Friday, November 23, 2012

Sukamantri [2]


hujan sejak pukul tujuh pagi

Mari merayakan hujan bersama keping-keping hidup di Sukamantri, begitu mungkin isi kepalaku saat itu. Kuyup hujan pukul tujuh pagi, kalau sudah begini kami tak peduli. Bocah-bocah kecil sudah ramai sejak tadi, berceloteh di bawah payung warna-warni. Ah, rindu aku meminjam mata mereka, hidup tak banyak perkara, semua serba sederhana. Satu-satu lekat kutatap wajah mereka, ada mimpi dalam sorot mata nan lugu, hidup, penuh energi seperti hujan pagi ini.

Selalu ada yang menarik yang bisa dinikmati sejak pagi. Ramah mentari malu-malu mengintip di celah-celah gemunung, menyeruak halimun yang diam-diam menunggu. Kerlip lampu dari kejauhan samar-samar menari. Rumput masih diam, angin pun masih malas merayu.

Warga Sukamantri selalu punya cara sendiri untuk merayakan hidup. Walaupun harus melewati sudut-sudut gang yang sempit, namun selalu ada karnaval meriah setiap bulan Agustus. Lapangan yang tak seberapa luas di samping Masjid Miftahul Huda selalu ramai saat hari kemerdekaan tiba, pun tak kalah meriah menyambut dua hari raya. Kalau musim hujan tiba, selokan kami sering sekali meluap, jalanan menjadi becek. Namun jarang kudengar orang bertengkar karena harus bergantian melintasi jalanan tergenang. Kendaraan dari arah berlawanan harus saling mengalah karena kelok-kelok jalan yang sempit. Di sana mereka berbagi di tengah keleluasaan yang serba sedikit, secarik bahagia yang sederhana.

Di salah sudut gang, seorang pengemis setia menengadah dengan kaleng lusuh berkarat. Belum menggerincing kalengnya pagi ini, tatapnya lesu. Aku paling tak betah bertemu pengemis, serba salah. Pulang-pulang pasti aku akan mengutuk dalam hati. Antara mengutuki diriku sendiri, atau mengutuki sang pengemis. Belas kasihan itu fitrah manusia, tapi mengemis juga tak baik. Pengemis di sudut jalan itu masih segar bugar, tak malu apa dia dengan nenek penjual surabi di depan Pasar Suci, kutukku dalam hati. Kalau aku mengabaikannya: ‘Tak punya belas kasihan!‘, kutukku lagi kepada diriku sendiri. Sungguh tak senang hatiku dihadapkan pada perasaan campur aduk seperti ini.

Ah sudahlah, mari kuceritakan soal perasaan yang lain, milik manusia-manusia di Sukamantri. Bandung telah lama menjadi salah satu tempat tujuan belajar bagi pemuda-pemudi dari pelosok Nusantara. Dari sana muncullah hubungan unik dalam simpul-simpul masyarakat urban kaum pendatang dengan kaum pribumi. Entah berapa ratus rumah sewa dan kamar-kamar kos mahasiswa yang berbagi jengkal-jengkal tanah di Sukamantri, yang umumnya dimiliki juragan-juragan kos pribumi. Ada keterkaitan yang unik antara pemilik kos dan para penyewa petak-petak bangunan ini. Walau sering kudengar gerutu mahasiswa mengeluhkan harga sewa, namun selalu ada persaudaraan yang tulus di sana.

Aku senang menghabiskan sore di salah satu warung nasi di sudut Sukamantri. Ibu pemilik warung nasi ini juga menyewakan beberapa kamar kos untuk mahasiswa. Binar matanya jika kuminta bercerita tentang anak-anak kosnya zaman dulu, ketika Bandung belum musim macet, ketika pohon-pohon rindang di jalan Surapati masih berderet-deret. ‘Dulu mah Neng, anak kos Ibu ada yang suka sekali Ibu masakin oncom, padahal orang Sumatera. Sekarang katanya sudah jadi orang hebat di Jakarta. Kalau hari raya, tak pernah lupa dia menelpon Ibu dari kampung halamannya.‘ Nostalgia sederhana seperti itu selalu menyenangkan untuk dikenang.


Sore yang damai di Sukamantri
Bapak kos kami baru saja pergi. Tengah malam di awal musim gugur tahun ini dering HP membangunkanku, sebait pesan dari sahabatku satu kos dulu mengabarkan berita sedih ini. Innalillahi wainna ilaihi roji’un. Pak Selam, salah satu tokoh masyarakat Sukamantri, bapak kos kami yang baik hati. Kubayangkan harum sajadah Masjid Miftahul Huda, masjid wakaf beliau, mengiringi duyun masyarakat Sukamantri mengantar jenazah beliau ke tempat peristirahatan terakhir. Sedih aku jika terkenang obrolan kami di suatu pagi. Saat itu beliau memang sudah sakit, aku bercerita pada beliau tentang mimpiku untuk sekolah lagi. Antusiasnya tak pernah hilang walaupun aku tahu beliau sudah tak sesehat dulu. Terima kasih Pak, telah menjadi ayah untuk kami, semoga Allah merahmati engkau.

Di sudut-sudut gang Sukamantri, di pinggir-pinggir gerobak pedagang nasi, di setiap gesek sepatuku menyusuri gang setiap pagi, di sana kutemui pelajaran hidup berharga. Kisah tentang kesederhanaan, persaudaraan, peluh-peluh perjuangan dan keindahan hidup di tengah keterbatasan. Mereka yang telah menyediakan ramah keluarganya untuk kami, mereka yang telah memasak makanan untuk perut-perut lapar kami, mereka yang telah mengiringi langkah-langkah kecil kami mengejar mimpi. Kepada mereka, kami tak pernah bisa membalas butir-butir kebaikan yang telah tercurah seperti hujan hari ini, yang tak juga hendak  berhenti sejak pukul tujuh pagi.

Bochum, 23 November 2012
[Tamat]