Sepuluh
tahun sudah berlalu sejak pertama kali aku meninggalkan rumah dan kampung
halaman. Aku hidup berpindah-pindah dari satu rumah kos ke rumah kos lainnya di
Bandung dulu. Belajar hidup mandiri, jauh dari keluarga dan sanak saudara,
sekaligus belajar berbagi kebersamaan dengan orang-orang dari berbagai latar
belakang. Sampai saat ini pun, Sukamantri, sebuah kampung urban di Bandung yang
kutinggali selama kurang lebih 7 tahun, masih menyisakan kenangan yang sulit
rasanya aku lupakan. Berikut
beberapa catatan kenang-kenanganku tentang Sukamantri yang sempat kutulis
beberapa waktu yang lalu:
Perantauanku
pun berlanjut, kali ini aku harus menembus batas negara, bangsa dan budaya.
Sebelum berangkat, aku berusaha mengumpulkan berbagai informasi dari internet
tentang segala hal yang berhubungan dengan Jerman pada umumnya, dan Bochum khususnya.
Mencari tempat tinggal di Bochum untuk mahasiswa ternyata gampang-gampang
susah. Melalui korespondensi email dengan Supervisorku sampai 2 minggu sebelum
keberangkatan, aku belum kunjung mendapatkan tempat tinggal. Beliau berusaha mencari ke sana ke mari, termasuk
menghubungi International Office
untuk membantuku.
Singkat cerita dari beberapa
orang Indonesia yang tinggal di Bochum, yang kukenal melalui Facebook, aku
dihubungkan dengan sebuah asrama mahasiswa yang terletak tak jauh dari
kampusku, hanya sekitar 1,5 km. Roncallihaus, begitu nama asrama tua itu, dibangun
tahun 1965 bersamaan dengan dibukanya Ruhr Universität Bochum, universitas
negeri pertama yang didirikan di Jerman setelah Perang Dunia II. Dari beberapa
pengalaman yang kudengar dari mahasiswa Indonesia yang pernah tinggal di
Roncallihaus, asrama ini tak begitu nyaman, air panasnya sering mati, pemanas
ruangannya pun sering tak menyala ketika musim dingin tiba, mesin cucinya hanya
ada 2, padahal kamar yang tersedia total berjumlah 160. Tapi, mendengar hal
itu, nyaliku tak ciut, tak apalah bersusah-susah dulu pikirku, daripada tak
mendapat tempat tinggal sama sekali dan harus menumpang di tempat orang lain.
Kontrak pertama aku setujui selama 8 bulan, jika ternyata kemudian aku tak
betah maka rencananya aku akan mencari tempat tinggal lain yang lebih nyaman.
Barbara, begitu nama salah
seorang pegawai asrama yang bertanggung jawab mengurus administrasi sehari-hari
di Roncallihaus. Berkas aplikasi sudah kukirimkan kepadanya melalui kenalanku
yang juga tinggal di Roncallihaus. Tak ada satu pun foto Barbara yang dapat kutemukan
di website resmi Roncallihaus. Aku hanya membayang-bayangkan saja bahwa perempuan
ini berwajah seperti orang Jerman kebanyakan: dingin, kaku dan jarang tersenyum.
Dari email terakhir yang kuterima, Barbara berpesan agar ketika aku sampai, aku
harus menekan tombol 1 dan 6 pada sebuah telepon yang tergantung di depan pintu
masuk asrama.
Michal
dan Moni yang menjemputku di bandara Düsseldorf langsung mengantarku ke
Roncallihaus. Asrama milik yayasan Evangelisch ini terletak di ujung sebuah
jalan buntu, Laerheidestraße. Pada sore kelabu di bulan November itu,
pohon-pohon hampir meranggas, daun-daun kuning kecoklatan berguguran
diterbangkan angin, berserakan di pinggir-pinggir jalan. Michal membantuku
membawa koper dan barang-barangku. Begitu tiba di pintu asrama, Moni langsung menekan
tombol 1 dan 6 sesuai pesan Barbara. Moni berbicara dalam bahasa Jerman, lalu
tak lama kemudian seorang perempuan berwajah ramah membukakan pintu, dialah
Barbara. Perempuan ini kutaksir usianya sekitar 50an, berkacamata, rambutnya
lurus pirang, tingginya tak seberapa, tak seperti orang Eropa kebanyakan, malah
sedikit lebih pendek dariku. Aku yang masih setengah-setengah jetlag mendengarkan beberapa penjelasan
singkat dari Barbara, dia memberiku 3 anak kunci dan satu berkas dokumen tipis
berisi perjanjian sewa, semuanya tertulis dalam Bahasa Jerman. Aku yang ketika
itu masih buta aksara sama sekali tidak mengerti apa isi surat kontrak itu.
Moni lalu menjelaskan detailnya padaku dan aku pun akhirnya membubuhkan tanda
tangan pada surat tersebut. Michal dan Moni menemaniku berkeliling-keliling
asrama bersama Barbara. Dia mengantar kami ke beberapa ruangan utama fasilitas
asrama, antara lain dapur dan ruang TV yang tersedia di setiap lantai, ruang laundry, perpustakaan, ruang pertemuan
yang merangkap ruang piano, bar dan kapel kecil.
Kesan
pertamaku tentang Jerman adalah dingin, iklimnya, juga orang-orangnya. Namun,
orang-orang pertama yang kutemui justru sebaliknya, tak terkecuali Barbara.
Perempuan ini tak berhenti tersenyum dan tertawa-tawa kecil di sela-sela
pembicaraan pertamanya padaku sore itu, ramah sekali, tak ubahnya orang
Indonesia. Sekarang waktunya bagiku membuktikan asumsi-asumsi lain yang
tersusun di kepalaku sebelum tiba di sini. Malam pertama aku tinggal di
Roncallihaus, kurasakan udara dingin menusuk luar biasa. Selimut yang
disediakan tak cukup rasanya mengusir hawa dingin pada malam di akhir musim gugur
itu. Aku memeriksa pemanas ruangan di bawah meja, masih menyala, tapi tak
seberapa hangat, lewat pukul 11 malam, pemanas itu lalu tak menyala sama
sekali.
Keesokan
sorenya aku mencari Barbara di kantor asrama, aku bertanya tentang pemanas
ruangan yang mungkin tidak berfungsi. Klaus, suami Barbara segera ke kamarku
untuk memeriksanya. Kata Klaus, pemanasnya berfungsi baik, tapi memang tak
dinyalakan full dari central
controller-nya karena memang belum masuk musim dingin, dan setelah pukul 11
malam memang dimatikan dengan asumsi temperatur di dalam ruangan sudah stabil.
Pemanas akan dinyalakan kembali sekitar pukul 6 pagi. Barbara yang mungkin tak
tega melihatku, lalu mengajakku ke ruangan laundry,
diberinya aku sebuah selimut tambahan bermotif coklat kotak-kotak, selimut wangi
berbahan wol ini kelihatannya lebih hangat. "Pakailah ini." katanya
sambil tersenyum. "Kalau ada apa-apa sampaikanlah pada kami, jangan
sungkan-sungkan", ujar perempuan sederhana ini.
Pelajaran
pertama yang kuperoleh sore itu adalah tentang standar dingin dan hangat
relatif yang berlaku di sini. Udara bulan November yang terasa sangat menusuk
menurut kulit Melayu-ku sebenarnya bukan apa-apa bagi orang Jerman, masih
terhitung hangat bagi mereka. Mungkin dalam beberapa bulan ke depan seiring
berjalannya waktu, tubuhku pun akan ikut menyesuaikan. Semuanya hanya tentang
waktu dan serba relatif. Pelajaran kedua, Barbara dan Klaus-lah yang
sesungguhnya secara tak langsung akan menjadi "orangtua angkatku"
selama aku tinggal di sini. Masalah apapun yang aku rasakan di asrama,
pengaduan akan tertuju pada mereka. Maka, aku pun harus pandai-pandai
memperlakukan mereka dengan baik. Aku tak ingin berasumsi negatif tentang orang lain, apalagi yang baru
kukenal. Rule yang ada dalam
pikiranku bahwa hubungan manusia itu timbal balik, orang akan berlaku baik pada
kita sebagaimana kita berlaku baik pada mereka, begitu pun sebaliknya.
Hari
demi hari kulalui, tak terasa bulan demi bulan berganti. Aku mengenal banyak
orang dari berbagai bangsa yang berbagi lantai denganku. Dapur sekaligus ruang
TV di lantai kami, menjadi tempat utama kami berinteraksi sehari-hari.
Tetanggaku datang dan pergi silih berganti. 8 bulan pun lewat, batas kontrak
pertama yang kusepakati telah habis. Aku menemui Barbara pada suatu pagi,
menyampaikan maksudku untuk meneruskan kontrakku di Roncallihaus. Tak ada
alasan bagiku untuk pindah, sejauh ini tak ada masalah berarti yang kutemui
di asrama ini. Kalau pun ada, hanya masalah-masalah sepele yang bisa
diselesaikan dalam satu hari dengan melaporkannya langsung pada Barbara atau Klaus. Aku
pun belajar berbagi dan bertoleransi dengan kawan-kawanku yang berasal dari
berbagai negara, budaya dan latar belakang yang sangat beragam.
Suami
istri ini bekerja bahu membahu mengurus asrama kami. Jika Barbara bertanggung
jawab mengurus administrasi sehari-hari, maka Klaus bertugas mengurus segala
urusan teknis dan pertukangan di asrama yang terbagi menjadi 2 gedung utama
ini, gedung A dan gedung B. Sehari-hari dia dibantu oleh seorang tukang. Mereka
mengerjakan sendiri instalasi dan perawatan alat-alat listrik, pertukangan,
bengkel sampai mengurus keran yang bocor. Asrama ini memang sudah tua, tapi
sering kuperhatikan setiap detail fasilitasnya, untuk ukuran barang-barang tua,
keadaannya relatif terawat. Untuk perawatan kebersihan, biasanya beberapa
pekerja paruh waktu datang setiap pagi untuk membersihkan dapur dan kamar mandi
di tiap lantai. Setiap lantai kebagian giliran 2 kali dalam seminggu, lantai
kami setiap Senin dan Kamis.
Ada
kebiasaan unik yang sering kuperhatikan di Roncallihaus ini. Lobi utama di
lantai satu, ruangan terbuka berjendela yang menghubungkan gedung A dan gedung
B, selalu dihias oleh Barbara dengan tema yang berbeda-beda setiap beberapa
bulan, sesuai musim. Dekorasinya lengkap, mulai dari barang pernak pernik,
bunga-bunga dan tanaman hias, taplak meja sampai kain dan tempelan ornamen di
beberapa dinding, serasi menyatu dengan suasana di luar, merepresentasikan
musim yang sedang berlaku saat itu. Lalu, aku sedikit heran, Barbara selalu
memanggil namaku setiap kali menyapa, padahal penghuni asrama ini berjumlah
ratusan orang, sedang di dalam mobil pun dia sering melambai-lambai jika
bertemu di jalan. Aku tak tahu apakah kebiasaan ini juga sering dilakukannya
pada penghuni-penghuni lainnya, yang kutahu orang Jerman kebanyakan tak seperti
itu.
Barbara
dan Klaus sangat mencintai bunga dan tanaman hias. Maka, halaman asrama kami
selalu semarak setiap menyambut musim semi, tak terkecuali tanaman hias dan
bunga-bunga dalam pot yang mereka pajang di dalam lobi asrama. Ada beberapa
pohon pisang yang mereka tanam di dalam pot besar. Meski tak pernah berbuah, pohon-pohon
pisang ini mereka rawat dengan seksama, kalau tiba musim dingin bagian pucuknya
akan dipangkas dan pohon-pohon dari negeri jauh ini akan "tidur"
panjang selama berbulan-bulan di dalam ruangan lobi. Begitu
"mulia"-nya tanaman tropis ini mereka perlakukan. Aku jadi teringat
pohon-pohon pisang yang ditanam ayahku di belakang rumah kami dulu, waktu aku
masih kecil sering kupotong-potong pelepah dan batangnya untuk kujadikan
mainan, seperti tak berharga sama sekali. Lalu, di bagian tengah ruangan lobi teronggok
1 pot besar yang ditanami pohon palem tukas, pohon palem yang biasa tumbuh di
hutan-hutan tropis. Getah buahnya bisa menimbulkan rasa gatal luar biasa. Pohon
tukas ini juga bukan termasuk kategori tanaman berharga di kampungku dulu,
kalau ayahku sedang membersihkan huma dan ladang di belakang rumah kami, pohon
ini akan ditebang begitu saja karena sering tumbuh sembarang dan mengganggu
pohon buah-buahan yang sengaja kami tanam. Begitulah nilai suatu benda, dia
akan menjadi begitu berharga dan dimuliakan ketika menjadi sesuatu yang jarang
dan berada jauh dari tanah asalnya. Aku sempat berpikir, jangan-jangan lama-kelamaan
manusia juga cenderung diperlakukan seperti itu?
Pernah
juga suatu sore sehabis hujan, aku melihat Barbara dan Klaus berjalan berdua
menyusuri halaman dan hutan-hutan kecil sekitar asrama. Aku memperhatikan mereka
dari kejauhan, dari jendela kamarku. Pada suatu sore sunyi nan sejuk di musim
semi itu mereka berbincang-bincang sambil sesekali tertawa kecil memandangi
bunga-bunga aneka warna yang berebutan menyembul-nyembul di sela-sela
rerumputan. Ah, bahagia sekali pasangan yang tak lagi muda ini, masa tua yang
mungkin menjadi impianku juga. Tiap menyambut pergantian musim, biasanya
sepucuk kartu ucapan dari Klaus dan Barbara ditemani sekotak biskuit buatan
Barbara sendiri, coklat atau setangkai bunga akan menghiasi meja ruangan
keluarga di tiap lantai. Tulisan tangannya itu cantik sekali, tulisan rangkai
bersambung seperti tulisan ibuku.
Beberapa
minggu yang lalu, masih pagi sekali aku sudah berangkat ke kampus untuk
menyiapkan eksperimen. "Morgen, Hesty." tiba-tiba Barbara menyapaku
di pintu keluar. Aku yang masih setengah mengantuk membalas spontan:
"Guten Morgen, Barbara." Rupanya Barbara menyuruhku mampir besok sore
bila aku ada waktu, aku mengiyakan permintaannya. Aku bertanya-tanya dalam
hati, ada undangan apa sebenarnya, karena terburu-buru aku tak menanyakan lagi
lebih detail.
Keesokan sorenya, aku mampir ke tempat Barbara, dia dan Klaus tinggal di lantai paling atas gedung kami, lantai 6. Rumah mereka dihiasi berbagai bunga dan tanaman hias, sederhana namun cantik dan terawat. Barbara mengajakku berbincang-bincang, dia menanyakan tentang hari-hari besar agama Islam, bagaimana tradisi perayaan, makanan khasnya dan sebagainya. Aku pun lalu bercerita panjang lebar tentang Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Lain waktu, kata Barbara jika dia berkesempatan dia ingin memberikan kenang-kenangan atau makanan kecil untuk kami demi merayakan hari-hari besar tersebut. Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Dalam hatiku, aku begitu bersyukur telah dititipkan Allah pada orang-orang baik seperti ini. Aku
merasa berada di tengah-tengah keluarga sendiri walaupun jauh dari kampung
halamanku. Maka aku benar-benar tak punya alasan lagi untuk pindah. Waktu
berlalu seperti hanya sekejap mata, tak terasa sudah hampir 3 tahun aku
menjalani hari-hari di kota kecil nan bersahaja ini. Suatu hari nanti ketika
tiba waktunya aku harus kembali ke tanah air, pasti aku akan merindukan
Barbara, Klaus dan hari-hari yang kulewati di asrama sederhana ini.
Keesokan sorenya, aku mampir ke tempat Barbara, dia dan Klaus tinggal di lantai paling atas gedung kami, lantai 6. Rumah mereka dihiasi berbagai bunga dan tanaman hias, sederhana namun cantik dan terawat. Barbara mengajakku berbincang-bincang, dia menanyakan tentang hari-hari besar agama Islam, bagaimana tradisi perayaan, makanan khasnya dan sebagainya. Aku pun lalu bercerita panjang lebar tentang Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Lain waktu, kata Barbara jika dia berkesempatan dia ingin memberikan kenang-kenangan atau makanan kecil untuk kami demi merayakan hari-hari besar tersebut. Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Dalam hatiku, aku begitu bersyukur telah dititipkan Allah pada orang-orang baik seperti ini.
Bochum,
28 April 2014