Sejak tadi malam, aku hanya tidur barang sebentar. Sudah lama aku tak menonton film Indonesia. Dari browsing singkat beberapa sinopsis, setidaknya 3 film sudah kutonton hingga siang tadi. Dari tema-tema yang beragam, ada satu benang merah yang bisa ditarik dari film-film tersebut. Persepsi tentang dunia luar, Eropa khususnya, digambarkan agak aneh menurutku. Ataukah aku yang memang lugu?
Eropa digambarkan sebagai budaya unggul yang terlalu diagung-agungkan. Tempat segala tujuan dunia ditambatkan serta cita-cita yang tak jelas motivasinya. Gaya hidup ke-Eropa-Eropa-an diadopsi mentah-mentah sebagai patokan kemapanan dan modernitas yang kebablasan. Padahal, orang Eropa sendiri tak sebegitunya. Bagi orang dewasa yang sudah matang pola pikirnya, mungkin film-film ini hanya akan sedikit membuat tersenyum, dan menganggapnya sebagai hiburan saja. Namun coba bayangkan bagaimana pengaruhnya bagi anak-anak, remaja, dan usia-usia pra-dewasa. Masa-masa di mana manusia sedang giat-giatnya mencari jati diri.
Aku jadi ingat sebait kalimat dalam Roman Sejarah "Anak Semua Bangsa", Pram pernah menulis: "Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Di mana pun ada yang mulia dan jahat....Kau sudah lupa kiranya, Nak, yang kolonial selalu iblis. Tak ada yang kolonial pernah mengindahkan kepentingan bangsamu." Sekian dekade sudah berlalu, zaman sudah berganti. Setting masa kolonial dalam cerita Pram ini sudah bertransformasi menjadi bentuk lain. Namun relevansinya, menurutku, masih mengena hingga saat ini.
Hamburg, pada suatu malam di Bulan September |
Diam-diam aku sangat bersyukur dibesarkan orang tuaku di lingkungan "udik", di kampung. Tempat segala kesederhanaan, mimpi dan cita-cita kami pupuk sejak belia. Aku bangga di masa kecilku aku tak terlalu mengenal segala macam hiburan elektronik, internet dan sebangsanya. Alam yang mengasuh kami. Masa kecil akan membentuk bagaimana seseorang ketika dewasanya. Masa kecilku di Pulau Belitong, bagiku adalah masa kecil yang paling indah yang akan aku kenang seumur hidupku. Di dalam Novel "Edensor", Pak Cik Ikal pernah menulis: "Kemanapun tempat telah kutempuh, apapun yang telah kucapai, dan dengan siapapun aku berhubungan, aku tetaplah lelaki udik, tak dapat kubasuh-basuh."
Bochum, 7 Desember 2013
Bochum, 7 Desember 2013