Sejak kecil
aku mengagumi para perantau. Mereka rela meninggalkan kampung halaman dengan
pengorbanan lahir batin yang tidak sedikit, untuk menuntut ilmu, mencari
penghidupan yang lebih layak serta tujuan-tujuan mulia lainnya. Kali ini aku
ingin sedikit bercerita tentang para perantau dari benua dengan kebudayaan unik
dan kaya, Afrika.
Tak seperti
bangsa Eropa, aku pertama kali bertemu bangsa Afrika baru-baru saja, sejak merantau
ke Jerman. Sebelumnya di tanah air, tak sekalipun aku bertemu orang-orang dari
bangsa mereka. Silih berganti aku memiliki tetangga yang berasal dari Afrika,
antara lain dari Uganda, Kenya, Ghana dan Guinea. Rata-rata dari mereka sangat
fasih berbicara paling tidak dalam satu bahasa Eropa, imbas dari sejarah masa
lalu ketika tanah air mereka diduduki oleh bangsa-bangsa Eropa. Mereka adalah perempuan-perempuan
cerdas yang mampu mengubah stereotip yang ada di kepala orang-orang yang masih beranggapan
bahwa bangsa Afrika adalah masyarakat kelas dua. Sebagai contoh saja, aku
mengenal Catherine, sahabatku dari Uganda sebagai kandidat Doktor bidang
ekonomi yang sangat brilian. Ibu muda ini menamatkan pendidikan Masternya di
Swiss dengan sangat gemilang.
Salah satu
hal yang menarik perhatianku sejak lama adalah kebudayaan dan sejarah
bangsa-bangsa di dunia. Sebuah peta Afrika Timur yang menggambarkan danau-danau
terbesar di Afrika menempel di samping tempat tidurku, sering mengantarkan
mimpiku untuk mengunjunginya suatu hari nanti. Dulu waktu masih kecil, aku paling
suka mengamat-amati Atlas yang dibelikan ayahku di Toko Buku Usaha.
Membayang-bayangkan negeri-negeri jauh, serta berbagai bangsa yang mendiaminya.
Ketika itu internet belum jamak seperti sekarang, sehingga imajinasiku hanya
terbatas pada gambar-gambar yang kulihat dari buku-buku atau siaran televisi.
Aku tak pernah mendengar bahasa-bahasa asing langsung dari penutur aslinya,
yang kukenal hanya sebatas nama.
Sore
kemarin, aku memasak di dapur seperti biasa. Dapur kami ini seperti pusaran
budaya tempat berkumpulnya berbagai bangsa. Sudah hampir seminggu aku
kedatangan tetangga baru berwajah Afrika, belum juga sempat aku
berbincang-bincang dengannya. Aku hanya sekedar menyapa dan tersenyum. Sore itu
kali pertama aku berkenalan dengan Umu, begitu dia memperkenalkan namanya. Perempuan
muda ini berasal dari sebuah negara yang dulu sulit aku membedakannya karena
setidaknya ada 3 negara bernama sama di sekitar wilayah Teluk Guinea Afrika. Negara itu adalah Guinea,
sering disebut Guinea Perancis, untuk membedakannya dengan Guinea Bissau dan
Guinea Ekuator. Aku bertanya apakah dia bisa berbahasa
Inggris, dia menggeleng: “Ich spreche ein bisschen Deutsch...“ “Saya hanya
berbicara sedikit dalam Bahasa Jerman...“ Umu bercerita padaku bahwa saat ini
dia sedang mengambil kursus Bahasa Jerman untuk mempersiapkan kuliah Masternya
dalam bidang Informatika tahun depan. Lalu kutanya pula, sehari-hari dia berbicara
dalam bahasa apa di tanah airnya. Bahasa Pular, ujarnya, lalu Bahasa Perancis
sebagai bahasa kedua. Tak lama telepon genggam Umu berdering, dia berbicara
dalam Bahasa Pular yang tadi diceritakannya. Aku seketika takjub mendengar bahasa
asing ini untuk pertama kalinya. Iramanya cepat dengan penekanan-penekanan pada
beberapa huruf konsonan serta diucapkan dengan intonasi lantang, seperti senandung
yang mengiringi tarian-tarian eksotik berirama gembira.
Lalu
setengah bercanda kutanyakan pada Umu, mengapa dia tidak kuliah saja di
Perancis, tentunya dia tak perlu repot-repot untuk mempelajari Bahasa Jerman dan
bisa langsung memulai kuliah Masternya. Umu menjawab sambil sedikit menggeleng,
“Aku juga tidak tahu, Hesty. Tiba-tiba saja aku sudah menemukan diriku berada di
negeri ini. Nasib seperti mengantarku ke sini, bukan ke Perancis“. Dalam
hatiku, kita ternyata tak jauh berbeda, Umu. Aku pun begitu, niat merantau ke benua
lain yang terpatri sejak lama seperti tiba-tiba saja mengantarkanku ke sini, ke
Bochum, yang bahkan baru kukenal tak lebih dari 2 bulan sebelum
keberangkatanku, bukan ke kota atau negara lain. Serangkaian usaha yang kita
lakukan hanyalah cara, bukan penentu. Syarat cukupnya adalah izin Allah. Nasib senantiasa penuh
misteri seperti masa depan yang tak pernah pasti.
Setelah hampir seminggu ini Bochum
diguyur hujan, hari ini di hari ke 13 Ramadhan, matahari menampakkan senyumnya.
Sebelumnya, sejak sore kemarin, kabut tebal menyelimuti udara. Dingin dan sendu, seperti halimun di punggung-punggung pegunungan
yang melingkupi Bandung hampir setiap pagi. Aku pun menjadi rindu. Bandung sudah
seperti kampung halaman ke dua bagiku, kampung halaman tempat aku menghabiskan
awal-awal masa dewasa dan pencarian jati diri.
Aku pun teringat
pada sebuah syair Ethiopia berjudul Guramayle. Guramayle adalah istilah yang digunakan
oleh suku-suku di Ethiopia utara untuk menamakan sejenis tattoo yang mereka
pasang di gusi bagian atas untuk memperindah senyuman. Guramayle sekaligus juga
dipakai untuk menyebut orang-orang yang sok mencampuradukkan istilah-istilah
bahasa asing ke dalam bahasa ibu mereka, dengan tujuan agar terdengar keren dan
intelek. Syair “ejekan“ ini diciptakan oleh pengarangnya dengan maksud positif untuk
mencerminkan pengaruh multibudaya bagi orang-orang Ethiopia yang merantau ke
seluruh penjuru dunia. Guramayle adalah syair cinta para diaspora. Syair ini menggambarkan
bagaimana sang pengarang mengalami gagap budaya ketika kembali ke tanah airnya
setelah sekian lama mengalami banyak hal selama di perantauan. Di Ethiopia
sendiri, Guramayle sering digunakan sebagai sindiran bagi mereka yang menjadi
terlalu ke-“Eropa-Eropa“-an dan melupakan akar budaya mereka. Syair syahdu ini
berpesan: “Ke manapun kakimu melangkah, sejauh apapun jarak yang pernah Kau
tempuh, jangan pernah melupakan akarmu, tanah air dan bangsamu sendiri“.
Bochum, 10
Juli 2014