Apa itu Gastrofisika?
Ketika mendengar kata ini, mungkin pikiran Anda akan tertuju kepada suatu
bidang ilmu yang seringkali menjadi momok dalam kurikulum pelajaran hampir di
seluruh dunia: fisika. Tak banyak
anak-anak yang menyukainya, tak sedikit pula yang alergi terhadapnya. Tapi,
tenang saja, apa yang akan saya ceritakan dalam tulisan ini adalah sisi lain
yang tidak berhubungan langsung dengan fisika.
Gastrofisika adalah suatu disiplin ilmu yang perkembangannya relatif
baru dan definisinya pun belum disepakati sepenuhnya oleh para ahli.
Perkembangan pesatnya baru berlangsung tak lebih dari satu dekade terakhir,
ditandai dengan diadakannya simposium internasional pertama yang diadakan di Kopenhagen,
Denmark pada 2012 yang khusus membahas mengenai bidang ini.
Gastrofisika berasal dari 2 kata, gastronomi dan fisika. Menurut Bapak
Gastronomi dunia, Jean Anthelme Brillat-Savarin, dalam bukunya Physiologie du
Goût (1825), gastronomi adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari segala
sesuatu yang berhubungan dengan makan dan makanan. Saat ini, gastronomi dipakai
sebagai suatu istilah yang lebih luas yang mencakup seni dan sains dalam
memasak, termasuk sisi estetik, kualitas bahan mentahnya, teknik memasak dan
penyajian makanan, rasa, serta sejarah dan budaya memasak.
Ilustrasi bahan makanan nabati dan hewani. (National Cancer Institute,
Wikipedia).
Ketika digabungkan dengan kata fisika, gastrofisika menjadi sebuah disiplin
ilmu baru yang menjadikan gastronomi sebagai inspirasi atau titik berangkatnya,
lalu menggunakan ilmu-ilmu fisika untuk memahami fenomena alam di baliknya.
Namun, definisi ini kemudian berkembang lagi, tak terbatas hanya kepada
aspek-aspek ilmu fisika saja. Meskipun titik berangkatnya masih sama
(gastronomi), gastrofisika kini mencakup bidang yang lebih luas, antara lain
kimia fisik, kimia, dan sain-sains yang berhubungan untuk memahami fenomena
alam dibalik makan dan makanan, seperti menjelaskan aspek fisika dan kimia dari
bahan mentah, proses pengolahan makanan, hingga respons pancaindra manusia
ketika makan.
Gastrofisika sebagai Sains Pancaindra
Mengambil hanya satu aspek dari perkembangan gastrofisika yang semakin
luas, dalam tulisan ini saya akan menceritakan bagaimana makan dan makanan
ditinjau sebagai suatu pengalaman multi-indrawi (pancaindra) manusia. Salah
satu cabang dari gastrofisika ini akan membawa kita ke dunia psikologi
eksperimental yang akan mengamati bagaimana indra perasa, penciuman, penglihatan,
pendengaran, dan peraba manusia berperan ketika kita menikmati makanan. Jadi,
kali ini Anda tak perlu takut atau alergi, fisika akan undur diri untuk
sementara.
Apakah Kita Menikmati Makanan Hanya dengan Lidah?
Jawabannya, tidak. Kalau saya menyebut hidung sebagai indra selain lidah
untuk menikmati makanan, Anda tidak akan kaget. Tapi, mata, telinga, kulit?
Terdengar aneh dan membuat penasaran, bukan?
Dalam bukunya yang diterbitkan pada 2017 berjudul Gastrophysics: The New
Science of Eating, Prof. Charles Spence dari Universitas Oxford, Inggris
membahas makan sebagai pengalaman multi-indrawi melalui pengamatan-pengamatan
eksperimentalnya terhadap respons indrawi manusia ketika makan, dengan
merekayasa makanan/minuman dan/atau lingkungan di sekitarnya sedemikian rupa
untuk memancing respons indra tertentu. Pengalaman masing-masing pancaindra ini
tidak berdiri sendiri, mereka berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama
lain pada saat yang sama ketika Anda menikmati makanan/minuman.
Rasa oleh Lidah dan Hidung
Ada 5 rasa utama yang dikenali oleh lidah manusia: manis, pahit, asin,
asam, dan umami. Rasa umami mungkin tidak sefamiliar 4 rasa lainnya. Tetapi,
secara bebas dan sederhana, umami bisa diterjemahkan sebagai rasa seperti rasa “micin”
atau penyedap rasa. Pada makanan alami, misalnya bisa kita temukan pada jamur,
keju, fermentasi ikan, fermentasi kacang-kacangan, tomat, dan lain-lain. Kelima rasa ini dirasakan oleh indra
pengecap yang terdapat pada lidah kita. Teori lama mengatakan bahwa bagian lidah tertentu
bertanggung jawab terhadap rasa tertentu. Namun, ternyata penemuan terbaru
menyebutkan bahwa pengalaman rasa yang dikecap oleh lidah adalah pengalaman
simultan yang tidak dapat dibagi-bagi pada area lidah tertentu.
Persepsi 5 rasa ini pada saat yang bersamaan sangat dipengaruhi oleh indra
penciuman kita. Suatu makanan/minuman akan benar-benar terasa manis, pahit,
asin, asam, dan umami ketika hidung kita mencium aromanya. Aroma makanan ini
akan tercium mulai dari ketika makanan/minuman tersebut tersaji di depan Anda,
sampai ketika makanan/minuman tersebut dikunyah dalam mulut Anda. Itulah sebabnya
ketika Anda sedang flu dan penciuman Anda terganggu, makanan akan terasa hambar
dan cita rasanya tak setajam yang Anda rasakan ketika Anda sehat.
Bagaimana Makan dengan Mata, Telinga, dan Indra Peraba?
Rasa makanan/minuman yang kita persepsikan dengan lidah dan hidung sebagai
stimulus universal yang menimbulkan rasa bahagia, tak lepas pengaruhnya dari
apa yang kita lihat, dengar, dan rasakan dengan sentuhan.
Bentuk dan warna makanan/minuman, bagaimana cara penyajiannya, termasuk
bentuk dan warna wadah penyajiannya mempengaruhi persepsi kita terhadap
makanan/minuman tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan misalnya makanan yang
disajikan dengan piring berwarna merah dapat menurunkan nafsu makan, karena
otak kita mengasosiasikan warna merah sebagai tanda bahaya atau berhenti. Prof.
Charles Spence dalam salah satu penelitiannya, menguji salad dengan komposisi
bahan yang sama (informasi ini tidak diketahui oleh responden), namun disajikan
dengan cara biasa dan cara artistik menyerupai lukisan abstrak. Ternyata, para
responden jauh lebih tertarik untuk menikmati salad yang kedua dan persepsi
mereka pun mengatakan bahwa salad kedua terasa jauh lebih enak.
Ilustrasi penyajian
makanan. (Jacques Lameloise, Wikipedia).
Hal menarik lainnya, ide mengenai “bumbu suara” (sonic seasoning).
Prof. Charles Spence dan tim risetnya menemukan bahwa dengan mendengarkan musik-musik
dengan pola irama tertentu, ternyata persepsi kita terhadap rasa manis, asam
dan pahit dapat meningkat hingga 15%. Begitu pula ketika suatu makanan khas
daerah tertentu disajikan dengan musik khas daerah tersebut, akan terasa lebih
otentik dibandingkan jika makanan yang sama disajikan dengan musik lain atau
tanpa musik sama sekali. Bunyi renyah yang kita dengar ketika kita mengunyah
makanan tertentu ikut mempengaruhi pula persepsi kita tentang rasa karena otak
kita umumnya mengasosiasikan renyah dengan tingkat kesegaran bahan makanan,
terutama untuk buah-buahan dan sayur-sayuran.
Bagaimana dengan sentuhan oleh indra peraba kita?
Persepsi rasa makanan juga dipengaruhi oleh sensasi yang dirasakan oleh
kulit kita. Sebagai contoh, berdasarkan penelitian, ternyata makanan akan
terasa lebih enak jika disajikan dengan sendok/garpu yang lebih berat karena
otak kita mengasosiasikan berat dengan kualitas. Pada saat yang sama, makanan
yang disajikan di dalam mangkuk yang kita pegang (bukan diletakkan di atas
meja) membuat kita merasa lebih cepat kenyang meskipun porsinya sedikit.
Rasa sebagai pengalaman pancaindra yang diterjemahkan oleh otak kita
bukan suatu kesimpulan yang kita peroleh hanya pada saat kita menikmati
makanan. Rasa dipengaruhi pula oleh pengalaman kita sebelumnya sehingga
membentuk ekspektasi kita.
Contoh sederhananya, ketika Anda menikmati eskrim stroberi, kita akan
mengasosiasikan rasa es krim tersebut dengan rasa manis, asam, aroma buah
stroberi, warna merah, dan sebagainya. Satu saja ekspektasi ini berubah, pengalaman rasa yang
Anda nikmati akan berubah. Belum lagi
jika Anda melibatkan nostalgia di dalamnya, misalnya pengalaman masa kecil yang
mengingatkan Anda ketika kakek Anda membelikan es krim stroberi setiap Anda
berkunjung ke rumahnya.
Mengapa Penting untuk Menikmati Makanan dengan Khusyuk?
Makanan adalah kebutuhan dasar manusia untuk tetap hidup, semua orang tahu
tentang ini. Tetapi, seberapa banyak orang yang benar-benar menghargai makanan?
Makan adalah pengalaman universal, tapi pada saat yang sama merupakan
pengalaman paling personal.
Makan dan makanan merupakan salah satu “bahasa” pertama yang kita pelajari.
Ketika kita masih bayi, kita makan sebelum kita berpikir, sebuah tindakan
alamiah tanpa sadar yang didorong oleh insting untuk bertahan hidup. Kemudian,
ketika tumbuh semakin dewasa, makan menjadi suatu tindakan sadar namun tetap
mempunyai sisi tak sadar di dalamnya.
Sederhananya seperti ini. Ketika Anda lapar dan tersedia makanan di depan
Anda, sebelum memutuskan untuk makan, ada keinginan dan pilihan sadar yang
berkelindan dalam pikiran Anda. Lalu, ketika Anda makan, proses-proses
selanjutnya sudah seperti otomatis saja, Anda mengunyah makanan antara sadar
dan tak sadar, termasuk menikmatinya dengan 2 indra utama: lidah dan hidung.
Sisanya? Sepenuhnya dikendalikan oleh saraf-saraf tak sadar ketika makanan
masuk ke kerongkongan dan dicerna oleh perut Anda.
Di lihat dari sisi lain, makan dan makanan
adalah salah satu hubungan manusia paling dekat dengan alam. Jadi, apa dan
bagaimana kita makan tidak hanya mempengaruhi kesehatan kita saja, tetapi akan
sangat mempengaruhi pula alam di sekitar kita dan bumi secara keseluruhan.
Menikmati makanan dengan khusyuk akan mendorong kita untuk menjadi manusia
yang sadar akan tindakan kita ketika makan. Tahu batas kapan berhenti, tidak
terjebak menjadi rakus, serta sadar memilih makanan apa dan berapa jumlahnya
yang baik untuk tubuh kita sekaligus baik untuk alam sekitar. Namun, pada saat
yang sama, kita juga akan menghargai makan sebagai suatu bahasa cinta, ungkapan
rasa syukur, dan pengalaman yang dapat dinikmati sepenuhnya oleh seluruh
pancaindra, tanpa rasa bersalah atau bahkan membenci makanan tertentu.
Dalam aspek ini, gastrofisika memberikan harapan baru bagi kita untuk
menyikapi permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan pola makan dan
nutrisi, misalnya obesitas, kurang gizi, limbah makanan, serta konsep
keberlanjutan (sustainability) yang berhubungan dengan kelestarian
lingkungan. Rekayasa terhadap cara kita mempersepsikan makanan dengan seluruh
pancaindra dapat membantu kita mengubah pola makan menjadi lebih sehat, tak
hanya untuk tubuh kita, tetapi juga lingkungan kita.
Lain waktu, ketika Anda menikmati semangkuk soto di depan Anda,
pernahkah Anda berpikir, bagaimana Anda menghargai cita rasa soto tersebut
sebagai sebuah pengalaman pancaindra yang menyenangkan, menyehatkan tubuh dan
lingkungan sekitar, serta memancing tumbuhnya rasa syukur Anda?
Referensi:
1. Spence, Charles (2017): Gastrophysics: The New Science
of Eating. VIKING, Penguin Random House LLC, New York, USA.
2.
Steel, Carolyn. (2020): Sitopia: How Food Can Save the
World. VINTAGE, Penguin Random House UK, London, UK.
3. Mouritsen, Ole G. (2012): The Emerging Science of
Gastrophysics and Its Application in the Algal Cuisine. Flavour 1(1): 6.
4.
Mouritsen, Ole G., Risbo, Jens. (2013):
Gastrophysics-Do We Need It? Flavour 2(1): 3.
5. Top Chef Charles Michel: We Should Eat with Our Hands.
https://www.stuff.co.nz/life-style/food-wine/113533300/top-colombian-chef-charles-michel-heading-to-wellington-for-handson-experiences
6. A
Guide to Conscious Eating. https://charlesxmichel.com/consciouseating
Artikel ini pertama kali terbit di Kumparan: