-suku di Ethiopia utara untuk menamakan sejenis tattoo yang mereka pasang di gusi bagian atas untuk memperindah senyuman. Guramayle sekaligus juga dipakai untuk menyebut orang-orang yang sok mencampuradukkan istilah-istilah bahasa asing ke dalam bahasa ibu mereka, dengan tujuan agar terdengar keren dan intelek. Syair “ejekan“ ini diciptakan oleh pengarangnya dengan maksud positif untuk mencerminkan pengaruh multibudaya bagi orang-orang Ethiopia yang merantau ke seluruh penjuru dunia. Guramayle adalah syair cinta para diaspora. Syair ini menggambarkan bagaimana sang pengarang mengalami gagap budaya ketika kembali ke tanah airnya setelah sekian lama mengalami banyak hal selama di perantauan. Di Ethiopia sendiri, Guramayle sering digunakan sebagai sindiran bagi mereka yang menjadi terlalu ke-“Eropa-Eropa“-an dan melupakan akar budaya mereka. Syair syahdu ini berpesan: “Ke manapun kakimu melangkah, sejauh apapun jarak yang pernah Kau tempuh, jangan pernah melupakan akarmu, tanah air dan bangsamu sendiri“.

Bochum, 10 Juli 2014