Sudah 2 tahun aku mengenalnya. Perempuan cerdas yang hanya terpaut 2 tahun pula usianya lebih muda dariku ini adalah sosok
sahabat yang aku kagumi. Rachmi Meutia, begitu namanya. Nama belakangnya itu nama
khas yang menunjukkan tanah kelahirannya, tanah rencong Aceh yang sudah sejak
lama aku ingin mengunjunginya.
Aceh sudah sejak dulu menarik
perhatianku. Sejarah panjang perjuangan rakyatnya pada masa pendudukan kolonial
Belanda mengenalkanku pada sosok yang sangat aku kagumi, Laksamana Keumalahayati,
seorang tokoh pejuang Aceh yang sangat disegani pada masanya. Di salah satu
sudut ruang temaram Museum Bahari di Jakarta Utara, aku bertemu Keumalahayati
untuk pertama kalinya. Sosok perempuan pejuang ini diabadikan sejarahnya dalam
sebuah lukisan seukuran manusia dewasa. Keumalahayati konon merupakan laksamana
perempuan pertama di dunia dalam sejarah modern. Dia memimpin armada perang Inong Balee (janda-janda pahlawan yang
telah gugur) yang dikenal tangguh dan
berani. Bahkan Cornelis de Houtman, pemimpin rombongan pertama kolonial Belanda
yang sampai ke Nusantara pada tahun 1596 itu mati di ujung rencong sang
laksamana. Sejarah ketokohan para pahlawan Aceh adalah representasi keberanian
dan watak tangguh orang-orang Aceh.
Di era kemerdekaan, Aceh melalui
pula sejarah panjang pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM). Kemudian peristiwa
dahsyat tsunami pada 26 Desember 2004 telah pula menoreh sejarah di tanah
rencong. Dalam 2 periode peristiwa besar inilah Rachmi dibesarkan. Dia menjadi
saksi hidup bagaimana Aceh melalui pasang surut dan serangkaian masa-masa
kelam.
Rachmi pernah bercerita
bagaimana dia melalui masa-masa SMP-nya di sebuah pesantren berasrama yang berada
cukup jauh dari rumahnya, sehingga hanya beberapa kali dalam sebulan dia bisa
pulang ke Banda Aceh. Ketika itu, Aceh sedang berada dalam situasi tak menentu
saat diberlakukannya DOM oleh pemerintah pusat. Berita kematian seolah menjadi
santapan mereka sehari-hari, suasana di mana-mana terasa sangat tidak aman.
Kecurigaan antar pihak-pihak yang berselisih sangat mudah memicu kontak
senjata. Pernah pada suatu hari, ketika Rachmi dan teman-temannya sedang berada
di kelas, sebuah peluru nyasar mengenai dinding dan sebuah pohon di halaman
sekolahnya. Setiap kali terjadi kontak senjata, mereka akan dikumpulkan oleh
guru dan bersembunyi mengendap-endap hampir dalam posisi tiarap untuk
menghindari peluru nyasar. Perjalanan pulang pergi rumah-asramanya pun bukan
hal yang mudah. Ayah dan ibu yang mengantar jemputnya ketika itu hampir selalu
harus melalui pemeriksaan dari aparat keamanan di pos-pos penjagaan. Rachmi
juga menjadi saksi bagaimana orang-orang yang dikenalnya menjadi korban dalam
periode mencekam penuh ketidakpastian itu.
Kemudian, ketika gempa dan
tsunami melanda Aceh pada tahun 2004, Rachmi saat itu duduk di kelas 2 SMA
Modal Bangsa, salah satu SMA favorit di Aceh yang juga berasrama. Saat
kejadian itu, Rachmi dan teman-teman sekelasnya sedang berolahraga di halaman
kompleks asrama. Mereka merasakan gempa yang sangat dahsyat, yang kemudian
diketahui berkekuatan hingga 9 Mw (moment
magnitude scale). Sedangkan keluarga besar Rachmi: Ayah,
Ibu, serta 3 adiknya saat kejadian itu sedang berada di rumah mereka di Banda
Aceh. Aku merinding ketika Rachmi menceritakan kejadian ini, mataku
berkaca-kaca. Namun, kulihat sorot matanya begitu tegar, tak ada setitik pun
air mata. Ibu dan 2 adik Rachmi ikut menjadi korban meninggal dalam peristiwa
ini. Maka yang tersisa adalah Ayah, seorang adik, dan abangnya yang ketika itu
sedang kuliah di Yogyakarta.
Kata
Rachmi, dia tak banyak menangis di depan ayahnya karena dia ingin agar
ayahnya tegar menghadapi ujian yang sungguh luar biasa ini. Tsunami Aceh
merenggut korban jiwa hingga lebih dari 230.000 orang. Lalu hadirlah sosok Bunda,
begitu Rachmi dan saudara-saudara kandungnya memanggil ibu sambung mereka.
Bukan hal mudah bagi keluarga-keluarga Aceh yang menjadi korban tsunami untuk
bangkit kembali dan melanjutkan hidup. Aku tak bisa membayangkan jika aku
sendiri yang mengalaminya.
Singkat
cerita Rachmi pun menikah tak lama sebelum keberangkatannya ke Jerman untuk
melanjutkan pendidikan Masternya. Tak lama setelah itu pula, Rachmi kehilangan
ayahnya. Rachmi, betapa besar ujian yang telah Allah berikan untukmu di usia semuda
ini, bahkan sejak engkau menghabiskan masa kanak-kanakmu. Engkau sungguh telah mewarisi sifat-sifat tangguh dan berani dari para leluhurmu dulu, seperti sang laksamana dan perempuan-perempuan hebat Aceh lainnya. Cerita-cerita Rachmi
ini sering membuatku malu pada diri sendiri. Aku yang tak pernah mengalami ujian
sehebat itu kadang tak jarang berkeluh kesah dan kurang bersyukur.
Persahabatanku
bersama Rachmi mengajarkanku banyak sekali pelajaran hidup. Kami sering berdiskusi tentang berbagai hal, dari persoalan remeh temeh hingga tema-tema
serius. Kemarin sore ketika Ramadhan sudah lewat 2 pekan, Rachmi mengunjungiku.
Menunggu waktu berbuka puasa kami bercerita tentang banyak hal, lagi-lagi cerita
Rachmi selalu membuatku terus berpikir dan banyak belajar. Perempuan penyayang
ini adalah sahabat solihah yang senantiasa akan kukenang kebaikannya seumur
hidupku, insyaAllah. Terima kasih, Mi. Semoga Allah selalu memberkahi
keluargamu.
Bochum, 12
Juli 2014