Sebuah pertemuan kadang terjadi begitu saja, tanpa rencana. Ada
orang-orang yang seperti tiba-tiba saja hadir dalam kehidupan kita, lalu
menjadi layaknya saudara. Di negeri ini, aku bertemu berupa-rupa manusia,
mewakili kebudayaan-kebudayaan dunia yang dulu hanya bisa kukhayalkan saja dari
buku-buku yang pernah kubaca.
Pada suatu pagi nan sejuk, permulaan musim semi 2 tahun yang lalu, aku
berangkat ke kampus seperti biasa, tak ada sesuatu yang istimewa. U-Bahn yang
kutumpangi penuh sesak oleh penumpang yang rata-rata mahasiswa. Aku berangkat dari
Markstraße, halte terdekat dari asrama. U-Bahn U35 jurusan Hustadt ini kemudian
akan berhenti di halte Ruhr Universität, lalu tumpah ruah mahasiswa akan turun
di halte utama ini. Gedung tempat aku beraktivitas sehari-hari terletak paling
timur, maka biasanya aku memilih turun di halte berikutnya, Lennershof. Sejak
tadi aku melihat dari kejauhan seorang perempuan berhijab berwajah Eropa, dia
tersenyum ramah ke arahku sambil mengucapkan salam. Salamnya itu tak terdengar,
aku hanya bisa membaca dari gerak bibirnya. Kami turun di halte yang sama, aku
mempercepat langkahku karena dia memberi isyarat seperti menungguku dengan
memperlambat langkahnya. Sekali lagi dia memberi salam, menjabat tangan dan
menempelkan pipi kiri dan kanannya padaku, seperti kebiasaan muslimah di tanah
air. Sambil tersenyum dia memperkenalkan diri padaku: "Ich bin Ayse. Wie
heißt du?" Lalu aku pun memperkenalkan diri dalam Bahasa Jerman yang masih
terbata-bata. Pertemuan singkat itu lalu mengawali persahabatanku dengan Ayse,
perempuan Turki pertama yang kukenal di negeri ini.
Beberapa hari kemudian, Ayse menghubungiku lewat email, kami akhirnya
berjanji untuk bertemu sambil makan siang bersama di kantin Fakultas kami, ID
Cafetaria. Perempuan muda ini berbicara dalam Bahasa Jerman hampir-hampir seperti
penutur aslinya. Dia bekerja
sebagai staf peneliti di bidang Information
Security di Fakultas kami. Ayse menyelesaikan pendidikan Dipl.-Ing.
(setara Master) beberapa tahun yang lalu, dia adalah salah satu generasi
terakhir yang mengenyam degree khas
Jerman ini, sebuah gelar yang bisa
dibilang prestisius, apalagi berhasil diraih tepat waktu oleh orang asing.
Dengan latar belakang luar biasa seperti ini, Ayse berpenampilan sederhana,
tutur katanya lembut dan tak sedikit pun menunjukkan kesombongan. Ayse hanya
sedikit berbicara dalam Bahasa Inggris, jadilah percakapan kami terdengar lucu,
tapi halangan ini tak sedikit pun mengurangi hangatnya persahabatan kami.
Bulan demi bulan berlalu, kami hampir selalu menyempatkan untuk makan
siang bersama, setidaknya satu atau dua kali dalam sebulan. Pada suatu siang di
musim panas, Ayse memperkenalkan sahabat baru padaku, Abeer namanya, seorang
muslimah asal Sudan yang sedang menempuh pendidikan doktoral di research group yang sama dengan Ayse. Abeer
merantau ke Jerman bersama suami dan dua anaknya yang masih balita. Suaminya
baru saja menyelesaikan pendidikan doktoral di bidang yang sama, lalu sekarang
bekerja di salah satu perusahaan di Ruhr area.
Abeer pun tak kalah ramah dibanding Ayse, dia berbicara dalam 3 bahasa:
Inggris, Jerman dan Arab. Aku belajar banyak dari Ibu muda ini, dia harus melakoni
3 perannya sekaligus: sebagai Doktorandin,
ibu dan istri. Sejak pagi dia sudah harus mengantarkan anak-anaknya ke
pusat penitipan anak yang tak jauh dari kampus kami, lalu bergegas melanjutkan aktivitasnya
sebagai mahasiswa doktoral. Peran yang aku tahu tak mudah untuk dijalani,
apalagi di tanah rantau ketika jauh dari keluarga besar. Maka aku sering merasa
malu pada diriku sendiri ketika ada saat-saatnya aku mendapati diriku
kehilangan semangat, padahal aku hanya melakoni salah satu peran yang dijalani
Abeer. Aku seharusnya banyak-banyak bersyukur dengan belajar lebih giat lagi.
Lalu pada suatu sore di awal musim dingin 2012, Ayse mengundang kami ke
rumahnya. Aku dan Abeer datang menjelang waktu Ashar. Ayse telah mempersiapkan
berupa-rupa makanan khas Turki yang dimasaknya sendiri. Sambil menunggu menu
terakhir siap, Ayse bercerita tentang makanan-makanan yang telah tersedia di
atas meja. Ada roti bulat bertekstur lembut, sayuran fermentasi yang ditumis
dengan bumbu-bumbu khas Turki, daging cincang yang diolah menjadi semacam
perkedel, lalu tersedia pula semacam lumpia berisi keju, kata Ayse namanya kalem böreği. Roti tadi
dimakan dengan 2 macam selai asin yang aku tak bisa menceritakan bagaimana
rasanya, yang pasti cita rasa seperti itu baru pertama kali kurasakan seumur
hidupku. Sumber karbohidrat pokok pada
jamuan sore itu selain roti adalah kentang oven yang dibumbui ringan oleh Ayse,
garam dan merica. Tak seperti masakan Eropa yang tak pernah cocok di lidahku bahkan
hingga hari ini, makanan-makanan Turki yang disediakan Ayse terbilang cocok di
lidahku. Lalu pertemuan kami sore itu ditutup dengan segelas teh hangat Turki
yang disediakan Ayse dalam gelas cantik dari kampung halamannya, Istanbul.
Selain Ayse dan Abeer, aku
dipertemukan pula dengan seorang saudara muslimah dari Libya, Areeg namanya.
Perempuan muda ini baru saja menyelesaikan pendidikan masternya di bidang Computational Engineering. Aku mengenal
Areeg di kelas Bahasa Jerman tingkat 2 yang kumulai pada pertengahan musim
panas tahun 2012. Sesekali, Areeg juga ikut makan siang bersama kami (Aku,
Ayse dan Abeer). Aku senang mendengarkan Abeer dan Areeg sesekali berbincang
dalam bahasa ibu mereka, lalu aku dan Ayse hanya tersenyum-senyum saja. Nama
mereka (Abeer dan Areeg) memiliki makna yang hampir sama dalam Bahasa Arab, artinya
harum atau aroma yang wangi. Areeg ketika itu baru saja akan memulai pendidikan
doktoralnya, namun dia sedikit terkendala dengan keberlangsungan beasiswanya. Kalian
tentu masih ingat, Kawan, bagaimana tragedi yang terjadi di negeri asal Muammar
Gaddafi itu, dalam kurun waktu antara 2011 hingga 2012 yang lalu. Sejak menempuh pendidikan masternya, Areeg memperoleh
beasiswa dari negaranya, tragedi itu sedikit banyak telah mempengaruhi
keberlangsungan beasiswanya. Maka sejak awal tahun 2013, Areeg harus pulang
kembali ke Libya, pendidikan doktoralnya terhenti di tengah jalan. Pada
pertemuan terakhirku dengannya, dia bercerita padaku bahwa dia masih berharap
bisa kembali melanjutkan pendidikannya di Jerman.
Lalu hadir pula sosok perempuan luar
biasa di tengah-tengah persahabatan kami, perempuan paling muda yang mula-mula
bersahabat dengan Areeg. Dialah Saskia, perempuan Jerman yang dikenalkan Areeg
padaku pada suatu sore berinai hujan. Saskia sedang menempuh pendidikan di
bidang Orientalisme, dia seorang vegetarian sejak masih duduk di bangku sekolah
menengah. Perempuan muda ini fasih berbicara dalam berbagai bahasa: Jerman,
Inggris, Perancis, Arab, Turki dan Persia, lalu ketika itu dia sedang belajar
bahasa Urdu. Bidang lingustik menyebut orang yang berkemampuan seperti Saskia
ini dalam istilah polyglot. Dari
cerita Areeg padaku, kuketahui bahwa sudah sejak lama Saskia mempelajari Al
Qur'an dan mulai tertarik dengan Islam. Keluarga besarnya tinggal di Frankfurt,
ibunya berkarir dan menetap di Ankara, Turki sejak beberapa tahun yang lalu. Jika
kami makan siang bersama, Saskia akan berbincang dalam Bahasa Inggris dan
Jerman padaku, lalu dalam Bahasa Turki pada Ayse, dan dalam Bahasa Arab pada
Abeer dan Areeg, sungguh luar biasa. Pernah juga suatu hari aku bertemu
dengannya di kereta, ketika itu aku sedang bepergian bersama kawanku, orang
Indonesia yang sedang menempuh studi di Perancis, Saskia pun spontan
mengajaknya berbincang dalam Bahasa Perancis. Saskia ini seorang pribadi yang
menarik, dari perbincangannya pada kami, aku bisa menangkap bahwa dia seorang
pembelajar yang ulung, pemikiran-pemikirannya jauh melampaui perempuan
seusianya. Dia polyglot pertama yang
kukenal seumur hidupku.
Setahun berlalu, Areeg kembali ke Bochum
dan berhasil melanjutkan pendidikan doktoralnya yang sempat terhenti tahun
lalu. Abeer masih sama sepertiku, masih berjuang menyelesaikan penelitian
doktoral kami, menjalani hari-hari berkutat dengan buku-buku, dan eksperimen
yang belum berhenti. Ayse memutuskan untuk menyudahi karirnya di research group yang dulu, lalu sekarang dia
melamar pekerjaan ke sana ke mari, baik di Jerman maupun di tanah airnya. Saskia
baru saja menyelesaikan internship-nya
pada musim panas yang lalu di kantor DW (Deutsche
Welle) yang bermarkas di Bonn. Sudah hampir setahun kami belum pernah
berkumpul lagi. Aku merindukan cerita-cerita Abeer tentang anak-anaknya, lalu
panggilan Ayse padaku "Meine liebe
Schwester", cerita-cerita Areeg tentang tanah airnya dan perjuangan
ayahnya bersama kawan-kawannya dulu di Libya, serta pemikiran-pemikiran
gemilang Saskia. Kami dilahirkan di negeri yang berbeda-beda, terpisah dalam 3
benua; Asia, Afrika dan Eropa, lalu kota kecil nan bersahaja ini telah menyatukan kami, berjuang
bersama mewujudkan cita-cita.
Bochum, 12 Mei 2014