Malam sudah larut tapi mataku tak kunjung
terpejam, bukannya tak mau, tapi memang malam itu aku tak boleh tidur. Malam yang akan tercerai
definisinya karena berkejaran dengan matahari, dalam ribuan mil perjalananku ke
tanah seberang. Dalam gelap, kakiku sepertinya harus berlari lagi,
berlari lebih kencang lagi. Apa yang akan kutemui nanti juga masih gelap. Lambaian ayah ibu mengantarku di tengah pekat malam
Jakarta. Lambaian yang entah kapan akan kulihat lagi. Aku menoleh pada mereka
untuk terakhir kali, senyumku mengembang, senyum pamitku untuk mereka yang
selalu aku cintai.
Nekat saja pikirku,
bekalku sudah lebih dari cukup, aku berbekal doa dan cinta dari orang-orang
yang kusayangi. Perasaanku campur aduk, mereka yang telah memenuhi hatiku
hingga meluap-luap selama hidupku, kini harus kutinggalkan jauh. Ah, kalau
titik referensinya kutukar, bisa kuanggap mereka yang pergi, bukan aku. Gampang
juga kupikir, ini hanya main-mainan logika saja. Baiklah, langkahku harus
kukayuh, ceritanya baru akan dimulai.
Sore itu, di penghujung musim gugur,
langit kelabu menyambutku. Tak ada basa basi, petugas pemeriksa paspor bertanya
dengan tatapan dingin "What are you going to do in Germany?" "Study, Sir",
jawabku singkat. Tak ada siapa-siapa yang kukenal di sini, harap-harap cemas
kutunggu dua teman baruku. Lega ketika kulihat mereka melambai-lambai di pintu
keluar. Moni dan Michal, dua teman baru yang dalam seminggu berikutnya
membuatku merubah semua persepsiku tentang negeri dingin ini.
Terbangun aku di
suatu pagi, kehilangan definisi ruang dan waktu. Kamar ini, ranjang ini,
jendela ini, tiba-tiba tak sama lagi. Aku di mana? Kubuka gordyn jendela, hitam
pekat di luar sana, aku pun kehilangan pagi, tapi pagi yang mana? Kulirik jam
tanganku di atas meja, baru pukul 2, pukul 2 yang mana pula? Aku
menghitung-hitung, mencoba kembali pada kesadaran yang sempurna.
Semua serba baru
bagiku. Lingkungan baru, teman-teman baru, sistem dan aturan-aturan baru.
Berkali-kali kuulangi dalam hati, "Mohon bersabar wahai tubuhku, jangan lelah dulu,
petualangan ini baru saja dimulai". Aku tak punya alasan untuk tidak bersyukur
apalagi menjadi malas dan skeptis tentang masa depanku.
Pukul 07.30,
pagi-pagi sekali, aku sudah rapi jali, menunggu kawan baruku Moni, janji
pertama yang aku buat dengan orang Jerman, dan memang tepat pukul 07.30 dia
datang. Pelajaran pertama: tepat waktu. Banyak sekali yang harus kuurus hari
ini, salah satu yang kutunggu-tunggu adalah bertemu supervisorku, Prof.
Schmitz. Lalu, aku berkenalan dengan kawan-kawan baru, 8 orang muda yang penuh
semangat. Kuperhatikan gerak-gerik dan tutur kata mereka, pelajaran berikutnya:
tak satupun dari mereka yang memanggil supervisor kami dengan embel-embel Prof,
Herr atau pun nama belakangnya, cukup nama depannya saja. Dengan begitu,
obrolan mengalir lebih hangat, lebih akrab.
Pukul 12 siang, aku
dan Moni masih berada di bank, tiba-tiba seperti tergesa ia menelpon. "Kau
ada janji?" tanyaku. "Tidak, hanya sudah waktunya makan siang,
sebentar lagi kita menyusul mereka ke Mensa", jawabnya sambil tersenyum. Oh, rupanya mereka punya kebiasaan makan siang bersama di Mensa, kantin
universitas. Satu meja bersama supervisor dan para kolega. Dari obrolan mereka,
terkesan tak ada jarak, walaupun aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan,
tak sepatah pun. Siang ini aku makan roti, belum ada nasi. Lalu mereka
bertanya-tanya, makanan apa yang aku bawa. Agak sulit menjelaskan apa itu
rendang, kubilang saja semacam kari khas Indonesia, karena kupikir tak ada juga
padanan kata dari bumbu-bumbunya dalam bahasa mereka.
Alhamdulillah, Dia mempertemukanku dengan orang-orang baik di saat aku tak punya siapa-siapa di
sini. Dua teman baruku, Moni dan Michal, mahasiswa doctoral dan peneliti
poctdoctoral, muda, cerdas dan baik hati. Di minggu pertama aku di sini,
merekalah yang mengantarku ke sana kemari, mengurus ini itu, sampai menemaniku
belanja barang-barang kebutuhanku hingga ke kota tetangga. Mereka yang
menanyaiku tentang makanan apa yang tidak boleh kumakan, tentang kebutuhan
khususku untuk beribadah sampai menjemputku di pagi dingin berkabut, menemaniku
berjalan kaki ke kampus di saat semester ticket kereta-ku belum kuperoleh.
Sampai hari ini pun,
tak jarang aku sampai merasa tidak enak karena kebaikan mereka. Michal akhirnya
memilih berkarir di perusahaan. Cake pisang, bolu coklat dan teh hangat, sore
sederhana yang akan tetap kuingat, perpisahan dengan teman kami, Michal yang
baik hati.
Di sini, satuan
terkecil Fakultas adalah Institut. Institut kami terdiri dari seorang Profesor,
2 orang dosen, 8 asisten peneliti (mahasiswa doctoral), seorang sekretaris dan
seorang pegawai administrasi. Dengan 12 orang ini lah, hidupku dalam beberapa
tahun ke depan akan kuwarnai. Kukenali wajah mereka satu persatu, salah seorang
temanku berasal dari Iran, satu lagi berasal dari Kazakhstan namun sejak
kecil pindah ke Jerman, dan sisanya adalah native Jerman.
Salah satu alasanku
untuk berpetualang adalah aku ingin mengenal berupa-rupa manusia. Ingin
kuselami pikiran mereka, kubaca budaya mereka dan kukenal dunia selain tanah
asalku. Aku ingin belajar banyak hal.
Di sini aku tak akan kesepian,
selama masih ada hujan, derainya bisa kutatap dari balik jendela, indah. Selama
masih ada bintang, bulan dan awan, dongakku tak akan bosan menatap langit. Pun
matahari walau tak sehangat yang selama ini kukenal, tak akan berubah
menyiratkan harapan. Dalam setiap desir angin, pergantian musim dan lalu lalang
manusia, ingin kuhirup nafas terdalam dengan mata terpejam. Biar serpihnya
mengalir hingga urat nadiku, menenangkan.
Singkat saja kulewati
bulan-bulan pertama yang semakin dingin, aku rindu matahari. Tanpa sadar, kita
selalu mencetak persepsi-persepsi di kepala kita. Lalu pelan-pelan
mencocokkannya dengan kenyataan yang kita temui setiap hari. Persepsi selalu
bersifat subjektif, dibangun dari perasaan dan pengalaman, lalu tersusun
sedemikian rupa menemani pembelajaran setiap insan sepanjang hidup. Persepsi
pertamaku tentang Jerman adalah dingin, iklimnya, juga orang-orangnya. Benar
atau tidak, sedikit demi sedikit kucoba definisikan sendiri. Dingin, menurut
kulit Melayuku yang sebelumnya tak pernah tersentuh salju, tapi tidak setelah
kulewati musim dingin pertama dengan suhu yang anjlok hingga -18°C. Allah Maha
Kuasa, Dia menciptakan tubuh manusia sesempurna-sempurnanya, yang bisa menyesuaikan
diri seiring waktu. Aku pun tetap bertahan hingga hari ini, menyambut musim
dingin kedua yang terasa lebih "hangat", relatif bukan? Dingin, jika
kita bertemu orang-orang tak dikenal yang lalu lalang di perjalanan, tapi
tidak jika kita mengenal mereka secara personal. Ramah mereka tak kalah hangat
dibanding matahari bulan Juli.
Dari 365 hari dalam
satu tahun, mungkin tak lebih dari 3 bulan, Jerman disiram hangat matahari
sempurna. Sisanya adalah hari-hari kelabu, dingin, hujan, bahkan bersalju, yang
membuat orang tak betah berlama-lama di luar, bahkan sering sekali menciutkan
semangat untuk bangun pagi. Bagaimana mungkin mereka akan seramah orang
Indonesia yang bisa menikmati hangat sepanjang tahun. Mereka hanya punya musim
panas yang tak begitu lama, yang sontak membuat orang-orang tiba-tiba riang
gembira. Generasi demi generasi, alam telah membentuk mereka seperti itu. Suatu
hari, aku duduk seorang diri di bangku kereta menuju Belanda. Aku harus turun
di Arnhem, sebuah kota di timur Belanda dan melanjutkan perjalanan dengan
kereta berikutnya. Orang Belanda relatif lebih ramah, teoriku tentang iklim tak
sepenuhnya benar, mungkin karena mereka bangsa pedagang, entahlah. Sesampai di
Belanda aku menjadi pelupa, satu hal yang paling lumrah dilakukan orang
Indonesia: tersenyum!
Suatu waktu aku
berpikir, apa yang membuat orang Jerman begitu giat. Dibanding Indonesia mereka
tak punya apa-apa! Indonesia punya semuanya, iklim yang ramah sepanjang tahun,
sumber daya alam yang melimpah, laut yang luas, hutan yang kaya, dan penduduk
dengan persentase usia produktif yang relatif tinggi. Sungguh anugerah yang
tak terhingga. Orang Jerman harus berjuang mengatasi tantangan alam, mereka tak
boleh manja, kalau tak pintar-pintar mereka bisa mati konyol. Berabad-abad kenyataan
ini mendorong mereka berpikir keras, mencari cara, mengolah akal, lalu
terciptalah penemuan-penemuan hasil teknologi rekayasa untuk memudahkan hidup
mereka. Selanjutnya seiring zaman, mereka lalu berpikir untuk menguasai dunia!
Itulah manusia, kisahnya tak jauh-jauh dari nafsu yang senantiasa menderu.
Sejak kecil aku senang sekali mendengarkan bahasa-bahasa yang terdengar
asing di telingaku. Dulu setiap pukul 5 pagi, radio BBC berbahasa Inggris
gemerosok timbul tenggelam terdengar sayup-sayup dari ruangan tengah rumah kami
atau sesekali ayahku menonton berita CNN di televisi. Aku belum mengerti apa
yang disampaikan pewarta berita itu setiap pagi, sederhananya aku hanya senang
mendengarkan mereka berkicau-kicau dalam bahasa mereka sendiri. Pada kenyataannya
bahasa Inggrisku tak maju-maju. Belasan tahun kemudian, mau tak mau aku harus
bisa berbahasa seperti mereka, ditambah lagi kenyataan baru, aku harus bisa
berbahasa Jerman. Orang Jerman
mencintai bahasa mereka seperti orang Melayu mencintai syair, tak bisa
ditawar-tawar. Sejak Februari, di akhir musim dingin yang lalu, kupecut lidahku
untuk belajar bahasa baru. Bahasa Jerman terdengar lebih berat, seperti suara
orang sedang menggeram, huruf-hurufnya seperti keluar dari pangkal-pangkal
leher dan nadanya naik turun, sekali lagi ini hanya persepsiku. Bulan
demi bulan, sedikit demi sedikit aku tak lagi buta aksara. Kali pertama kulihat
pamflet dan pengumuman di jalan-jalan, aku hanya mampu menerka-nerka dari
gambarnya. Sekarang semuanya sudah terlihat lebih menarik, aku tak lagi buta
arah, pun suara Ibu-Ibu pemaklumat di stasiun kereta sudah terdengar akrab di
telinga. Sekarang aku paham apa isi perbincangan sahabat-sahabatku setiap makan
siang, sekarang aku tahu apa yang mereka tertawakan. Setiap aku mencoba
berbincang dalam bahasa Jerman, mereka begitu senang, walaupun berkali-kali aku
harus mengulang-ngulang: "Wie bitte?". Tak masalah, setidaknya aku sudah
mencoba, dan itu yang mereka hargai.
Satu lagi yang kupelajari dari
sahabat-sahabatku: segala sesuatu itu harus dibicarakan jika memang diperlukan,
kalau kita tidak menyampaikan jangan harap mereka akan berinisiatif menanyakan,
apalagi memberi bantuan. "Kami tak mahir membaca pikiran", begitulah
kira-kira maksud mereka. Dan kalau sudah berniat membantu, mereka tak pernah
setengah-setengah, kalau memang tidak bisa mereka akan menyampaikannya sejak
awal.
Orang Jerman senang sekali menstatistikkan
segala sesuatu, sehingga memudahkan mereka untuk melakukan evaluasi dan
terus-menerus meningkatkan kualitas. Semuanya dibuat serba terstruktur dan
rapi. Perjalanan dari kota A ke kota B akan lebih mudah diperkirakan, sehingga
tak menyusahkan jika hendak membuat janji bertemu. Semuanya jadi serba mudah.
Tapi diam-diam aku merindukan semrawut transportasi di tanah air, rasanya lebih
menantang dan penuh duga-duga, lebih "nyeni"!
Sejak kecil
aku menyukai museum, dan kota kecilku nun jauh di Pulau Belitong sana hanya punya satu museum mungil yang
berdiri hingga hari ini, tak jauh dari sekolahku dulu. Museum
yang merangkap menjadi kebun binatang, museum yang selalu aku rindukan. Aku
begitu menikmati saat-saat larut terbawa bingkai-bingkai waktu yang terserak
dalam keping-keping sejarah. Rasanya seperti hidup di zaman yang berbeda,
dilahirkan kembali dan kebingungan menemukan jalan pulang. Di Jerman, hampir di
setiap kota bisa kita temukan berbagai museum, mulai dari museum sejarah,
museum seni, museum makanan, museum olahraga, museum tambang dan macam-macam
museum lainnya. Tiap ada waktu luang aku selalu ke museum, menelisik
helai-helai sejarah dalam temaram lampu di sudut-sudut ruangan tak berdaun
pintu.
Aku tak ingin menilai
suatu bangsa lebih berbudaya dibanding bangsa lainnya, karena aku percaya
setiap budaya terbentuk oleh serangkaian alasan yang panjang, yang pada
akhirnya membentuk ciri khas masing-masing. Kita hanya perlu meletakkannya pada
tempat yang tepat.
Aku tak akan pernah
tahu apa yang akan kuhadapi dalam petualangan ini, pun sampai kapan waktuku
habis. Hidup kusebut sebagai petualangan, seperti yang selalu seorang sahabatku
kenangkan. Aku hanya ingin berbuat terbaik yang aku bisa, menjalani setiap
prosesnya dengan sabar dan syukur sambil sesekali menikmati kejutan-kejutannya.
Biarlah kutinggalkan semua kemudahan-kemudahan di sana, yang sepanjang tahun
bisa kukenakan pakaian dengan jenis yang sama, yang dengan mudahnya kuperoleh
makanan-makanan yang tak perlu aku bertanya-tanya tentang kehalalannya, yang sepanjang
hari bisa kuhabiskan waktu bersama keluarga dan para sahabat.
Di sini, memang tak
akan ada pengganti yang sama, tapi akan kutemui pula berupa-rupa pengalaman
yang tidak akan kuperoleh di sana. Tak terasa, sudah lebih dari setahun aku di
sini. Empat musim telah menyapa dari balik jendela kamarku. Waktu tak akan
pernah menunggu, sedetik pun, sekejap pun. Nyatanya dia terus berlalu, tak
peduli berapa helai sesal yang kau bakar menjadi abu. Biarlah
hanya rindu saja yang akan beradu dengan deru semangat, seperti bayangan hujan
yang derainya beradu dengan matahari, langkahku masih belum berhenti.
Bochum, 12 Juli 2013
Empat musim yang setia menyapa dari balik jendela |