Hari ini adalah hari pertama Ramadhan tahun ini yang kuhabiskan di kampus. Suasana pagi, kampus masih sepi, baru Steffi dan Lily yang sudah duduk rapi di depan komputer, di kantor mereka masing-masing. Awal pekan ini pikiranku melayang-layang memikirkan tumpukan jarum anestesi dan hasil eksperimen kami dalam sebulan terakhir ini. Data-data menumpuk, menunggu untuk diolah dan "diterjemahkan". Aku teringat pesan Supervisorku pada suatu kesempatan: "Riset itu bukan hanya sekedar eksperimen yang berulang-ulang. Tapi lebih dari itu, kita harus mampu mencari rahasia dibalik fenomena yang kita temukan". Aku menarik nafas panjang, inilah salah satu konsekuensi terdalam yang harus dihadapi peneliti, bidang apapun itu.
Seorang kawan pernah pula berujar, aku sudah lupa redaksinya, tetapi kurang lebih seperti ini: "Menjadi Doktor adalah gerbang yang membuka kepada ketidaktahuan yang lebih dalam". Semakin dalam kita berpikir dan terus berpikir mengenai suatu fenomena, semakin paham pula kita bahwa sesungguhnya sangat banyak hal-hal yang tidak/belum kita ketahui. Menjadi seorang peneliti menuntut kesabaran dan ketekunan. Tak jarang kami harus mengulang-ulang eksperimen yang sama, berkali-kali. Tak jarang pula aku terbangun di tengah malam buta, memikirkan paper yang sepanjang siang tadi kubaca. Maka, bila tak ada keindahan seni di dunia ini, otakku akan menjadi timpang dan tidak seimbang. Kamarku tak menggambarkan kehidupanku sebagai mahasiswa, semua buku-buku terkait riset dan kawan-kawannya kutinggalkan di ruangan kantor. Yang tersisa di kamarku hanya buku-buku sastra, kamera dan perlengkapannya, serta poster-poster dari dunia antah berantah. Ironis? Mungkin.
Aku mulai berpikir, betapa ruginya hidupku bila hanya sampai di situ kuhabiskan lebih dari 20 tahun bergulat dengan bangku sekolah dan buku-buku, sedangkal ilmuku yang memang sangat dangkal, tak ada bandingnya dengan rahasia Allah di alam semesta ini. Lalu, bagaimana bila sekonyong-konyong giliranku tiba? Kata ayah, ibu dan abangku, kata kuncinya adalah "ibadah". Seberapa jauh apa-apa yang kukerjakan ini dapat mendatangkan kebaikan, sejauh mana aku belajar menjadi tekun, sabar dan ikhlas, serta sejauh apa aku menghabiskan sisa usiaku untuk kemanfaatan bagi orang lain.
Beberapa tahun yang lalu ketika masih di Bandung, hari-hari terakhir Ramadhan biasanya kuhabiskan di kampung halaman, bersama ayah ibuku. Hanya kurang lebih 2 minggu dalam setahun. Biasanya dalam obrolan-obrolan ringan bersama mereka, sering tercetus mimpi-mimpi yang ada dalam kepalaku. Beruntung, sejak kecil aku tak pernah diharuskan oleh mereka untuk menjadi ini dan itu. Kini aku berada jauh dari kampung halaman, mimpi-mimpi masa lalu itu harus kujalani satu persatu. Cinta dari keluarga, saudara, para guru dan kawan-kawanku tak pernah bisa kubalas sampai mati. Kepada harum Ramadhan di musim panas ini, kutitipkan maaf dan terima kasihku untuk mereka, mereka yang telah membuatku menjadi aku.
Bochum, 1 Juli 2014