Hari ini, di hari ke 17 Ramadhan yang jatuh
bertepatan dengan hari senin adalah hari yang istimewa. Setidaknya bagi beberapa
sahabat, sanak saudara, dan handai taulanku yang memiliki anak berusia sekitar
6 hingga 7 tahun. Hari ini adalah hari pertama anak-anak mereka masuk Sekolah
Dasar, sebuah titik awal perjalanan panjang yang akan mereka tempuh setidaknya
dalam 12 tahun ke depan. Sebagian ada pula yang sudah mengawali lebih dahulu sekitar satu pekan.
Tidak seperti di Jerman, anak-anak di Indonesia,
mulai dari pendidikan dasar hingga sekolah menengah diwajibkan memakai seragam,
lengkap dengan topi dan dasi. Aku masih ingat wangi kain pakaian seragam yang
baru dibeli ibuku di Pasar Dalam, Tanjongpandan. Pasarnya pun sekarang sudah
tak ada lagi, sudah berubah menjadi area taman dan Tugu Bundaran Satam yang
menjadi ikon Kota Tanjongpandan. Rok merah model lipat-lipat, kemeja putih
yang kerahnya masih kaku dan baru sedikit lembut setelah beberapa kali dicuci,
dasi dengan tali karet yang masih sempit mencekik leher, sepatu baru yang masih
agak kebesaran, lalu topi yang harus diberi nama di bagian dalamnya karena
rawan tertukar. Seragam SD adalah seragam yang paling kuingat seumur hidupku,
seragam penuh kenangan.
Di hari pertama masuk SD dulu, aku
didaftarkan orang tuaku di SD yang terletak di depan rumah kakek, SD Negeri 9
Tanjongpandan, SD yang berbeda dengan abang. Tiga tahun sebelumnya abang
didaftarkan ayah di SD PN Timah, yang kemudian menjadi SD Negeri 39 Tanjongpandan.
Memori hari pertama yang paling kuingat adalah ketika kami, murid-murid kelas 1
dikumpulkan oleh guru kelas kami, Bu Emi, untuk difoto satu per satu. Pas foto yang kemudian akan ditempel di halaman pertama
Buku Rapor kami. Foto itu masih disimpan hingga hari ini oleh ibuku, wajahku
tegang dan agak cemberut, karena kuingat banyak sekali anak-anak lain yang
menangis di hari istimewa itu. Aku gusar melihat tingkah mereka.
Pelajaran yang paling
kusukai sejak pekan pertama kelas 1 adalah Berhitung dan Menggambar.
Pelajaran-pelajaran lain aku kurang suka. Aku ingat dulu ketika guru kami
memberikan soal ulangan untuk pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila), aku
protes dan tak mau mengerjakan sama sekali. Entah apa yang ada dalam pikiranku
ketika itu. Protesku rupanya terus berlanjut ketika aku hanya mendapat
peringkat kelas urutan ke 11, padahal aku yakin, nilaiku tak seburuk itu. Siang
itu, aku pulang dengan wajah cemberut, aku minta pindah. Kalau tak dikabulkan,
aku mengancam akan mogok sekolah. Ayahku kalang kabut, maka sejak kelas 2 aku
dipindahkan ayah ke SD Negeri 39, SD yang sama dengan abang.
Ternyata aku lebih betah
di sekolah yang baru. Jumlah murid dalam 1 kelas tak sebanyak waktu di sekolah
yang lama. Kami menjadi sangat dekat satu sama lain. Aku menamatkan Sekolah
Dasarku di sekolah yang terletak tak jauh dari Pantai Tanjong Pendam ini. Lima
tahun masa kanak-kanak yang sangat berharga dan penuh kenangan. Di sekolah ini,
pertama kali aku memiliki kawan anak nelayan. Lalu ada pula seorang kawan yang usianya
terpaut sekitar 5 tahun lebih tua dari kami. Dialah kakak tertua yang selalu
membela dan melindungi kami. Di sekolah ini pula, kepalaku pernah terluka. Pada
suatu siang yang terik, ketika sedang asyik berlari-lari bersama kawan-kawanku,
tiba-tiba tanpa sengaja dahiku membentur tiang besi penyangga ring basket.
Darah segar mengucur, kawan-kawanku berteriak-teriak karena panik. Tetapi, aku
tak sedikit pun menangis. Siang itu ketika ibuku datang menjemput dengan wajah
pucat, aku malah tersenyum bangga. Di sekolah ini aku belajar untuk menjadi pemberani dan
tidak cengeng, karena aku tahu banyak kawan-kawanku yang lebih tidak beruntung
dariku.
Hari perpisahan SD
adalah hari perpisahan sekolah paling sedih yang pernah aku rasakan. Karena
ikatan emosional yang terbangun selama 5 tahun itu membuat kami sudah seperti
saudara. Siang itu, kuperhatikan wajah kawan-kawan sekelasku satu per satu. Aku
tak menangis karena gengsi, sebab aku tak dikenal sebagai anak yang cengeng. Padahal,
bangunan sekolah rasanya seperti doyong dan akan roboh menimpaku. Aku sedih karena
kami tak bisa lagi menghabiskan sore di sekitar dermaga dan pesisir
perkampungan nelayan sepanjang Pantai Tanjong Pendam dan Air Saga. Kami tak
bisa lagi bersepeda berkejar-kejaran hingga ujung Jeramba Kubu, yang ketika itu
masih terbuat dari papan-papan kayu lusuh. Kami tak bisa lagi mandi air hujan
lalu berlari-lari memanjat anak-anak tangga benteng Belanda. Begitu kami menamakan
reruntuhan bangunan di bawah pohon beringin samping sekolah kami. Lalu ketika
tiba bulan Agustus, bulan kemerdekaan yang identik dengan berbagai perlombaan,
aku pernah memimpin kawan-kawanku mengikuti lomba baris-berbaris antar sekolah.
Walaupun kemudian kami tak juara, tetapi selalu ada kenang-kenangan yang tak
lekang dimakan usia.
Hari ini, melihat
foto-foto anak-anak dengan seragam baru, ingin rasanya aku berpesan. "Nak,
habiskanlah masa SD-mu dengan bermain sepuas-puasnya. Carilah sahabat sebanyak-banyaknya.
Habiskan waktumu untuk mengenal alam dan ciptaan-Nya yang sungguh luar biasa.
Berlarilah sejah-jauhnya, melompatlah setinggi-tingginya. Karena nanti di masa
depan akan kau hadapi dunia yang kian sombong dan tak peduli. Dunia tak akan iba pada
orang-orang pengecut dan tak punya jati diri. Maka jadilah pemberani!"
Bochum, 14 Juli 2014