Wednesday, May 28, 2008

Pelajaran Moral versi Laskar Pelangi

Ini adalah salah satu sisi paling lucu, absurd dan menarik menurut saya dari karya Andrea Hirata yang berisi pelajaran moral dan ungkapan-ungkapan yang mengandung sindiran. Selain teori gila menurut ibunya yang ada 44 macam itu tentu saja.

Berikut petikannya :
Pelajaran moral nomor satu : Jika tak rajin sholat maka pandai-pandailah berenang. 
Pelajaran moral nomor dua : Jangan tanyakan nama dan alamat pada orang yang tinggal di kebun. 
Pelajaran moral nomor tiga : Jika Anda cantik, hidup Anda tak tenang. 
Pelajaran moral nomor empat : Ternyata nasib yang juga sangat misterius itu adalah seorang pemandu bakat ! 
Pelajaran moral nomor lima : Jangan bersahabat dengan orang yang gila perdukunan. 
Pelajaran moral nomor enam : Jika Anda memiliki kesempatan untuk mendapatkan cinta pertama di sebuah toko kelontong, meskipun toko itu bobrok dan bau tengik, maka rebutlah cepat-cepat kesempatan itu, karena cinta pertama semacam itu bisa menjadi demikian indah tak terperikan ! 
Pelajaran moral nomor tujuh : Ternyata rahasia menarik perhatian seorang gadis adalah kita harus menjadi pelari yang gesit. 
Pelajaran moral nomor delapan : Jika Anda seorang produser film dan ingin untung besar, maka pakailah seorang sutradara yang otaknya bebal. 
Pelajaran moral nomor sembilan : Jika Anda sering ditanggap untuk berbicara di depan umum dan kerap tulalit karena kehabisan topik, maka belajarlah dulu jadi tukang gosip. 
Pelajaran moral nomor sepuluh : Jangan sekali-sekali datang ke Eropa pada bulan Desember. 
Pelajaran moral nomor sebelas : Untuk mendapatkan wanita cantik, tapi bodoh, rupanya Anda hanya perlu menjadi seorang provokator. 
Pelajaran moral nomor dua belas : Ke mana pun tempat telah kutempuh, apa pun yang telah kucapai, dan dengan siapa pun aku berhubungan, aku tetaplah seorang lelaki udik, tak dapat kubasuh-basuh. 
Pelajaran moral nomor tiga belas : Tukang jam, tukang reparasi televisi, tukang dadu cangkir dan penerbit buku adalah profesi-profesi yang patut dicurigai, dimana pun mereka berada. Jangan bicarakan keadaan negeri kita dengan seorang ekonom klasik. Pesimis ! 
Pelajaran moral nomor empat belas : Tertawalah, seisi dunia akan tertawa bersamamu; jangan bersedih karena engkau hanya akan bersedih sendiri.

Friday, May 02, 2008

Kehidupan Sosial Masyarakat dan Kerusakan Lingkungan berkaitan dengan Pertambangan Timah

Sejak pengelolaan timah dipegang penuh oleh PT. Timah, kehidupan sosial masyarakat mulai berubah. Sebagian besar pribumi menempati posisi pekerjaan rendahan di perusahaan ini. Sedangkan posisi-posisi strategisnya sebagian besar dipegang oleh orang luar daerah. Selama puluhan tahun terjadi kesenjangan sosial antara penduduk setempat dan pegawai-pegawai staf PT. Timah. Fasilitas yang disediakan oleh perusahaan untuk para pegawai staf sangat mewah, mulai dari fasilitas kesehatan, hiburan, olahraga, pendidikan dan lain-lain. Sedangkan masyarakat sekitar dan para pegawai rendahan hanya mendapatkan fasilitas yang tidak sebanding. Kesenjangan puluhan tahun ini lama-kelamaan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.

Puncaknya yaitu saat PT. Timah dilanda krisis pada akhir tahun 1980an sampai awal 1990an. Merosotnya harga timah dunia dan manajemen perusahaan yang salah urus disebut-sebut menjadi penyebabnya. PHK besar-besaran yang dilakukan perusahaan ini memunculkan angka pengangguran baru.

Masa-masa kejayaan pertambangan timah di Bangka Belitung telah melewati masanya. Krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997 dan merosotnya harga komoditas pertanian lokal seperti karet dan lada memaksa ribuan petani mencari alternatif sumber penghidupan. Sebagian besar penduduk berubah profesi menjadi penambang di tambang-tambang inkonvensional (TI) atau tambang rakyat tak berizin. Aktivititas penambangan liar ini mulai marak sekitar tahun 2000an.

Pada tahun 1999, melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 146/MPP/Kep/4/1999 mengenai pencabutan timah sebagai komoditas strategis, Bupati Bangka saat itu, Eko Maulana Ali, sekarang Gubernur Provinsi Bangka Belitung, memberikan izin aktivitas penambangan skala kecil. Sejak saat itu, aktivitas penambang liar semakin tak terkendali. Data Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi tahun 2001 memperlihatkan, dari sekitar 70.000-an unit tambang rakyat, yang berizin hanya sekitar 30 persen.

Maraknya aktivitas penambangan liar ini secara tidak sadar cenderung sebagai pelampiasan penduduk lokal atas kesenjangan sosial yang telah terjadi selama puluhan tahun sebelumnya. Sektor ini kini menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat yang mendatangkan hasil jutaan rupiah. Lebih dari 70 persen penduduk dari setiap desa hidup dari TI. Sektor ini menjadi salah satu penyumbang terbesar bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun, apakah ini menjadi pertanda baik bagi kehidupan masyarakat di Bangka Belitung?

Kini masyarakat harus menghadapi dampak-dampak sosial karena maraknya aktivitas pertambangan rakyat ini, seperti kegiatan prostitusi, konsumtivisme, dan terkikisnya nilai-nilai positif lokal. Belum lagi, kerusakan lingkungan yang semakin tak terkendali.

Aktivitas penambangan liar yang semakin tak terkendali telah menjadi penyumbang terbesar pula bagi kerusakan lingkungan. Tanpa pengendalian dan pengawasan, tambang-tambang ini meninggalkan lubang-lubang menganga dan lahan-lahan tandus yang perlu waktu ratusan tahun untuk memulihkannnya kembali. Itupun kalau kegiatan reklamasi berjalan sebagaimana mestinya.

Reklamasi yang dilakukan oleh PT. Timah terhadap lahan bekas penambangan menemui berbagai hambatan. Kegiatan ini sempat terhenti beberapa tahun dan kelangsungannya tersendat-sendat. Hal ini disebabkan oleh aktivitas TI yang sering menambang di bekas lahan galian PT.Timah yang akan atau sudah direklamasi dan baru mulai menjadi hutan-hutan muda. PT. Timah memang menyisakan 10-15 persen kandungan bijih timah di suatu lahan pertambangan.

Kegiatan pertambangan di Bangka Belitung telah mencemari air permukaan, merusak hutan dan mengganggu keseimbangan ekosistem. Namun di lain pihak, ternyata sekitar 70-80 persen produksi PT. Timah dan PT. Kobatin, dua perusahaan resmi pertambangan timah di Bangka Belitung, diperoleh dari TI. Jadi, rakyat bukan satu-satunya pihak yang bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan di daerah ini. Lalu yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apa yang tersisa untuk generasi Bangka Belitung di masa mendatang?

Bandung, 21 Februari 2008
[dari berbagai sumber]

Sejarah Pertambangan Timah di Bangka Belitung

Propinsi Kepulauan Bangka Belitung sudah sejak lama identik sebagai penghasil timah. Komoditas tambang berharga ini telah mewarnai ratusan tahun periode kehidupan sosial masyarakat di daerah ini. Menurut data dari Commodity Research Unit tahun 2005, kontribusi Bangka Belitung sekitar 90.000 ton dari sekitar 333.900 ton timah dunia.

Sebelum timah ditemukan, Bangka Belitung dipandang sebelah mata oleh para penguasa. Penambangan timah dimulai pada abad ke 18 ketika orang-orang Tionghoa mulai berdatangan. Karena kandungan bijih timah yang kaya, Bangka Belitung seolah menjadi barang dagangan yang diperebutkan oleh berbagai bangsa. Sebut saja Inggris, Belanda dan Kesultanan Palembang. Sampai pada masa penjajahan Belanda, pertambangan timah di Pulau Bangka dikelola oleh badan usaha pemerintah kolonial “Banka Tin Winning Bedrijf” (BTW). Sedangkan di Belitung dan Singkep dikelola oleh perusahaan swasta Belanda, masing-masing Gemeenschappelijke Mijnbouw Maatschappij Biliton (GMB) dan NV Singkep Tin Exploitatie Maatschappij (NV SITEM).

Setelah kemerdekaan RI, ketiga perusahaan Belanda tersebut dinasionalisasikan antara tahun 1953-1958. Pada tahun 1961 dibentuk Badan Pimpinan Umum Perusahaan Tambang-tambang Timah Negara (BPU PN Tambang Timah) untuk mengkoordinasikan ketiga perusahaan negara tersebut. Pada tahun 1968, ketiga perusahaan negara dan BPU tersebut digabung menjadi satu perusahaan yaitu Perusahaan Negara (PN) Tambang Timah.

Dengan diberlakukannya Undang-undang No. 9 Tahun 1969 dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1969, pada tahun 1976 status PN Tambang Timah dan Proyek Peleburan Timah Mentok diubah menjadi bentuk Perusahaan Perseroan (Persero) yang seluruh sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia dan namanya diubah menjadi PT Tambang Timah (Persero).

Krisis industri timah dunia akibat hancurnya The International Tin Council (ITC) sejak tahun 1985 memicu perusahaan untuk melakukan perubahan mendasar untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Restrukturisasi perusahaan yang dilakukan dalam kurun 1991-1995, yang meliputi program-program reorganisasi, relokasi Kantor Pusat ke Pangkalpinang, rekonstruksi peralatan pokok dan penunjang produksi, serta penglepasan aset dan fungsi yang tidak berkaitan dengan usaha pokok perusahaan. Saat ini PT Timah (Persero) Tbk dikenal sebagai perusahaan penghasil logam timah terbesar di dunia, 35 persen saham perusahaan dimiliki oleh masyarakat dalam dan luar negeri, dan 65 persen sahamnya masih dimiliki oleh Negara Republik Indonesia.

Bandung, 21 Februari 2008
[dari berbagai sumber]

Kakekku yang Cendekia

Waktu itu aku masih sangat kecil untuk mengingat banyak hal. Mungkin hari-hari itu usiaku belum genap 4 tahun, sehingga tak banyak kenangan bersama kakek yang bisa terekam jelas dalam memoriku. Mungkin, hanya dua hal yang bisa kuingat. Waktu itu, kakek sering menggunakan tongkat, mungkin tubuhnya sudah sedemikian lemah untuk bisa berjalan tegak. Lalu yang kedua, beliau selalu meniup ubun-ubunku dan juga abangku setiap sore jika kami berkunjung ke rumah beliau. Sampai sekarang hal ini masih membuatku bertanya-tanya. Dan seingatku beliau tak pernah melakukannya pada kakak dan abang-abang sepupuku.

Beliau meninggal ketika usiaku baru 4 tahun, 3 bulan dan 21 hari. Hari itu adalah penghujung tahun 1990, tepatnya 31 Desember 1990. Sebelumnya beliau tidak mengalami sakit, hanya sejak pagi beliau tampak lemah dan terbaring di tempat tidur. Ayah, ibu, paman dan bibi-bibiku sudah berkumpul sejak pagi. Yang kuingat pada menit-menit terakhir sebelum wafat, beliau selalu menanyakan waktu. “Jam berapa sekarang ?”, ucap beliau lirih. Demikian berulang-ulang, padahal sebuah jam weker berada di samping beliau. Mungkin beliau sudah tak sabar ingin sholat Ashar dan hanya beberapa menit menjelang waktu Ashar beliau meninggalkan kami semua. Ayah, ibu, paman dan bibi-bibiku menangis dan aku pun ikut menangis. Karena masih kecil, aku tak paham betul apa yang terjadi ketika itu, sehingga sambil menangis aku berkata pada ayahku : “Aku tak punya kakek lagi….”. Lalu ayahku menjawab : “Sudah, jangan menangis lagi, kan masih ada kakek yang satunya lagi…”. Dan seketika tangisku reda. Demikian sederhana pemikiranku saat itu.

Maka, karena kakek sudah meninggal sejak aku masih kecil, aku lebih banyak mengenal beliau dari cerita-cerita ayahku. Alhamdulillah sejak kecil aku demikian suka bertanya tentang banyak hal, dan ayahku pun tak pernah lelah menjawab pertanyaan-pertanyaanku.

Dari cerita-cerita ayah, aku mengenal pribadi bersahaja ini. Beliau adalah orang yang pintar dan demikian suka belajar. Dulu, kakek hanya pernah mengenyam pendidikan dasar jaman Belanda, dan itu pun tidak tamat. Aku tak tahu jelas alasannya. Mungkin karena berkepribadian terbuka dan selalu ingin tahu, beliau tak cocok dengan gaya pendidikan Belanda bagi pribumi ketika itu. Tetapi, Subhanallah, pemikirannya jernih luar biasa. Dulu aku mengira kakekku pernah menempuh pendidikan tinggi, karena buku-buku beliau demikian banyak, bertumpuk-tumpuk dan tak sedikit dari buku-buku beliau merupakan teks wajib di perguruan-perguruan tinggi. Buku beliau bermacam-macam, mulai dari buku-buku agama, sastra, sejarah, hukum dan lain-lain. Rupanya beliau memang seorang pembelajar dan otodidak yang sebenarnya.

Jaman dulu orang tak terlalu mementingkan soal ijazah, yang penting adalah kompetensi yang dimiliki. Tak terlalu buruk bagi kakek, dengan pendidikan formal yang demikian rendah, kakek pernah dipercaya pemerintah untuk menjadi seorang camat. Dulu namanya asisten wedana. Beliau pernah ditugaskan di Membalong, lalu dipindahkan ke Merawang di Pulau Bangka. Ketika akan dipindahkan lagi ke kecamatan Kelapa, beliau lebih memilih untuk pensiun dan pulang ke Belitong. Ketika bertugas di Bangka inilah beliau bersahabat dengan Kemas Duri, ayah dari Rafika Duri.

Waktu ditugaskan di Merawang, kakek sering diberi hadiah berupa hasil-hasil bumi dan peternakan oleh penduduk sekitar. Tapi kata ayah, kakek selalu menolak dengan halus pemberian mereka. Beliau demikian hati-hati memegang amanah sebagai pemimpin. Bila semua pejabat jaman sekarang berpendirian seperti itu, mungkin kita tak ’kan mengenal kosakata korupsi, kolusi, dan nepotisme di negara ini.

Sejak dulu aku senang sekali menjadi semacam peneliti sejarah, sejarah apapun itu. Maka tak heran aku demikian bersuka cita jika diajak ayah ke rumah peninggalan kakek. Ayah sering merapikan naskah-naskah kuno dan buku-buku milik kakek. Di sana banyak hal yang bisa kupelajari. Banyak sekali salinan surat-surat kakek ke berbagai penerbit. Rupanya secara rutin beliau memesan buku-buku ke penerbit-penerbit di Pulau Jawa. Selain itu, beliau sering berkirim surat ke berbagai sahabat, kerabat dan anak-anak beliau yang ketika itu bersekolah di Pulau Jawa, yaitu paman dan ayahku. Maka, kebiasaan kakekku ini mendukung hobiku yang lain sebagai filatelis.

Dulu sebelum direnovasi, rumah kakek punya satu ruangan kecil yang beliau pakai khusus untuk belajar. Di sana ada meja belajar kayu model lama, sepasang bangku dengan meja bulat untuk beliau menerima sahabat-sahabat dan handai taulan, buku-buku dan berbagai alat tulis. Rak buku tak diletakkan di ruangan itu, karena ruangan itu terlau sempit untuk meletakkan rak buku yang demikian besar untuk menampung buku-buku beliau.

Kakekku juga seorang yang disiplin dan rapi dalam berbagai hal. Hal ini terlihat dari cara beliau membagi waktu dan menata berbagai hal. Kuduga ada hubungan disiplin ini dengan pertanyaan beliau yang berulang-ulang sebelum beliau wafat, pertanyaan tentang waktu. Beliau juga menuliskan dengan rinci berbagai pengeluaran dan pemasukkan setiap bulan. Selain itu, tak terlewatkan pula dalam buku catatan beliau mengenai berbagai peristiwa-peristiwa penting yang beliau alami selama hidup. Tak terkecuali kelahiran anak-anak dan cucu-cucu beliau. Kuingat pula ada sebuah lemari kecil tepatnya kotak yang dipasang menempel pada dinding. Di kotak itu beliau menyimpan berbagai obat-obatan dan perlengkapan P3K.

Dari cerita ayah dan pamanku pula aku mengenal watak kakek yang cukup keras. Dulu waktu kakek masih tinggal di rumah yang lama di Jalan Merdeka, beliau punya kebiasaan duduk-duduk di teras sambil membaca. Ada salah seorang kerabat kami yang senang sekali bersiul, tetapi begitu lewat dekat rumah kakek ia tak ‘kan berani bersiul. Nyalinya terlalu kecil untuk menghadapi hardikan kakekku. Di rumah ini juga kakek menanam berbagai pohon buah-buahan. Pohonnya besar-besar dan tinggi sehingga layangan anak-anak di kampung itu seringkali tersangkut. Namun, tak ada anak yang berani memanjat untuk mengambil kembali layangan mereka, karena kakek akan sangat marah. Beliau juga akan sangat marah jika anak-anak beliau tak disiplin soal waktu. Aku tak pernah melihat rumah kakek yang di Jalan Merdeka ini, karena sebelum aku lahir rumah itu telah dijual dan menjadi kantor cabang BRI Tanjongpandan sampai saat ini. Aku hanya tahu rumah kakek yang sekarang, dan waktu kecil aku pun sempat tinggal di situ.

Kakekku juga sangat memperhatikan masalah pendidikan. Dengan segenap daya upaya yang bisa beliau lakukan, beliau selalu mendukung pendidikan anak-anaknya. Tapi, entah siapa yang salah. Sebagian besar anak-anak beliau tak terlalu mulus menjalani soal pendidikan ini. Banyak yang memilih berhenti dengan berbagai alasan, bahkan walaupun sudah sampai jenjang perguruan tinggi. Aku tak tahu jelas apa alasannya.

Demikian banyak kesan mendalam tentang kakekku yang kusimpan baik-baik dalam ingatanku. Aku merasa beruntung memiliki kakek seperti beliau. Kakekku dianggap ayahnya dulu sebagai anak yang beliau pilih untuk mengurus berbagai hal yang berhubungan dengan keluarga besar kami. Padahal kakekku bukan anak laki-laki tertua yang lazimnya dipilih orang Melayu untuk hal itu. Kuduga, kakekku memiliki kapasitas intelektual dan kebijaksanaan yang menjadi pertimbangan ayahnya untuk memilih beliau. Demikian mungkin yang tersirat dalam surat wasiat kuno dari leluhur beliau Ki Agus Endek yang sempat kubaca. Surat itu ditulis dalam huruf Arab Melayu dan dikirim dari Mekah melalui seorang kurir ketika Ki Agus Endek sedang menunaikan ibadah haji. Disana tertulis kata-kata : “......untuk anak cucuku yang cerdik dan cendikia....”

Dengan penuh rasa bangga aku menceritakan kebersahajaan, pendirian, dan kecendikiaan kakekku, 
Ki Agus Razak Unus bin Ki Agus Unus. Beliau lahir pada tahun 1909 dan meninggal pada usia 81 tahun. Semoga Allah menerima amal ibadah beliau dan mengampuni kesalahan-kesalahannya. Amin...

Bandung, 30 April 2008