sebuah identitas budaya masyarakat pesisir Belitong
Foto essay oleh: Ponda Sujadi
170an mil di selatan lingkar
khatulistiwa, dimana matahari menepati janjinya mengukir senja yang sama sejak
bumi ini ada. Di sana, di perairan Nusantara, tersebutlah sebuah pulau tropis
yang dianugerahi keindahan pantai-pantai berpasir putih dan hasil laut berlimpah.
Belitong, demikian masyarakat lokal menyebut kampung halaman mereka.
Pukul setengah enam sore, langit
sebelah barat merona jingga, matahari beranjak pulang. Senja adalah pertanda
alam menutup hari, ketika sebagian besar orang mengakhiri aktivitas utama mereka
sejak pagi. Namun, bagi para nelayan pesisir, saat senja merekah adalah saat
bagi mereka membuka hari, menjemput rezeki di tengah samudera.
Perahu-perahu dikayuh menuju lautan luas. Mesin-mesin dinyalakan,
meraung-raung menantang gelombang. Saat angin sedang bagus, para nelayan ini
akan menghabiskan sepanjang malam di atas perahu, menyusuri mil demi mil perairan
Belitong demi mengumpulkan hasil laut sumber nafkah utama bagi mereka.
Menjelang pagi, perahu-perahu nelayan merapat ke dermaga. Para “perae“
telah menunggu untuk membeli hasil tangkapan para nelayan. Ada pula yang memilih
menjual langsung ke pelelangan atau perusahaan perdagangan yang akan mengemas
ikan-ikan segar ini dalam kemasan beku untuk dikirim ke Pulau Jawa atau
diekspor ke luar negeri. Sebagian lagi mengolah hasil tangkapan mereka menjadi
ikan asin untuk konsumsi pasar lokal maupun luar daerah.
Turun-temurun nelayan tradisional
pesisir Pulau Belitong, baik suku Sawang, Melayu maupun Bugis, menjelajah
samudera berbekal perahu “kater“, perahu motor maupun bagan. Laut bagi mereka
ibarat ladang bagi petani, yang menjadi tumpuan hidup bukan hanya untuk saat
ini, namun juga bagi generasi-generasi selanjutnya.
Rangkaian rantai ekonomi yang
saling berkaitan ini telah membentuk suatu identitas budaya. Kehidupan
masyarakat pesisir Pulau Belitong sangat bergantung pada laut. Laut adalah
hidup, kebanggaan dan harga diri mereka. Identitas budaya ini memiliki keunikan berpadu dengan potensi keindahan
pantai. Sebuah potensi pariwisata yang sangat menjanjikan jika dikelola dengan
bijaksana, tentu saja dengan tetap memperhatikan aspek-aspek kelestarian
lingkungan dan budaya lokal. Kearifan memanfaatkan alam menjadi tantangan bagi
generasi Belitong saat ini.
Di saat potensi pariwisata Belitong didengung-dengungkan di berbagai media
lokal, nasional bahkan internasional, sekonyong-konyong rencana beroperasinya
kapal hisap di perairan Belitong datang bak petir di siang bolong. Bagi
masyarakat Belitong, ini adalah masalah pilihan hidup. Memilih untuk diam dan membiarkan
laut mereka rusak atau memilih menjadi arif mempertahankan kelestarian alam
yang sudah diwariskan kepada mereka. Pengoperasian kapal hisap ini tentunya
hanya akan mendatangkan keuntungan sesaat, itu pun tentu saja keuntungan bagi
segelintir orang terutama para pengusaha dan pemerintah yang kongkalikong
menjual kampungnya sendiri.
Kerusakan laut akibat beroperasinya kapal hisap bukan hanya isapan jempol. Peneliti
dari Universitas Bangka Belitung melaporkan, dari penelitian pada 30 titik
wilayah perairan Pulau Bangka dan Belitung sejak 2007-2010, sekitar 50 persen
terumbu karang mengalami kerusakan akibat tertutup lumpur sebagai dampak
beroperasinya kapal hisap dan TI apung (tambang inkonvensional) serta
diperparah oleh aktivitas pengeboman ikan [*]. Ribuan nelayan
menjerit mengeluhkan hasil tangkapan mereka yang kian menurun dari hari ke
hari.
Kalau kerusakan laut sudah nyata-nyata di depan mata, jangan berbicara lagi
tentang pariwisata. Identitas budaya tadi secara perlahan akan hilang. Pemeran-pemeran
hidup dalam foto-foto ini hanya akan menjadi kenangan masa lalu yang hilang dilupakan
zaman. Pada akhirnya Pulau Belitong tinggal menunggu hari menuju kehancuran.
Lalu pertanyaan terbesar yang harus kita jawab adalah: “Apa yang tersisa untuk
anak cucu kita?“
Bochum, 10 November 2012
[*] ANTARANEWS.com, 24 Oktober 2010 (http://www.antaranews.com/berita/1287920964/50-persen-terumbu-karang-babel-rusak)
Seorang anak nelayan Tanjung Kubu sedang bersiap-siap melaut pada suatu sore |
Nelayan
tradisional Tanjung Kubu berangkat melaut menggunakan perahu “kater“
|
Perahu-perahu nelayan di perairan Tanjung Kubu |
Para nelayan Tanjung Batu sedang
membangun jembatan untuk memancing
|
Nelayan-nelayan Tanjung Batu pulang memancing |
Seorang
pedagang pengumpul (atau “perae“ dalam bahasa lokal) sedang menuju dermaga
menunggu hasil tangkapan para nelayan
|
Proses
pensortiran ikan di salah satu perusahaan pengekspor di Tanjungpandan
|