Aku masih ingat, sore itu di beranda lantai 2 gedung Labtek VI, aku
dan Mira duduk berdua, memandang hujan. Beranda sudah sepi, tak terdengar lagi
hiruk pikuk mahasiswa yang mengurus ini itu di kantor tata usaha, hanya suara
hujan yang menemani kami di sore bulan Juli itu. Tak terasa 4 tahun sudah aku
mengenal gadis hitam manis ini, namun kami baru benar-benar akrab tak lebih
dari 1 tahun belakangan ini, ketika nasib mempertemukan kami di lab yang sama,
Lab Instrumentasi Medik. Pun belum genap sebulan kami diwisuda, masih hijau,
fresh graduate kalau istilah orang-orang zaman sekarang.
Beberapa bulan sebelumnya, langkahku maju mundur tak karuan. Aku
bingung hendak kemana. Pun sore itu, belum juga bulat keputusanku. Tiba-tiba,
Mira memecah bisu, dia bercerita tentang salah satu mimpinya, yang sekaligus
pula mimpi Ibundanya. Aku tahu, Mira juga sebenarnya masih diliputi ragu.
Namun, mimpinya itu seketika menyihirku, derai-derai hujan seperti dibekukan
udara, menjelma menjadi bilah-bilah bening menghujam mataku, menuding aku yang
masih ragu.
Sore sunyi di bulan Juli itu tak mungkin aku lupakan, sore itu adalah salah
satu titik balik yang mengantarkanku menjadi aku hari ini. Konsekuensi mimpi
dan keputusanku (sekaligus kami: aku, Mira dan Vebi) tentunya bukan hal mudah.
Ini pula berarti kami harus mengikatkan diri pada komitmen bertahun-tahun ke
depan, bergelut dengan buku-buku, dan entah berapa eksperimen lagi yang seperti
tak habis-habisnya menunggu kami. Betapa pun sulitnya, kami akan sekolah lagi!
Setahun berselang, aku dan Mira punya panggilan baru. Aku menjadi
Makcik dan Mira menjadi Tante, karena Vebi sahabat kami telah menjadi Uma'
(Ibu, bahasa Melayu Belitong, red.) dari seorang anak laki-laki yang lucu,
Richie namanya. Lalu orang-orang sekitar kami pun serta merta memanggil kami
dengan panggilan baru ini, pun hingga hari ini.
Singkat cerita, kami pun diwisuda lagi. Kali ini aku tertidur di
gedung Sabuga, bosan mendengarkan ceramah ilmiah yang entah disampaikan oleh
siapa saja, Tante entah masih khusyuk mengikuti prosesi wisuda atau ikut
tertidur, aku tak ingat lagi. Lalu hidup kami kembali lagi seperti 2 tahun
sebelumnya, fresh graduate yang pun belum kunjung punya pekerjaan tetap. Tante memang tak pernah ambil pusing
soal rencana hidup. Slogan favoritnya: "bebas aja". Maka, dari
perempuan penyayang ini aku belajar agar tak terlalu "ngoyo"
menjalani hidup, tapi bukan pula berarti kami tak bekerja keras. Cukuplah Allah
dan orang-orang terdekat saja yang mengetahui bagaimana kami bersusah payah. Kami
lebih terlihat seperti sekumpulan anak muda santai yang gemar "mentertawakan"
hidup.
Nasib mengantarkan Tante lebih dahulu ke Eropa, tanah yang memeluk
mimpi-mimpi kami. Uma' juga
sudah 1 semester memulai program Doktoralnya di tanah air. Tinggallah
aku yang masih tak jelas rimba nasibnya. Enam bulan aku seperti "orang
gila" melamar sekolah ke sana ke mari. Aku pun sudah tak mempan lagi
dihujam penolakan bertubi-tubi, 25 aplikasi ditolak setelah mengikuti
serangkaian proses seleksi yang terkadang sudah hampir di ujung harapan menang,
7 aplikasi tak jelas kabarnya. Suatu malam, Tante menanyakan bagaimana kabar
aplikasi-aplikasiku, pertanyaan yang sama selama beberapa bulan terakhir ini,
namun kali ini Tante merasa sedikit khawatir. Tenanglah Kawan, sihirmu sore itu
belum hilang bekasnya, masih tak mempan dihujani kegagalan-kegagalan yang belum
berbuah ini. Akhirnya, dari 33 aplikasi yang kukirim, aplikasi ke 26 lah yang menjadi awal perjalanan panjang kami
berikutnya. Aku akan menyusul Tante ke Eropa.
Aku pun merantau lagi, lebih jauh lagi. Malam itu, 2 Desember 2011,
belum genap satu bulan aku di Bochum, Tante dan Yoga datang mengunjungiku. Ah
senang rasanya, bertemu saudara sendiri ketika betah belum kunjung mengakrabi
hari-hari. Dua tahun belakangan ini, kami sering sekali bertemu, karena
kebetulan jarak kota tempat tinggal kami tak terlalu jauh walaupun sudah berbeda
negara, hanya kurang lebih 3 jam perjalanan kereta. Nijmegen pun sudah seperti
kota keduaku. Aku mengenal Nijmegen sama seperti aku mengenal Bochum, dan aku
pun mencintai keduanya. Dulu sekali aku pernah bermimpi, aku dan Tante sekolah ke
Eropa dan kami saling mengunjungi, ternyata hari-hari belakangan ini mimpi itu
menjadi kenyataan. Berikut potongan catatan kenang-kenanganku tentang kota Nijmegen.
Nijmegen, ke tujuh kalinya
Kalaulah
ada gubahan lagu tentang kenangan akan sebuah kota, tentu banyak orang yang
akan mengingat Yogyakarta. Aku pun menyimpan kenangan manis tentang
persahabatanku di sana. Lalu, siapa gerangan penyair yang sudi kiranya
menggubah lagu serupa untuk kota Nijmegen? Kota kecil nan cantik di tepi Sungai
Rijn, yang riak-riaknya mengalir syahdu, mengirimkan limpahan berkah tak
putus-putus dari negeri tetangga, Jerman dan Swiss. Nimwegen, begitu lafal
Jerman menyebutnya, kota yang akan aku kenang seumur hidupku, tempat salah
seorang sahabatku berjuang dalam 3 tahun terakhir ini.
Di
masa depan, aku akan mengingat setiap sudutnya yang akan menyimpan dengan indah
helai-helai kenangan persahabatan kami di negeri orang. Kerlip selasar stasiun,
jari-jari sepeda yang kami kendarai mengelilingi sudut kota, derum bus Breng
bercorak merah muda, serta merdu lidah Belanda ketika melafalkan
"Nai-me-hen". Gelung-gelung logam abstrak di pusat kota, pernah aku
bergelantungan di sana pada suatu siang nan cerah di musim semi, lalu kuingat
wajah ramah oma-oma Belanda. Demikianlah serpih-serpih kenangan yang akan
kususun mozaiknya nanti pada suatu masa ketika kami tak lagi muda. Seperti
kerlip lampu yang menari dalam temaram senja, senyum kota Nijmegen seperti tak
akan sirna.
Stasiun Nijmegen Centraal menjelang
senja, musim gugur 8 Oktober 2013.
***
Hampir selalu, aku dan Tante menghabiskan liburan bersama. Berbekal
nekat, kami menjelajahi Eropa selama berhari-hari ketika musim liburan tiba.
Mungkin semacam "hadiah" dari kami dan untuk kami sendiri. Tentu tak
sedikit pengalaman pahit yang kami alami selama perjalanan, kami pernah
tersesat, sakit, kelelahan, lapar. Tapi, tak sedikit pula pengalaman berharga
yang akan kami kenang seumur hidup. Kata orang, bepergianlah, maka engkau akan
mengenal sahabat seperjalananmu, karena banyak hal yang akan teruji di sana. Tante
adalah sahabat seperjalananku, maka kami tak pernah sekali pun saling
menyalahkan jika menghadapi kesulitan, paling hanya tertawa sambil kebingungan
menemukan jalan keluar.
Obrolan kami jarang serius. Aku tahu kalau Tante sedang banyak
pikiran, dia akan lebih banyak diam, dan aku juga sudah tahu bagaimana
menghadapinya, diamkan saja, paling keesokan harinya dia sudah kembali
"gila", itu berarti dia sudah normal kembali. Namun beberapa kali tak
jarang pula kami terlibat obrolan serius, tak tanggung-tanggung sampai
menjelang dini hari kami membahas masa depan bangsa! Hahaha, siapa kami ini,
sekolah pun belum selesai sudah berani-beraninya. Tante pun tahu bagaimana
menghadapi aku yang sedang banyak pikiran. Dia akan menyogokku dengan segala
hal yang berbau kucing juga makanan-makanan enak yang dimasaknya sendiri.
Waktu berputar cepat sekali, tahu-tahu sudah seminggu, sebulan,
setahun, dan sekarang sudah lewat 2 tahun. Tante sudah harus pulang ke tanah
air, lebih dahulu. Perjuangannya memang belum genap, insyaAllah tahun ini dia
akan menjadi Doktor, jebolan Radboud Universiteit Nijmegen, Belanda. Mungkin
pergantian musim-musim di sepanjang perjalananku pulang pergi Bochum-Nijmegen
tak akan terlalu sering lagi aku saksikan. Biarlah dia menetap dalam sanubariku
sebagai serpih-serpih kenangan yang akan kami susun mozaiknya nanti pada suatu
masa ketika kami tak lagi muda.
Ah, Tante, satu buku pun sebenarnya tak akan habis untuk menceritakan
kebanggaanku padamu. Sesungguhnya aku tak pernah menyesal Allah pernah mempertemukan kita. Cepatlah
pulang ke tanah air, raih mimpi-mimpimu yang lain. Jangan pernah
berhenti untuk menjadi kebanggaan kami: keluarga dan sahabat-sahabatmu. Aku masih
harus menuntaskan mimpi Eropa ini, untuk merajut mimpi-mimpi selanjutnya. Jika
tiba waktunya nanti, kita akan berjumpa lagi, insyaAllah. Semoga persahabatan
ini membawa kebaikan tak hanya di dunia, namun semoga Allah mengumpulkan kita di
akhiratNya kelak dalam keadaan yang jauh lebih baik. Salamku untuk setiap
jengkal tanah air, yang mengalirkan hidup pada kita, anak bangsa yang pernah
berjuang bersama.
Bochum, 13 Maret 2014