Monday, April 28, 2014

Roncallihaus

Sepuluh tahun sudah berlalu sejak pertama kali aku meninggalkan rumah dan kampung halaman. Aku hidup berpindah-pindah dari satu rumah kos ke rumah kos lainnya di Bandung dulu. Belajar hidup mandiri, jauh dari keluarga dan sanak saudara, sekaligus belajar berbagi kebersamaan dengan orang-orang dari berbagai latar belakang. Sampai saat ini pun, Sukamantri, sebuah kampung urban di Bandung yang kutinggali selama kurang lebih 7 tahun, masih menyisakan kenangan yang sulit rasanya aku lupakan. Berikut beberapa catatan kenang-kenanganku tentang Sukamantri yang sempat kutulis beberapa waktu yang lalu:


Perantauanku pun berlanjut, kali ini aku harus menembus batas negara, bangsa dan budaya. Sebelum berangkat, aku berusaha mengumpulkan berbagai informasi dari internet tentang segala hal yang berhubungan dengan Jerman pada umumnya, dan Bochum khususnya. Mencari tempat tinggal di Bochum untuk mahasiswa ternyata gampang-gampang susah. Melalui korespondensi email dengan Supervisorku sampai 2 minggu sebelum keberangkatan, aku belum kunjung mendapatkan tempat tinggal. Beliau berusaha mencari ke sana ke mari, termasuk menghubungi International Office untuk membantuku.

Singkat cerita dari beberapa orang Indonesia yang tinggal di Bochum, yang kukenal melalui Facebook, aku dihubungkan dengan sebuah asrama mahasiswa yang terletak tak jauh dari kampusku, hanya sekitar 1,5 km. Roncallihaus, begitu nama asrama tua itu, dibangun tahun 1965 bersamaan dengan dibukanya Ruhr Universität Bochum, universitas negeri pertama yang didirikan di Jerman setelah Perang Dunia II. Dari beberapa pengalaman yang kudengar dari mahasiswa Indonesia yang pernah tinggal di Roncallihaus, asrama ini tak begitu nyaman, air panasnya sering mati, pemanas ruangannya pun sering tak menyala ketika musim dingin tiba, mesin cucinya hanya ada 2, padahal kamar yang tersedia total berjumlah 160. Tapi, mendengar hal itu, nyaliku tak ciut, tak apalah bersusah-susah dulu pikirku, daripada tak mendapat tempat tinggal sama sekali dan harus menumpang di tempat orang lain. Kontrak pertama aku setujui selama 8 bulan, jika ternyata kemudian aku tak betah maka rencananya aku akan mencari tempat tinggal lain yang lebih nyaman.

Barbara, begitu nama salah seorang pegawai asrama yang bertanggung jawab mengurus administrasi sehari-hari di Roncallihaus. Berkas aplikasi sudah kukirimkan kepadanya melalui kenalanku yang juga tinggal di Roncallihaus. Tak ada satu pun foto Barbara yang dapat kutemukan di website resmi Roncallihaus. Aku hanya membayang-bayangkan saja bahwa perempuan ini berwajah seperti orang Jerman kebanyakan: dingin, kaku dan jarang tersenyum. Dari email terakhir yang kuterima, Barbara berpesan agar ketika aku sampai, aku harus menekan tombol 1 dan 6 pada sebuah telepon yang tergantung di depan pintu masuk asrama.

Michal dan Moni yang menjemputku di bandara Düsseldorf langsung mengantarku ke Roncallihaus. Asrama milik yayasan Evangelisch ini terletak di ujung sebuah jalan buntu, Laerheidestraße. Pada sore kelabu di bulan November itu, pohon-pohon hampir meranggas, daun-daun kuning kecoklatan berguguran diterbangkan angin, berserakan di pinggir-pinggir jalan. Michal membantuku membawa koper dan barang-barangku. Begitu tiba di pintu asrama, Moni langsung menekan tombol 1 dan 6 sesuai pesan Barbara. Moni berbicara dalam bahasa Jerman, lalu tak lama kemudian seorang perempuan berwajah ramah membukakan pintu, dialah Barbara. Perempuan ini kutaksir usianya sekitar 50an, berkacamata, rambutnya lurus pirang, tingginya tak seberapa, tak seperti orang Eropa kebanyakan, malah sedikit lebih pendek dariku. Aku yang masih setengah-setengah jetlag mendengarkan beberapa penjelasan singkat dari Barbara, dia memberiku 3 anak kunci dan satu berkas dokumen tipis berisi perjanjian sewa, semuanya tertulis dalam Bahasa Jerman. Aku yang ketika itu masih buta aksara sama sekali tidak mengerti apa isi surat kontrak itu. Moni lalu menjelaskan detailnya padaku dan aku pun akhirnya membubuhkan tanda tangan pada surat tersebut. Michal dan Moni menemaniku berkeliling-keliling asrama bersama Barbara. Dia mengantar kami ke beberapa ruangan utama fasilitas asrama, antara lain dapur dan ruang TV yang tersedia di setiap lantai, ruang laundry, perpustakaan, ruang pertemuan yang merangkap ruang piano, bar dan kapel kecil.

Kesan pertamaku tentang Jerman adalah dingin, iklimnya, juga orang-orangnya. Namun, orang-orang pertama yang kutemui justru sebaliknya, tak terkecuali Barbara. Perempuan ini tak berhenti tersenyum dan tertawa-tawa kecil di sela-sela pembicaraan pertamanya padaku sore itu, ramah sekali, tak ubahnya orang Indonesia. Sekarang waktunya bagiku membuktikan asumsi-asumsi lain yang tersusun di kepalaku sebelum tiba di sini. Malam pertama aku tinggal di Roncallihaus, kurasakan udara dingin menusuk luar biasa. Selimut yang disediakan tak cukup rasanya mengusir hawa dingin pada malam di akhir musim gugur itu. Aku memeriksa pemanas ruangan di bawah meja, masih menyala, tapi tak seberapa hangat, lewat pukul 11 malam, pemanas itu lalu tak menyala sama sekali.

Keesokan sorenya aku mencari Barbara di kantor asrama, aku bertanya tentang pemanas ruangan yang mungkin tidak berfungsi. Klaus, suami Barbara segera ke kamarku untuk memeriksanya. Kata Klaus, pemanasnya berfungsi baik, tapi memang tak dinyalakan full dari central controller-nya karena memang belum masuk musim dingin, dan setelah pukul 11 malam memang dimatikan dengan asumsi temperatur di dalam ruangan sudah stabil. Pemanas akan dinyalakan kembali sekitar pukul 6 pagi. Barbara yang mungkin tak tega melihatku, lalu mengajakku ke ruangan laundry, diberinya aku sebuah selimut tambahan bermotif coklat kotak-kotak, selimut wangi berbahan wol ini kelihatannya lebih hangat. "Pakailah ini." katanya sambil tersenyum. "Kalau ada apa-apa sampaikanlah pada kami, jangan sungkan-sungkan", ujar perempuan sederhana ini.

Pelajaran pertama yang kuperoleh sore itu adalah tentang standar dingin dan hangat relatif yang berlaku di sini. Udara bulan November yang terasa sangat menusuk menurut kulit Melayu-ku sebenarnya bukan apa-apa bagi orang Jerman, masih terhitung hangat bagi mereka. Mungkin dalam beberapa bulan ke depan seiring berjalannya waktu, tubuhku pun akan ikut menyesuaikan. Semuanya hanya tentang waktu dan serba relatif. Pelajaran kedua, Barbara dan Klaus-lah yang sesungguhnya secara tak langsung akan menjadi "orangtua angkatku" selama aku tinggal di sini. Masalah apapun yang aku rasakan di asrama, pengaduan akan tertuju pada mereka. Maka, aku pun harus pandai-pandai memperlakukan mereka dengan baik. Aku tak ingin berasumsi negatif tentang orang lain, apalagi yang baru kukenal. Rule yang ada dalam pikiranku bahwa hubungan manusia itu timbal balik, orang akan berlaku baik pada kita sebagaimana kita berlaku baik pada mereka, begitu pun sebaliknya.

Hari demi hari kulalui, tak terasa bulan demi bulan berganti. Aku mengenal banyak orang dari berbagai bangsa yang berbagi lantai denganku. Dapur sekaligus ruang TV di lantai kami, menjadi tempat utama kami berinteraksi sehari-hari. Tetanggaku datang dan pergi silih berganti. 8 bulan pun lewat, batas kontrak pertama yang kusepakati telah habis. Aku menemui Barbara pada suatu pagi, menyampaikan maksudku untuk meneruskan kontrakku di Roncallihaus. Tak ada alasan bagiku untuk pindah, sejauh ini tak ada masalah berarti yang kutemui di asrama ini. Kalau pun ada, hanya masalah-masalah sepele yang bisa diselesaikan dalam satu hari dengan melaporkannya langsung pada Barbara atau Klaus. Aku pun belajar berbagi dan bertoleransi dengan kawan-kawanku yang berasal dari berbagai negara, budaya dan latar belakang yang sangat beragam.

Suami istri ini bekerja bahu membahu mengurus asrama kami. Jika Barbara bertanggung jawab mengurus administrasi sehari-hari, maka Klaus bertugas mengurus segala urusan teknis dan pertukangan di asrama yang terbagi menjadi 2 gedung utama ini, gedung A dan gedung B. Sehari-hari dia dibantu oleh seorang tukang. Mereka mengerjakan sendiri instalasi dan perawatan alat-alat listrik, pertukangan, bengkel sampai mengurus keran yang bocor. Asrama ini memang sudah tua, tapi sering kuperhatikan setiap detail fasilitasnya, untuk ukuran barang-barang tua, keadaannya relatif terawat. Untuk perawatan kebersihan, biasanya beberapa pekerja paruh waktu datang setiap pagi untuk membersihkan dapur dan kamar mandi di tiap lantai. Setiap lantai kebagian giliran 2 kali dalam seminggu, lantai kami setiap Senin dan Kamis.

Ada kebiasaan unik yang sering kuperhatikan di Roncallihaus ini. Lobi utama di lantai satu, ruangan terbuka berjendela yang menghubungkan gedung A dan gedung B, selalu dihias oleh Barbara dengan tema yang berbeda-beda setiap beberapa bulan, sesuai musim. Dekorasinya lengkap, mulai dari barang pernak pernik, bunga-bunga dan tanaman hias, taplak meja sampai kain dan tempelan ornamen di beberapa dinding, serasi menyatu dengan suasana di luar, merepresentasikan musim yang sedang berlaku saat itu. Lalu, aku sedikit heran, Barbara selalu memanggil namaku setiap kali menyapa, padahal penghuni asrama ini berjumlah ratusan orang, sedang di dalam mobil pun dia sering melambai-lambai jika bertemu di jalan. Aku tak tahu apakah kebiasaan ini juga sering dilakukannya pada penghuni-penghuni lainnya, yang kutahu orang Jerman kebanyakan tak seperti itu.


Barbara dan Klaus sangat mencintai bunga dan tanaman hias. Maka, halaman asrama kami selalu semarak setiap menyambut musim semi, tak terkecuali tanaman hias dan bunga-bunga dalam pot yang mereka pajang di dalam lobi asrama. Ada beberapa pohon pisang yang mereka tanam di dalam pot besar. Meski tak pernah berbuah, pohon-pohon pisang ini mereka rawat dengan seksama, kalau tiba musim dingin bagian pucuknya akan dipangkas dan pohon-pohon dari negeri jauh ini akan "tidur" panjang selama berbulan-bulan di dalam ruangan lobi. Begitu "mulia"-nya tanaman tropis ini mereka perlakukan. Aku jadi teringat pohon-pohon pisang yang ditanam ayahku di belakang rumah kami dulu, waktu aku masih kecil sering kupotong-potong pelepah dan batangnya untuk kujadikan mainan, seperti tak berharga sama sekali. Lalu, di bagian tengah ruangan lobi teronggok 1 pot besar yang ditanami pohon palem tukas, pohon palem yang biasa tumbuh di hutan-hutan tropis. Getah buahnya bisa menimbulkan rasa gatal luar biasa. Pohon tukas ini juga bukan termasuk kategori tanaman berharga di kampungku dulu, kalau ayahku sedang membersihkan huma dan ladang di belakang rumah kami, pohon ini akan ditebang begitu saja karena sering tumbuh sembarang dan mengganggu pohon buah-buahan yang sengaja kami tanam. Begitulah nilai suatu benda, dia akan menjadi begitu berharga dan dimuliakan ketika menjadi sesuatu yang jarang dan berada jauh dari tanah asalnya. Aku sempat berpikir, jangan-jangan lama-kelamaan manusia juga cenderung diperlakukan seperti itu?

Pernah juga suatu sore sehabis hujan, aku melihat Barbara dan Klaus berjalan berdua menyusuri halaman dan hutan-hutan kecil sekitar asrama. Aku memperhatikan mereka dari kejauhan, dari jendela kamarku. Pada suatu sore sunyi nan sejuk di musim semi itu mereka berbincang-bincang sambil sesekali tertawa kecil memandangi bunga-bunga aneka warna yang berebutan menyembul-nyembul di sela-sela rerumputan. Ah, bahagia sekali pasangan yang tak lagi muda ini, masa tua yang mungkin menjadi impianku juga. Tiap menyambut pergantian musim, biasanya sepucuk kartu ucapan dari Klaus dan Barbara ditemani sekotak biskuit buatan Barbara sendiri, coklat atau setangkai bunga akan menghiasi meja ruangan keluarga di tiap lantai. Tulisan tangannya itu cantik sekali, tulisan rangkai bersambung seperti tulisan ibuku.

Beberapa minggu yang lalu, masih pagi sekali aku sudah berangkat ke kampus untuk menyiapkan eksperimen. "Morgen, Hesty." tiba-tiba Barbara menyapaku di pintu keluar. Aku yang masih setengah mengantuk membalas spontan: "Guten Morgen, Barbara." Rupanya Barbara menyuruhku mampir besok sore bila aku ada waktu, aku mengiyakan permintaannya. Aku bertanya-tanya dalam hati, ada undangan apa sebenarnya, karena terburu-buru aku tak menanyakan lagi lebih detail. 

Keesokan sorenya, aku mampir ke tempat Barbara, dia dan Klaus tinggal di lantai paling atas gedung kami, lantai 6. Rumah mereka dihiasi berbagai bunga dan tanaman hias, sederhana namun cantik dan terawat. Barbara mengajakku berbincang-bincang, dia menanyakan tentang hari-hari besar agama Islam, bagaimana tradisi perayaan, makanan khasnya dan sebagainya. Aku pun lalu bercerita panjang lebar tentang Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Lain waktu, kata Barbara jika dia berkesempatan dia ingin memberikan kenang-kenangan atau makanan kecil untuk kami demi merayakan hari-hari besar tersebut. Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Dalam hatiku, aku begitu bersyukur telah dititipkan Allah pada orang-orang baik seperti ini. Aku merasa berada di tengah-tengah keluarga sendiri walaupun jauh dari kampung halamanku. Maka aku benar-benar tak punya alasan lagi untuk pindah. Waktu berlalu seperti hanya sekejap mata, tak terasa sudah hampir 3 tahun aku menjalani hari-hari di kota kecil nan bersahaja ini. Suatu hari nanti ketika tiba waktunya aku harus kembali ke tanah air, pasti aku akan merindukan Barbara, Klaus dan hari-hari yang kulewati di asrama sederhana ini.

Bochum, 28 April 2014