hujan sejak pukul tujuh pagi
Mari merayakan hujan bersama keping-keping
hidup di Sukamantri, begitu mungkin isi kepalaku saat itu. Kuyup hujan pukul tujuh
pagi, kalau sudah begini kami tak peduli. Bocah-bocah
kecil sudah ramai sejak tadi, berceloteh di bawah payung warna-warni. Ah, rindu
aku meminjam mata mereka, hidup tak banyak perkara, semua serba sederhana. Satu-satu
lekat kutatap wajah mereka, ada mimpi dalam sorot mata nan lugu, hidup, penuh energi
seperti hujan pagi ini.
Selalu ada yang menarik yang bisa dinikmati
sejak pagi. Ramah mentari malu-malu mengintip di celah-celah gemunung,
menyeruak halimun yang diam-diam menunggu. Kerlip lampu dari kejauhan
samar-samar menari. Rumput masih diam, angin pun masih malas merayu.
Warga Sukamantri selalu punya cara sendiri untuk
merayakan hidup. Walaupun harus melewati sudut-sudut gang yang sempit, namun
selalu ada karnaval meriah setiap bulan Agustus. Lapangan yang tak seberapa
luas di samping Masjid Miftahul Huda selalu ramai saat hari kemerdekaan tiba,
pun tak kalah meriah menyambut dua hari raya. Kalau musim hujan tiba, selokan
kami sering sekali meluap, jalanan menjadi becek. Namun jarang kudengar orang
bertengkar karena harus bergantian melintasi jalanan tergenang. Kendaraan dari
arah berlawanan harus saling mengalah karena kelok-kelok jalan yang sempit. Di
sana mereka berbagi di tengah keleluasaan yang serba sedikit, secarik bahagia
yang sederhana.
Di salah sudut gang, seorang pengemis setia
menengadah dengan kaleng lusuh berkarat. Belum menggerincing kalengnya pagi
ini, tatapnya lesu. Aku paling tak betah bertemu pengemis, serba salah.
Pulang-pulang pasti aku akan mengutuk dalam hati. Antara mengutuki diriku
sendiri, atau mengutuki sang pengemis. Belas
kasihan itu fitrah manusia, tapi mengemis juga tak baik. Pengemis di sudut
jalan itu masih segar bugar, tak malu apa dia dengan nenek penjual surabi di
depan Pasar Suci, kutukku dalam hati. Kalau aku mengabaikannya: ‘Tak punya belas kasihan!‘, kutukku
lagi kepada diriku sendiri. Sungguh tak senang hatiku dihadapkan pada perasaan
campur aduk seperti ini.
Ah sudahlah, mari kuceritakan soal perasaan
yang lain, milik manusia-manusia di Sukamantri. Bandung telah lama menjadi salah
satu tempat tujuan belajar bagi pemuda-pemudi dari pelosok Nusantara. Dari sana
muncullah hubungan unik dalam simpul-simpul masyarakat urban kaum pendatang
dengan kaum pribumi. Entah berapa ratus rumah sewa dan kamar-kamar kos
mahasiswa yang berbagi jengkal-jengkal tanah di Sukamantri, yang umumnya
dimiliki juragan-juragan kos pribumi. Ada keterkaitan yang unik antara pemilik
kos dan para penyewa petak-petak bangunan ini. Walau sering kudengar gerutu
mahasiswa mengeluhkan harga sewa, namun selalu ada persaudaraan yang tulus di
sana.
Aku senang menghabiskan sore di salah satu
warung nasi di sudut Sukamantri. Ibu pemilik warung nasi ini juga menyewakan
beberapa kamar kos untuk mahasiswa. Binar matanya jika kuminta bercerita
tentang anak-anak kosnya zaman dulu, ketika Bandung belum musim macet, ketika
pohon-pohon rindang di jalan Surapati masih berderet-deret. ‘Dulu mah Neng,
anak kos Ibu ada yang suka sekali Ibu masakin oncom, padahal orang Sumatera.
Sekarang katanya sudah jadi orang hebat di Jakarta. Kalau hari raya, tak pernah
lupa dia menelpon Ibu dari kampung halamannya.‘ Nostalgia sederhana seperti itu
selalu menyenangkan untuk dikenang.
Sore yang damai di Sukamantri |
Di sudut-sudut gang Sukamantri, di
pinggir-pinggir gerobak pedagang nasi, di setiap gesek sepatuku menyusuri gang setiap
pagi, di sana kutemui pelajaran hidup berharga. Kisah tentang kesederhanaan,
persaudaraan, peluh-peluh perjuangan dan keindahan hidup di tengah
keterbatasan. Mereka yang telah menyediakan ramah keluarganya untuk kami,
mereka yang telah memasak makanan untuk perut-perut lapar kami, mereka yang
telah mengiringi langkah-langkah kecil kami mengejar mimpi. Kepada mereka, kami
tak pernah bisa membalas butir-butir kebaikan yang telah tercurah seperti hujan hari ini, yang tak juga hendak berhenti sejak pukul tujuh pagi.
Bochum, 23 November 2012
[Tamat]