Thursday, December 12, 2013

Reuni Kecil di Awal Musim Dingin, Akhir Tahun Ini

Dia seperti melayang tertiup angin yang datang tiba-tiba, hanya sekedipan mata. Kau jangkau-jangkau pun percuma, dia tak akan pernah kembali lagi. Pertemuanmu memang tak lama, itu lah waktu, Kawan. Bulan Desember adalah bulan dengan hari-hari terpendek dalam setahun di belahan bumi sebelah utara. Pagi rasanya tak tegak-tegak, tahu-tahu seperti disambar elang, matahari begitu lekasnya pulang.  Dan aku masih di sini, melalui hari demi hari, mengamati musim-musim berganti. Bulan-bulan terakhir tahun ini ditandai beberapa peristiwa penting dalam hidupku, tak terkecuali sore itu.

Suasana Hörsaal HID tak seperti biasanya, bukan ramai suara mahasiswa. Ruangan dengan langit-langit tinggi menjulang itu, dirancang dengan apik. Kiranya memenuhi kriteria-kriteria bagaimana seharusnya sebuah ruangan kuliah dibangun, pas secara akustik, termal, dan pencahayaan. Kesimpulannya memang nyaman dan tepat guna. Baris-baris bangkunya kokoh dari kayu berwarna coklat muda, disusun dalam deret-deret bertangga, persis seperti ruangan-ruangan kuliah antik di kampus ITB. Aku jadi ingat dosen-dosenku dulu, walaupun aku tak melanjutkan bidang keahlian fisika bangunan, namun pengetahuan tentang hal itu akan senantiasa bermanfaat bagiku di kemudian hari. 

Sore itu, para Profesor, dosen, pejabat Fakultas dan tamu undangan satu per satu memenuhi ruangan. Banyak wajah yang tak kukenal, sorot-sorot mata mereka teduh sekaligus tajam, pasti bukan orang-orang "sembarangan". Lalu, Supervisorku maju ke depan ruangan, memimpin acara dan memperkenalkan beberapa tamu undangan yang hadir. Acara dibuka dengan adat khas orang Eropa, musik klasik. Tiga orang musisi, "Ensemble Bellamira" sudah siap di depan ruangan. Dalam khayalanku, mereka seperti anak beranak, terdiri dari seorang ibu yang piawai memainkan piano, seorang anak bujangnya terampil menggesek cello, dan anak gadisnya yang tak kalah gesit jari-jarinya memainkan seruling kayu.

Semua hadirin sudah duduk dengan rapi di deretan bangku-bangku kuliah tadi, hening. Lalu alunan lembut seruling kayu merambat lamat-lamat, memenuhi seisi ruangan, berkejar-kejaran dengan denting-denting piano dan gesekan cello. Iramanya harmonis, dalam ketukan-ketukan cepat dan lambat berganti-ganti. Layar display di dinding bagian depan ruangan menampilkan judul lagu yang mereka bawakan. Di sana tertulis Sonata op.1 Nr. 2, Fransesco Barsanti (1690–1770). Mataku lekat mengamati tangan-tangan "sakti" di depan sana, siapa mereka yang dengan piawainya menjaga warisan nenek moyang mereka, musisi antah berantah yang hidup berabad-abad sebelumnya. Musik klasik pertama diakhiri tepuk tangan panjang dari seluruh hadirin. Tiga anak beranak tadi mengangguk-angguk membungkukkan badan sambil tersenyum mengembang.

Giliran pembicara pertama yang maju ke depan. Setelah sepatah dua patah sambutan, dia melanjutkan presentasinya dengan serangkaian slide. Baru slide pertama, sebagian wajah kami sudah sedikit "gelisah". Topik yang dia bicarakan begitu kental berbau kedokteran, sedangkan sebagian besar hadirin adalah orang-orang teknik. Fakultas kami pun dengan terang dinamakan "Fakultät für Elektrotechnik und Informationstechnik". Tapi, tunggu dulu, Kawan. Bapak setengah baya ini salah satu orang terpenting dalam perhelatan di sore yang dingin ini. Dia seorang Profesor dari RWTH Aachen, ahli pencitraan molekuler. Pak dokter ini kutaksir umurnya baru 40an awal, namun kecerdasannya berhasil menyihir hampir seluruh ruangan. Kuperhatikan beberapa wajah Profesor sepuh tampak mengangguk takzim, seperti hendak bertanya, tersenyum, lalu sesekali mengetuk-ngetukkan jarinya pelan-pelan ke meja, seperti sedang berpikir dengan seksama, sekaligus menikmati sajian dari seorang "anak muda" di depan mereka ini. Tak tampak lagi wajah gelisah seperti pada awal presentasi tadi. Presentasi hampir satu jam ini disajikan sebagai pembuka wawasan kedokteran yang telah "dikawinkan" dengan ilmu teknik, khususnya untuk aplikasi pencitraan molekuler. Tepuk tangan panjang menyudahi slide terakhir berisi foto sang dokter, supervisorku dan bintang tamu yang sesungguhnya paling kami tunggu, dalam sebuah konferensi di Dublin tahun lalu. 

Kelompok "Ensemble Bellamira" menunaikan tugas keduanya. Kali ini aku tak terlalu memperhatikan lagi judul lagu yang mereka bawakan. Pendeknya, mata hadirin kian tersihir oleh penampilan piawai mereka. Tak kurang dari 4 lagu karya musisi-musisi klasik abad ke 15 dan 16 mereka bawakan hingga akhir acara. Berganti-ganti dengan penampilan dua ilmuwan hebat yang berkicau-kicau menikmati helai-helai presentasi berisi penemuan yang menjadi salah satu pencapaian dalam hidup dan karir mereka. 

Siapakah gerangan bintang tamu yang paling kami tunggu sore itu? Dia lah Moni, sahabat kami yang cerdas dan baik hati. Walaupun sudah menjadi Doktor sejak musim semi tahun lalu, tak tampak ada yang berubah dari pribadi yang bersahaja ini. Beberapa jam sebelum acara, dia khusus datang ke kantor kami, rekan-rekan lamanya. Hari ini seperti sebuah reuni kecil untuk kami. Moni mengetuk pintuku saat aku sedang makan siang. Dia memelukku seperti pertama kali kami bertemu 2 tahun yang lalu, ketika dia menjemputku di bandara Düsseldorf, kali pertama kakiku menginjak tanah Eropa. Senyumnya tak berubah, pun gaya bicaranya yang terkesan begitu akrab. "Bagaimana, Hesty? Sudah benar-benar jadi orang Jerman kah, kau sekarang?" begitu sapaan pertamanya padaku, mungkin lantaran dia melihat aku makan roti, bukan nasi. Aku mengucapkan selamat padanya atas sebuah pencapaian hebat untuk ilmuwan muda sepertinya, dan aku pun turut merasa bangga sebagai kawannya. Tahun ini, Moni memperoleh penghargaan bergengsi dari sebuah asosiasi ahli dan teknologi atas hasil penelitian disertasinya dulu yang dianggap luar biasa, berjudul: "Pencitraan Ultrasonik Molekuler Kuantitatif".

Moni maju ke depan, menyajikan hasil penelitiannya yang rupanya masih dilanjutkannya hingga sekarang bersama Profesor muda dari Aachen tadi. Deja vu aku memandang baris-baris tulisan yang disajikan Moni, presentasi yang sama yang kami nikmati setahun yang lalu ketika ujian sidang doktoralnya. Kontras dengan presentasi pertama, slide-slide Moni lebih didominasi oleh benda-benda yang lebih akrab kami lihat sehari-hari, rumus dan angka serta animasi gambar 3 dimensi. Di bagian akhir baru berbau kedokteran sebagai bagian dari tahap aplikasi dunia teknik di bidang kedokteran. Presentasi hampir setengah jam itu, ditutup dengan tepuk tangan yang lebih meriah. Perwakilan asosiasi pemberi penghargaan maju ke depan bersama Supervisorku, menyerahkan piagam dan seikat bunga untuk Moni. Kulihat ayah Moni sedikit terharu, wajahnya seperti hendak menangis. Matanya lekat memperhatikan anak kesayangannya itu, satu dua blitz kameranya mengabadikan salah satu momen bahagianya tahun ini.

Sore itu, aku menyaksikan bagaimana berbagai kecerdasan dipadu-padankan dalam satu kesempatan. Ketika ilmu-ilmu eksakta menari-nari dalam kepala kami, serta merta pula alunan musik klasik dari abad-abad yang telah lalu membelai lembut telinga kami. Aku menutup sore itu dengan satu tekad dan mimpi. Suatu hari aku ingin seperti Moni, yang mendedikasikan ilmunya untuk kebaikan dan kemanfaatan banyak orang. Kakiku sudah jauh melangkah, tak elok rasanya jika aku mengkhianati semua kesempatan ini. Maka, di sini aku masih berdiri di atas kedua kaki, mari berlari lagi, lebih kencang lagi!

Bochum, 12 Desember 2013

Saturday, December 07, 2013

Mengunjungi Tanah Air, Sebentar Saja

Sejak tadi malam, aku hanya tidur barang sebentar. Sudah lama aku tak menonton film Indonesia. Dari browsing singkat beberapa sinopsis, setidaknya 3 film sudah kutonton hingga siang tadi. Dari tema-tema yang beragam, ada satu benang merah yang bisa ditarik dari film-film tersebut. Persepsi tentang dunia luar, Eropa khususnya, digambarkan agak aneh menurutku. Ataukah aku yang memang lugu?

Eropa digambarkan sebagai budaya unggul yang terlalu diagung-agungkan. Tempat segala tujuan dunia ditambatkan serta cita-cita yang tak jelas motivasinya. Gaya hidup ke-Eropa-Eropa-an diadopsi mentah-mentah sebagai patokan kemapanan dan modernitas yang kebablasan. Padahal, orang Eropa sendiri tak sebegitunya. Bagi orang dewasa yang sudah matang pola pikirnya, mungkin film-film ini hanya akan sedikit membuat tersenyum, dan menganggapnya sebagai hiburan saja. Namun coba bayangkan bagaimana pengaruhnya bagi anak-anak, remaja, dan usia-usia pra-dewasa. Masa-masa di mana manusia sedang giat-giatnya mencari jati diri.

Aku jadi ingat sebait kalimat dalam Roman Sejarah "Anak Semua Bangsa", Pram pernah menulis: "Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Di mana pun ada yang mulia dan jahat....Kau sudah lupa kiranya, Nak, yang kolonial selalu iblis. Tak ada yang kolonial pernah mengindahkan kepentingan bangsamu." Sekian dekade sudah berlalu, zaman sudah berganti. Setting masa kolonial dalam cerita Pram ini sudah bertransformasi menjadi bentuk lain. Namun relevansinya, menurutku, masih mengena hingga saat ini. 

Hamburg, pada suatu malam di Bulan September

Diam-diam aku sangat bersyukur dibesarkan orang tuaku di lingkungan "udik", di kampung. Tempat segala kesederhanaan, mimpi dan cita-cita kami pupuk sejak belia. Aku bangga di masa kecilku aku tak terlalu mengenal segala macam hiburan elektronik, internet dan sebangsanya. Alam yang mengasuh kami. Masa kecil akan membentuk bagaimana seseorang ketika dewasanya. Masa kecilku di Pulau Belitong, bagiku adalah masa kecil yang paling indah yang akan aku kenang seumur hidupku. Di dalam Novel "Edensor", Pak Cik Ikal pernah menulis: "Kemanapun tempat telah kutempuh, apapun yang telah kucapai, dan dengan siapapun aku berhubungan, aku tetaplah lelaki udik, tak dapat kubasuh-basuh."

Bochum, 7 Desember 2013

Wednesday, December 04, 2013

Jarum Anestesi dan Kasih Sayang Ibu

Kapan terakhir kali engkau bertemu Ibumu, Kawan? Kalau aku baru malam tadi. Beliau tak banyak bicara, hanya tersenyum memperhatikan gerak-gerikku. Demikianlah, sudah 2 tahun berlalu, aku hanya bertemu beliau lewat mimpi atau sayup-sayup suaranya terdengar di ujung saluran internet ketika Ayahku menelpon. Beliau jarang menelponku secara langsung, pun begitu saat aku masih di Bandung dulu. Tak terasa, sudah lebih dari 10 tahun aku meninggalkan rumah. Tak ada yang berubah, aku dan Ibu punya definisi sendiri tentang cinta dan rindu, tak ada orang lain tahu.

Sepanjang hari ini, aku mencorat-coret kertas, menyiapkan rancangan yang besok akan kubawa ke bengkel workshop. Jarum-jarum anestesi berserakan di atas mejaku, dingin dan tak peduli. Tiap centimeternya akan menembus kulit dan daging, mengalirkan "obat bius" ke tubuh-tubuh yang menahan sakit. Berlembar-lembar literatur tentang anestesi yang kubaca sampai hari ini tak lebih dari helaian kertas bisu. Aku tak bisa membayangkan bagaimana dulu Ibu berjuang melawan rasa sakit demi melahirkanku. Maka, Kawan, doakanlah selalu Ibumu.

Bochum, 4 Desember 2013


Monday, December 02, 2013

Tanjong Pendam

Surut jauh sampai tepian
Mentari luntur indah kilauan
Belaian mayang elok lambaian 
Rinduku hanyut dalam buaian

Pantai Tanjong Pendam, Tanjongpandan, Belitong 
29 Desember 2010

Sepenggal Cerita di Kantor Imigrasi

Pagi masih muda, musim panas mulai beranjak perlahan-lahan, angin pagi nan sejuk menyentuh kulitku dengan ramah. Hari ini, kali kedua aku harus ke Ausländerbüro, kantor imigrasi, untuk mengurus perpanjangan visa. Semua diurus serba rapi dan teratur, bahkan aku sudah mendapatkan nomor antrian sejak minggu kemarin, tepat pukul 10 pagi aku harus menyerahkan semua dokumen yang diperlukan. 

Orang Jerman tak banyak basa basi, jangan terlalu berharap bahwa engkau akan bertemu orang-orang dengan wajah tersenyum ramah di jalan-jalan, langka. Tapi pagi ini, aku punya pengalaman unik. Pegawai Ausländerbüro terkenal lebih tak banyak berbasa-basi, bahkan cenderung 'dingin' dan sangat irit bicara, apalagi dalam bahasa Inggris. 

Aku berusaha mengikuti prosedur dan berbicara sedapat mungkin dalam bahasa Jerman, lalu voíla, wanita muda yang mengurus dokumenku hari ini tiba-tiba ramah dan menimpali semua pembicaraanku dalam bahasa Inggris. Pelajaran moralnya: orang akan senang jika kita berusaha berbicara dalam bahasa ibu di tanah air mereka. Ramah itu tak mengenal bangsa, Kawan.

Bochum, 13 Agustus 2013

Menjalani Mimpi-Mimpi

Aku masih memimpikan banyak hal, tentang dunia penelitian yang bersinergi satu sama lain. Dunia penelitian yang kuhadapi saat ini begitu ideal untuk ukuran orang Indonesia. Betapa tidak, peneliti-peneliti di bidang kedokteran senantiasa bahu membahu bersinergi dengan kami peneliti-peneliti di bidang Engineering. Hal yang masih sulit kita temui di tanah air kita tercinta. Namun, bukan hal yang mustahil, bukan?

Ingatanku melayang-layang jauh ke belakang. Pada suatu siang yang panas, lebih dari 10 tahun yang lalu, aku yang terkantuk-kantuk karena mulai bosan dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia, tiba-tiba ditunjuk ke depan kelas untuk menceritakan mimpi dan cita-cita di masa yang akan datang. Lalu dengan spontan aku menceritakan mimpi-mimpi yang ada dalam kepalaku saat itu. 

Dari sederet mimpi itu, aku uraikan bahwa suatu hari nanti, aku ingin meneliti di suatu lembaga penelitian atau universitas di negara maju, entah di mana, pokoknya ingin saja. Saat itu kukatakan alasannya, sederhana saja, aku hanya ingin tahu apa yang orang-orang lakukan di luar sana, singkatnya aku ingin melihat dunia.

Lalu, sekarang aku menjalani mimpi itu sedikit demi sedikit. Masih berkelut tak habis-habis dengan perjuangan yang juga tak mudah. Namun, sedikit pun aku tak pernah menyesal telah memilih jalan ini. Lalu, alasan sederhana belasan tahun yang lalu itu, kini bertambah dengan kesadaran-kesadaran lain, kesadaran akan manfaat dan tujuan hidup di dunia ini. Suatu saat aku yakin, insyaAllah apa yang aku pelajari hingga saat ini ada manfaatnya. Syukur-syukur bisa dirasakan kontribusi nyatanya dalam aplikasi klinis, suatu hari nanti. Agar lebih banyak lagi dokter yang bisa membantu para pasiennya.

Beberapa bulan terakhir ini, aku dipertemukan dengan orang-orang yang luar biasa. Aku diberikan kesempatan oleh Allah untuk mengenal lebih dekat apa-apa yang dilakukan para dokter di rumah sakit, masalah-masalah apa yang sering dihadapi pasien, lalu mendiskusikannya dengan Profesor pembimbingku, yang notabene adalah seorang "insinyur". Dua tahun belakangan ini, beliau sudah seperti pamanku sendiri, yang masih sabar dan tak lelah menjadi pendengar dan kawan diskusiku hampir setiap minggu.

Suatu hari nanti akan kuceritakan, Kawan, apa yang aku geluti saat ini, dalam dunia "Medizintechnik/ Medical Engineering", sebuah nama yang dulu sangat asing di telingaku. Lalu kuputuskan untuk berakrab-akrab dengannya sejak 5 tahun belakangan ini. 

Oiya, jika suatu hari nanti, kau juga diberikan kesempatan untuk sekolah lagi dan melihat dunia, ambillah cepat-cepat kesempatan itu, Kawan. Niscaya, engkau tak akan menyesal. Sekian banyak tantangan, kesulitan, dan halangan akan menempa jiwamu sekeras baja, agar tak cengeng menghadapi dunia yang kian sombong ini. 

Ada hal lain yang tak kalah menarik, aku dan beberapa orang kawanku yang juga mengalami nasib serupa, "terdampar" di negeri antah berantah, jauh dari bangsanya ini, diam-diam menemukan bakat-bakat tersembunyi, yang kadang kala sulit kita temukan dengan sengaja. Mungkin aku menyebutnya sekedar hobi saja, tak percaya diri jika aku menyebutnya sebagai bakat terpendam.

Lalu pada akhirnya, Kau pun akan pula berpikir, betapa lemahnya diri ini, betapa hanya sedikit ilmu yang kita ketahui, dan betapa Maha Hebat-nya Allah, Yang Menciptakan dunia beserta segala isinya dengan sangat sempurna.

Bochum, 2 Desember 2013
Catatan ini kutulis untuk guru-guruku yang sangat hebat yang tak bisa kusebutkan satu per satu, terutama Bu Nuraini dan alm. Pak Asnawi, serta pasien-pasien di luar sana yang sedang berjuang melawan penyakitnya. Tetap semangat!

Wednesday, November 27, 2013

Pagiku pagi ini

Rembulan luntur di sela kabut
Tengadahku menerobos pokok-pokok meranggas
Remah-remah daun dilahap hujan
Gemericik berbisik lamat-lamat disamarkan angin
Aku, terpaku dibekukan pagi, perlahan-lahan

Bochum, 27 November 2013

Friday, November 08, 2013

Nijmegen, ke tujuh kalinya

Kalaulah ada gubahan lagu tentang kenangan akan sebuah kota, tentu banyak orang yang akan mengingat Yogyakarta. Aku pun menyimpan kenangan manis tentang persahabatanku di sana. Lalu, siapa gerangan penyair yang sudi kiranya menggubah lagu serupa untuk kota Nijmegen? Kota kecil nan cantik di tepi Sungai Rijn, yang riak-riaknya mengalir syahdu, mengirimkan limpahan berkah tak putus-putus dari negeri tetangga, Jerman dan Swiss. Nimwegen, begitu lafal Jerman menyebutnya, kota yang akan aku kenang seumur hidupku, tempat salah seorang sahabatku berjuang dalam 3 tahun terakhir ini. 

Di masa depan, aku akan mengingat setiap sudutnya yang akan menyimpan dengan indah helai-helai kenangan persahabatan kami di negeri orang. Kerlip selasar stasiun, jari-jari sepeda yang kami kendarai mengelilingi sudut kota, derum bus Breng bercorak merah muda, serta merdu lidah Belanda ketika melafalkan "Nai-me-hen". Gelung-gelung logam abstrak di pusat kota, pernah aku bergelantungan di sana pada suatu siang nan cerah di musim semi, lalu kuingat wajah ramah oma-oma Belanda. Demikianlah serpih-serpih kenangan yang akan kususun mozaiknya nanti pada suatu masa ketika kami tak lagi muda. Seperti kerlip lampu yang menari dalam temaram senja, senyum kota Nijmegen seperti tak akan sirna.

Stasiun Nijmegen Centraal menjelang senja, musim gugur 8 Oktober 2013.

Wednesday, October 16, 2013

Balada Gerbong Kereta

Catatan Perjalanan di akhir musim panas, September 2013

Musim panas baru saja berlalu, namun hangatnya masih meninggalkan bekas dalam ingatan. Hari-hari kelabu tak bermatahari, semilir angin dingin merenggut daun-daun yang tak kuasa lagi berpegang erat pada rantingnya. Ada perasaan sedih terselip dalam hati ini, perasaan seperti ditinggalkan orang terkasih, yang menyelinap diam-diam tanpa peringatan.

Aku gemar sekali menghabiskan waktu luangku memperhatikan lalu lalang manusia dan hiruk pikuknya di dalam gerbong kereta. Sore ini, seperti hari-hari yang telah lalu dalam dua tahun terakhir ini, sesekali kuluangkan akhir pekanku untuk mengunjungi sahabatku Mira di kota Nijmegen, Belanda. Sebuah kota kecil nan cantik di hilir Sungai Rhein, yang berubah namanya menjadi Rijn dalam lafal Belanda. Dua setengah jam perjalanan kereta melintasi perbatasan Jerman-Belanda di Kota Kaldenkirchen-Venlo ini selalu menyisakan kesan yang senantiasa menyemai kenangan.  

Biasanya aku memulai perjalanan pada sore hari dan sampai di stasiun Nijmegen Centraal menjelang magrib. Aku menumpang kereta pertama menuju Viersen, kereta regional tujuan Mönchengladbach. Kereta ini hanya 1 tingkat, tak seperti jenis kereta regional lainnya yang biasanya bertingkat 2. Perjalanan tak sampai 1 jam ini biasanya kuhabiskan dengan membaca buku, sambil sesekali memperhatikan orang-orang yang lalu lalang dan asyik dengan kesibukannya masing-masing.

Hampir selalu aku bertemu orang-orang yang membawa serta anjing peliharaannya, anjing-anjing yang sudah terbiasa diajak dalam perjalanan antar kota, sehingga jarang sekali menyalak atau mengganggu penumpang lain. Sore ini, seorang nenek menggendong seekor anjing mungil nan lucu, yang sejak tadi hanya memperhatikan saja lalu lalang orang di sekitarnya, damai dia dalam gendongan sang nenek. Lalu tak jauh dari bangku mereka, duduk seorang Bapak yang sejak tadi membolak-balik halaman surat kabar, mimik mukanya agak serius, tak tertarik dia pada keadaan di sekelilingnya.

Salah satu alasanku membaca buku dalam perjalanan adalah kegemaranku menghubung-hubungkan peristiwa-peristiwa dalam buku pada kenyataan yang sedang kualami dalam setiap perjalanan. Selalu saja jalinan cerita dalam buku yang kubaca saling terhubung dengan khayalan dan memori dalam tempurung kepalaku yang tak lebih besar dari bola cricket ini. Lalu frame-frame pemandangan dari jendela kereta melesap berganti-ganti seperti rangkaian cerita dalam film-film.

Selalu ada suasana berbeda di setiap musim. Beberapa bulan lalu di musim semi, ladang gandum masih menghijau, ladang raps menguning sempurna, lalu beberapa hamparan lainnya ditanami sayur-sayuran. Di akhir musim panas ini, gandum telah selesai dipanen, gulungan jerami dibiarkan terserak di ladang-ladang. Beberapa ladang sudah ditanami jagung yang tak lama lagi akan dipanen di musim gugur. Ketika kereta berjalan agak melambat, pelan-pelan aku bisa melihat pucuk-pucuk pepohonan yang berbaris rapi di kejauhan, rupanya pohon-pohon cemara yang sengaja dibudidayakan untuk hiasan di hari Natal.

Ladang-ladang ini sungguh luas seperti tak bertepi, sampai batas cakrawala yang kulihat hanya hamparan hijau tanam-tanaman. Batas-batasnya adalah deretan pepohonan yang berjajar rapi atau jalan-jalan desa yang hanya sesekali dilalui kendaraan. Rumah-rumah petani dengan kebun kecil berbunga sesekali menyembul di balik pepohonan, menyelinap berganti-ganti dengan pemandangan orang bersepeda atau mesin-mesin pertanian yang teronggok bisu tak bertuan. Tak lama lagi, pohon-pohon ini akan menguning, memerah, lalu berguguran daunnya tertiup angin, menyisakan ranggas yang harus tegar menantang beku. Ladang-ladang ini pun akan tidur panjang berselimut salju, putih menyilaukan mata.


Lalu aku akan melintasi perbatasan dengan kereta kedua, Eurobahn, kereta kuning yang akan mengantarkanku sampai ke Kota Venlo. Biasanya aku hanya berdiri saja dalam kereta ini, karena perjalanannya tak lebih dari setengah jam. Desa-desa yang kulewati semakin sulit aku mendefinisikannya, masih Jerman atau sudah Belanda, biasanya aku bisa menandainya jika sinyal telepon genggamku sudah berubah menjadi NL-KPN, sebuah nama operator komunikasi asal Belanda. Tanda lain adalah semakin banyaknya kulihat orang bersepeda. Di dalam kereta ini, biasanya lebih banyak kutemui orang-orang yang berbicara dalam bahasa Belanda, mimik wajah mereka lebih ramah, lebih terkesan santai dan tidak sekaku orang Jerman. Dari tadi sekelompok anak usia belasan tahun tak berhenti bercerita, mereka sepertinya sedang merencanakan liburan akhir pekan bersama-sama, ah aku hanya menebak-nebak saja karena aku tak begitu paham bahasa Belanda.

Oh iya, buku yang kubaca sore ini adalah "Teman Merawat Percakapan", sebuah catatan jejak perjalanan berkarya Pak Koskow dalam dunia seni grafis. Beliau adalah dosen Institut Seni Indonesia Yogyakarta, seorang guru sekaligus sahabat dari sahabatku Ponda. Cerita-cerita Pak koskow tentang masa kecilnya, tentang reuni bersama kawan-kawan SD-nya sampai pengalaman-pengalamannya berkarya dari waktu ke waktu telah memenuhi otakku akan kenangan-kenangan pada tanah air tercinta. Seseorang pernah mengatakan padaku, cerita yang luar biasa itu bukan tentang pencapaian yang tiada terkira, namun justru tentang keseharian yang senantiasa menorehkan makna untuk kemudian dikenang pada masa yang akan datang. Itulah cerita yang dimiliki semua orang, yakni cerita tentang masa kecil yang tak terlupakan, cerita tentang perjuangan menemukan makna kehidupan, cerita tentang persahabatan atau cinta yang tak lekang dimakan waktu. Cerita-cerita yang sama sesungguhnya akan selalu kita temukan kapan saja dan tak peduli di mana, bahkan di sudut-sudut kereta di negeri jauh ini. Dia melintasi batas negara dan budaya, bahkan mimik wajah bisa menceritakan seribu kisah yang boleh jadi hanya tak mampu saja terekspresikan lewat kata-kata.

Kereta berhenti lambat-lambat di ujung stasiun Venlo. Aku turun dengan sedikit tergesa demi mengejar kereta selanjutnya, kereta senja Veolia. Hiasan bunga-bunga plastik di tiang-tiang stasiun tak kuhiraukan, bunga-bunga yang tetap cantik di segala musim, tak peduli musim apa dan tak peduli pula dengan lalu lalang orang-orang di sekitarnya. Kereta Belanda ini berwarna merah putih dan di beberapa dinding luarnya terlukis wajah-wajah tokoh yang tak kukenal, entah siapa. Perjalanan dari Venlo menuju Nijmegen kurang lebih 1 jam, dan perjalanan terakhir ini yang sesungguhnya paling kutunggu-tunggu, saat lembar-lembar terakhir buku yang kubaca mencapai kesimpulannya, lalu segenap cerita mencapai titik baliknya, berkejaran dengan matahari yang pelan-pelan menunduk ingin mencumbu cakrawala. Awan kelabu sedikit tersibak membiarkan berkas-berkas sinar dari langit mengintip malu-malu pada sapi-sapi gemuk yang digiring petani pulang ke kandang. Kemudian perlahan ladang-ladang petani berganti oleh deretan rumah penduduk, lalu tak lama kemudian Sungai Rijn dengan cantiknya memantulkan kilau matahari senja. Sebuah sore yang sempurna, sesempurna ingatanku akan kenangan pada orang-orang tercinta. Lalu sebaris kata-kata dari Buku "Teman Merawat Percakapan" terngiang-ngiang dibisikkan angin senja: "Aku mengingatmu dengan cara yang sederhana, menyimpanmu di tempat yang teristimewa."

Bochum, 16 Oktober 2013
[Tamat]
[Sambungan dari: Balada Stasiun Kereta:
http://maktjik.blogspot.de/2012/12/balada-stasiun-kereta.html]

Monday, August 12, 2013

Bait-bait Ramadhan

Oleh: Ian Sancin

Hari Pertama Ramadhan. Nafsu terindah bersama Tuhan. 
Bangunlah sahur... katamu, agar dingin pagi hinggap di kulit lembut yang kelak bakal rapuh dihisap bumi. Sementara lidah merasakan nikmatnya sebelum fajar. Tetapi nafsu ternikmat ketika matahari menyentuh siang... semakin lapar semakin dekat di hatimu. Mengapa itu hadir di tanyaku. Jawabmu, itu jembatan terpendek bahwa kau tak perlu membawa apa pun ketika datang padaNYA, kecuali yang kau dapatkan di siang puasamu.

Hari Ketiga Ramadhan. Di bawah Kaki Tuhan.
Seperti gelegar petir menghenjakkan ingatan agar tersadar pada pemiliknya... tetapi desir angin yang sejuk kadang melupakan ingatan hingga tertidur... seperti primata dihembus angin timur. Betapa mudah terlenanya ingatan bahkan lupa... Itukah rasa lapar diberikan, tanyaku padamu. Bisa jadi begitu, jawabmu... sebab bagaimana kau bisa minta maaf jika melupakan kesalahan yang pernah kau buat... agar mata lebih terang melihat dan telinga lebih peka mendengar....

Hari Ketujuh Ramadhan. Angin Melintasi Pucuk Pinus.
Lembang masih lengang, subuh di temaram fajar. Hanya terlihat bayang pucuk pinus bergerak lembut ditiup angin. Sebentar lagi cahaya berpendar... tanda puasa dimulai. Aku masih terdiam ketika kau tanyakan mengapa mematung memandang noktah cahaya di langit. Padahal kau tahu aku tak memikirkan apa-apa kecuali takjubku pada sang pemiliknya. Sungguh semestanya langit dan betapa kecil diri jika tak sanggup melintasi siang menuju senja yang hanya setengah bumi mengitari matahari. Dan setengah hari bukan apa-apa, bukan jarak antara cahaya ke cahaya yang bertabur di langit sana... Maha Besar dan Pemurahnya Allah meringankan beban umatNYA.

Hari Kedelapan Ramadhan. Di atas Belitong.
Hijau putih kuning masih menempel di ingatan... terbingkai di jendela kecil yang melintasi langit... warna itu seperti luka kulit menganga sukar tersembuhkan. Juga tak kulihat pondok huma atau pun ladang sahang, hanya barisan palma merimba.... Milik siapakah bumi tanyaku padamu, ketika terpikir bahwa tanah dikuasai manusia... lalu kau tersenyum sembari mengatakan... kematian pasti datang tapi mempercepat prosesnya tentu diharamkam... lantas aku jadi ikutan tersenyum sembari membayangkan bahwa hanya proses alam dapat membuat usia lebih panjang. Ah, tak cukuplah pelajaran dahaga dan lapar dalam puasa buat memahaminya.... Tidak, kecuali dari kebahagiaan, makan dan minum yang kau dapatkan, begitulah tegasmu....

Hari Kesepuluh Ramadhan. Menghormati Tanah.
Ketika rembulan, angin, hujan dan panas mengatur waktu, tetapi keinginan kita diatur kehendak memasuki segala musim. Ah! Kehendak tak berbatas dan kadang memang menghilangkan batas. Itukah puasa di berikan... tanyaku padamu. Lalu kau tersenyum tak menjawab. Aku terdiam cukup lama, dan akhirnya kau berkata bahwa bukan sekedar tak makan minum dan mengendalikan nafsu tapi mensucikan bumi di dalam tubuhmu. Aku hampir tertawa tapi tertahan setelah tahu bahwa nanti bakal jadi tanah lagi.

Ramadhan Keempatbelas. Sayup Azan.
Sayup azan menenteramkan, menggetarkan... membelah pagi buta di sunyi dingin tanpa mata... lalu, kokok ayam pun terhenti agar sujud subuh terlaksana. Ada yang berbeda dari gema yang sampai ke telinga ketika pikiran bertanya dan hati menjawabnya.... Sebuah suara hanyalah pertanda, katamu. Hanya untuk satu jawabankah, tanyaku padamu. Iya, semua untuk Tuhan, katamu, begitupun puasa sebab lapar bukanlah rasa laparnya, sebab lapar akan hilang jika kau berbuka. Lantas ia buat apa, tanyaku lagi. Ada keteguhan yang baik bakal membaikan sebab bahagia hanya di ketentraman bukan yang di kegelisahan, tegasmu...

Ramadhan Kedelapanbelas. 
Jika setiap hari ada hal sama yang berulang... mata tak liar lagi memandang. Lalu pikiran diam di kesenyapan... dan di dalamnya ada sesuatu yang kudapatkan, aku mengatakannya hanya gambaran... kau sendiri menyebutnya sekedar khayalan.... Keduanya seperti awan bergerak dengan bentuk berbeda... Mengapa begitu, tanyaku padamu... dan katamu, di balik gambaran bukan hanya sesuatu yang lain.... Lalu apa, tanyaku lagi. Kau diam tak menjawab... aku juga diam karena ternyata puasa tak pernah bakal berakhir yang isinya hanya batasan, sebab di luar Ramadhanlah ujian yang paling menentukan.

Ramadhan Keduapuluh. 
Dari manakah datangnya angin ini, ucapmu kepadaku ketika bergidik merasakan dinginnya.... Tentu saja dari arah mata angin, jawabku asal saja guna menepis rasa ngeri yang seketika hadir di gelap malam.... Ia datang kala rasa takutmu hadir, lanjutnya. Lalu mengapa rasa takutku muncul dalam kesunyianku, tanyaku lagi. Agar kau tahu bahwa kematian menjadi kesunyian yang mengerikan kecuali puasamu mabrur dalam zikirmu bersama angin di segala musim.

Ramadhan Keduapuluhtiga.
Di keheningan malam menanti laila... membuatmu tersenyum lugu padaku. Salahkah aku, tanyaku. Tak ada yang salah, jawabmu. Lalu, mengapa senyummu menyimpan sesuatu, tanyaku lagi. Seraya memandang langit malam yang pekat... kau berkata, laila ada di hatimu tak perlu kau tunggu turun dari langit pekat malam sebab dia ada di hati yang benderang ketika puasamu sepenuh cahaya. Lalu, yang dari langit itu apa...? Itu rahmat bagimu.

Ramadhan Keduapuluhempat.
Jika gelap datang pasti ada cahaya yang menerangi setidaknya satu malam di beredarnya rembulan... lalu aku diam, bermandi cahayanya tatkala gelap hatiku memekat dan ia mesti hilang dibersihkannya. Mengapa hanya satu malam laila hadir, tanyaku padamu... dan katamu, rembulan yang menerangi malam sesungguhnya sudah lebih dari laila memberikan berkahnya, hanya yang tak berpikirlah tak pernah merasakannya. Mengapa begitu... Katamu, dinding hati terlalu keras untuk ditembus. Ah, aku jadi malu pada puasaku... sebab enam hari lagi rembulan datang, apakah bakal membawa cahaya baru....

Ramadhan Keduapuluhlima.
Setidaknya perjalanan menuju lima hari lagi bukanlah perjalanan yang pendek sebab apa yang didapat di duapuluh lima hari lalu tak mesti terbawa angin begitu saja... kelapangan hati mestilah dipeluk erat agar tetap bersama sepanjang masa, agar ketika menghadapNya ada teman dalam kesunyian... dan bahagia dalam kegembiraan... begitulah aku berkata padamu. Lalu kau tersenyum, tapi menandai apa? Sudahlah kupikir kau memahami apa yang kupikirkan.... Ternyata tidak, lalu kau berujar, selalu kukatakan padamu... setelah beberapa hari berikutnya, permulaan perjalanan panjang ke ujian sesungguhnya.

Ramadhan Keduapuluhenam.
Bagimana mesti memulainya jika puasa merupakan permulaan di hidup berikutnya menuju yang sebenarnya... kau tak segera menjawab tapi memberikan daun kering yang jatuh ke tanah... lalu berkata, dia menjadi ringan sebab beban dunia tak lagi ada padanya.

Ramadhan Keduapuluhtujuh.
Aku masih tercenung bukan memikirkan ringannya beban yang terlepas selama duapuluh tujuh hari lalu, bukan pula memikirkan permulaan di ujian setelah tiga hari selanjutnya. Bukan, bukan itu... tapi ada yang mengganjal di pikiranku, setelah itu kau bakal ke mana, sebab kau tidak akan menemaniku di sepanjang masa, tanyaku padamu... dan jawabmu, jika puasamu mabrur, aku tetap bersamamu tapi tak lagi berkata-kata hanya memantaskan apa yang pantas untuk dipantaskan... maka pantaskanlah dirimu menjadi yang sebenarnya dirimu...

Ramadhan Keduapuluhdelapan.
Tak ada yang lebih mulia daripada kemuliaan itu sendiri... lalu jika didapatkan akankah derajadku menjadikanku lebih mulia dari yang sesungguhnya... Kau tertawa ngakak... seraya berkata, kemuliaan bukanlah mengejar derajat lebih tinggi tapi memeluk bahagia sejati. Aku tercenung... sepertinya ada yang salah di perjalanan puasaku. Kau tak salah, tandasmu, hanya bagimu kemuliaan serupa kehormatan yang kau dapatkan... padahal kemuliaan hadir atas kehendakNya.

Ramadhan Keduapuluhsembilan
Jika aku tak bersabar maka waktu begitu cepat berlalu sebab semua bisa kugapai dengan lebih cepat... akankah semua alat bantu yang menyertaiku mempercepat proses kematian... bisa jadi begitu jawabmu. Mengapa kau tak begitu tegas mengatakan yang sebenarnya, tanyaku. Jawabmu, kau masih memiliki pilihan hidup yang lebih panjang sebab waktu tidaklah berubah kecuali kau sendiri yang tak sabar dikawal olehnya...

Catatan kaki:
Pak Cik Ian, begitu aku memanggilnya. Mungkin lebih dari sepuluh tahun yang lalu, pertama kali aku bertemu beliau. Saat itu, aku masih duduk di bangku SMA, bukan sekali dua kudengar ayahku bercerita tentang Pak Cik Ian. Ayah begitu gembira menemukan saudara sepupunya ini ketika kami sekeluarga baru pindah ke Pangkalpinang. Waktu berlalu, kali kedua aku bertemu Pak Cik adalah ketika aku masih di Bandung, bulan April 2010, ketika Ayah Ibu mengunjungiku. Lalu kuminta Pak Cik membubuhkan tandatangan di sebuah novel karya Beliau, Yin Galema. Sebuah novel yang meninggalkan rasa bangga ketika selesai membacanya, sebuah novel yang kata ayahku tak sembarang orang bisa menulisnya bahkan untuk membacanya pun kau harus menggunakan hati serta halus perasaanmu, demi meresapi bait demi bait rangkai katanya. 

Aku masih ingat kata-kata Pak Cik, mungkin redaksinya berbeda, namun maknanya tetap kuingat: 'Dunia itu butuh seni dan seniman. Tak elok rasanya kalau hidup tanpa dibumbui seni', begitu kata Beliau. Terima kasih Pak Cik telah mengizinkan untuk merangkum bait-bait Ramadhan ini, terima kasih pula telah menjadi guru bagiku, karya-karyamu selalu menginspirasiku di tengah semak otak kiriku yang sering kali meluap tak mau kalah dengan otak kananku. Salam takzim dari Bochum. 

Bochum, musim panas, 12 Agustus 2013




Friday, July 12, 2013

Semburat Langkah dalam Bayangan Hujan

Malam sudah larut tapi mataku tak kunjung terpejam, bukannya tak mau, tapi memang malam itu  aku tak boleh tidur. Malam yang akan tercerai definisinya karena berkejaran dengan matahari, dalam ribuan mil perjalananku ke tanah seberang. Dalam gelap, kakiku sepertinya harus berlari lagi, berlari lebih kencang lagi. Apa yang akan kutemui nanti juga masih gelap. Lambaian ayah ibu mengantarku di tengah pekat malam Jakarta. Lambaian yang entah kapan akan kulihat lagi. Aku menoleh pada mereka untuk terakhir kali, senyumku mengembang, senyum pamitku untuk mereka yang selalu aku cintai.

Nekat saja pikirku, bekalku sudah lebih dari cukup, aku berbekal doa dan cinta dari orang-orang yang kusayangi. Perasaanku campur aduk, mereka yang telah memenuhi hatiku hingga meluap-luap selama hidupku, kini harus kutinggalkan jauh. Ah, kalau titik referensinya kutukar, bisa kuanggap mereka yang pergi, bukan aku. Gampang juga kupikir, ini hanya main-mainan logika saja. Baiklah, langkahku harus kukayuh, ceritanya baru akan dimulai.

Sore itu, di penghujung musim gugur, langit kelabu menyambutku. Tak ada basa basi, petugas pemeriksa paspor bertanya dengan tatapan dingin "What are you going to do in Germany?" "Study, Sir", jawabku singkat. Tak ada siapa-siapa yang kukenal di sini, harap-harap cemas kutunggu dua teman baruku. Lega ketika kulihat mereka melambai-lambai di pintu keluar. Moni dan Michal, dua teman baru yang dalam seminggu berikutnya membuatku merubah semua persepsiku tentang negeri dingin ini.

Terbangun aku di suatu pagi, kehilangan definisi ruang dan waktu. Kamar ini, ranjang ini, jendela ini, tiba-tiba tak sama lagi. Aku di mana? Kubuka gordyn jendela, hitam pekat di luar sana, aku pun kehilangan pagi, tapi pagi yang mana? Kulirik jam tanganku di atas meja, baru pukul 2, pukul 2 yang mana pula? Aku menghitung-hitung, mencoba kembali pada kesadaran yang sempurna.

Semua serba baru bagiku. Lingkungan baru, teman-teman baru, sistem dan aturan-aturan baru. Berkali-kali kuulangi dalam hati, "Mohon bersabar wahai tubuhku, jangan lelah dulu, petualangan ini baru saja dimulai". Aku tak punya alasan untuk tidak bersyukur apalagi menjadi malas dan skeptis tentang masa depanku.

Pukul 07.30, pagi-pagi sekali, aku sudah rapi jali, menunggu kawan baruku Moni, janji pertama yang aku buat dengan orang Jerman, dan memang tepat pukul 07.30 dia datang. Pelajaran pertama: tepat waktu. Banyak sekali yang harus kuurus hari ini, salah satu yang kutunggu-tunggu adalah bertemu supervisorku, Prof. Schmitz. Lalu, aku berkenalan dengan kawan-kawan baru, 8 orang muda yang penuh semangat. Kuperhatikan gerak-gerik dan tutur kata mereka, pelajaran berikutnya: tak satupun dari mereka yang memanggil supervisor kami dengan embel-embel Prof, Herr atau pun nama belakangnya, cukup nama depannya saja. Dengan begitu, obrolan mengalir lebih hangat, lebih akrab.

Pukul 12 siang, aku dan Moni masih berada di bank, tiba-tiba seperti tergesa ia menelpon. "Kau ada janji?" tanyaku. "Tidak, hanya sudah waktunya makan siang, sebentar lagi kita menyusul mereka ke Mensa", jawabnya sambil tersenyum. Oh, rupanya mereka punya kebiasaan makan siang bersama di Mensa, kantin universitas. Satu meja bersama supervisor dan para kolega. Dari obrolan mereka, terkesan tak ada jarak, walaupun aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan, tak sepatah pun. Siang ini aku makan roti, belum ada nasi. Lalu mereka bertanya-tanya, makanan apa yang aku bawa. Agak sulit menjelaskan apa itu rendang, kubilang saja semacam kari khas Indonesia, karena kupikir tak ada juga padanan kata dari bumbu-bumbunya dalam bahasa mereka.

Alhamdulillah, Dia mempertemukanku dengan orang-orang baik di saat aku tak punya siapa-siapa di sini. Dua teman baruku, Moni dan Michal, mahasiswa doctoral dan peneliti poctdoctoral, muda, cerdas dan baik hati. Di minggu pertama aku di sini, merekalah yang mengantarku ke sana kemari, mengurus ini itu, sampai menemaniku belanja barang-barang kebutuhanku hingga ke kota tetangga. Mereka yang menanyaiku tentang makanan apa yang tidak boleh kumakan, tentang kebutuhan khususku untuk beribadah sampai menjemputku di pagi dingin berkabut, menemaniku berjalan kaki ke kampus di saat semester ticket kereta-ku belum kuperoleh.

Sampai hari ini pun, tak jarang aku sampai merasa tidak enak karena kebaikan mereka. Michal akhirnya memilih berkarir di perusahaan. Cake pisang, bolu coklat dan teh hangat, sore sederhana yang akan tetap kuingat, perpisahan dengan teman kami, Michal yang baik hati.

Di sini, satuan terkecil Fakultas adalah Institut. Institut kami terdiri dari seorang Profesor, 2 orang dosen, 8 asisten peneliti (mahasiswa doctoral), seorang sekretaris dan seorang pegawai administrasi. Dengan 12 orang ini lah, hidupku dalam beberapa tahun ke depan akan kuwarnai. Kukenali wajah mereka satu persatu, salah seorang temanku berasal dari Iran, satu lagi berasal dari Kazakhstan namun sejak kecil pindah ke Jerman, dan sisanya adalah native Jerman.

Salah satu alasanku untuk berpetualang adalah aku ingin mengenal berupa-rupa manusia. Ingin kuselami pikiran mereka, kubaca budaya mereka dan kukenal dunia selain tanah asalku. Aku ingin belajar banyak hal.   Di sini aku tak akan kesepian, selama masih ada hujan, derainya bisa kutatap dari balik jendela, indah. Selama masih ada bintang, bulan dan awan, dongakku tak akan bosan menatap langit. Pun matahari walau tak sehangat yang selama ini kukenal, tak akan berubah menyiratkan harapan. Dalam setiap desir angin, pergantian musim dan lalu lalang manusia, ingin kuhirup nafas terdalam dengan mata terpejam. Biar serpihnya mengalir hingga urat nadiku, menenangkan.

Singkat saja kulewati bulan-bulan pertama yang semakin dingin, aku rindu matahari. Tanpa sadar, kita selalu mencetak persepsi-persepsi di kepala kita. Lalu pelan-pelan mencocokkannya dengan kenyataan yang kita temui setiap hari. Persepsi selalu bersifat subjektif, dibangun dari perasaan dan pengalaman, lalu tersusun sedemikian rupa menemani pembelajaran setiap insan sepanjang hidup. Persepsi pertamaku tentang Jerman adalah dingin, iklimnya, juga orang-orangnya. Benar atau tidak, sedikit demi sedikit kucoba definisikan sendiri. Dingin, menurut kulit Melayuku yang sebelumnya tak pernah tersentuh salju, tapi tidak setelah kulewati musim dingin pertama dengan suhu yang anjlok hingga -18°C. Allah Maha Kuasa, Dia menciptakan tubuh manusia sesempurna-sempurnanya, yang bisa menyesuaikan diri seiring waktu. Aku pun tetap bertahan hingga hari ini, menyambut musim dingin kedua yang terasa lebih "hangat", relatif bukan? Dingin, jika kita bertemu orang-orang tak dikenal yang lalu lalang di perjalanan, tapi tidak jika kita mengenal mereka secara personal. Ramah mereka tak kalah hangat dibanding matahari bulan Juli.

Dari 365 hari dalam satu tahun, mungkin tak lebih dari 3 bulan, Jerman disiram hangat matahari sempurna. Sisanya adalah hari-hari kelabu, dingin, hujan, bahkan bersalju, yang membuat orang tak betah berlama-lama di luar, bahkan sering sekali menciutkan semangat untuk bangun pagi. Bagaimana mungkin mereka akan seramah orang Indonesia yang bisa menikmati hangat sepanjang tahun. Mereka hanya punya musim panas yang tak begitu lama, yang sontak membuat orang-orang tiba-tiba riang gembira. Generasi demi generasi, alam telah membentuk mereka seperti itu. Suatu hari, aku duduk seorang diri di bangku kereta menuju Belanda. Aku harus turun di Arnhem, sebuah kota di timur Belanda dan melanjutkan perjalanan dengan kereta berikutnya. Orang Belanda relatif lebih ramah, teoriku tentang iklim tak sepenuhnya benar, mungkin karena mereka bangsa pedagang, entahlah. Sesampai di Belanda aku menjadi pelupa, satu hal yang paling lumrah dilakukan orang Indonesia: tersenyum!

Suatu waktu aku berpikir, apa yang membuat orang Jerman begitu giat. Dibanding Indonesia mereka tak punya apa-apa! Indonesia punya semuanya, iklim yang ramah sepanjang tahun, sumber daya alam yang melimpah, laut yang luas, hutan yang kaya, dan penduduk dengan persentase usia produktif yang relatif tinggi. Sungguh anugerah yang tak terhingga. Orang Jerman harus berjuang mengatasi tantangan alam, mereka tak boleh manja, kalau tak pintar-pintar mereka bisa mati konyol. Berabad-abad kenyataan ini mendorong mereka berpikir keras, mencari cara, mengolah akal, lalu terciptalah penemuan-penemuan hasil teknologi rekayasa untuk memudahkan hidup mereka. Selanjutnya seiring zaman, mereka lalu berpikir untuk menguasai dunia! Itulah manusia, kisahnya tak jauh-jauh dari nafsu yang senantiasa menderu.

Sejak kecil aku senang sekali mendengarkan bahasa-bahasa yang terdengar asing di telingaku. Dulu setiap pukul 5 pagi, radio BBC berbahasa Inggris gemerosok timbul tenggelam terdengar sayup-sayup dari ruangan tengah rumah kami atau sesekali ayahku menonton berita CNN di televisi. Aku belum mengerti apa yang disampaikan pewarta berita itu setiap pagi, sederhananya aku hanya senang mendengarkan mereka berkicau-kicau dalam bahasa mereka sendiri. Pada kenyataannya bahasa Inggrisku tak maju-maju. Belasan tahun kemudian, mau tak mau aku harus bisa berbahasa seperti mereka, ditambah lagi kenyataan baru, aku harus bisa berbahasa Jerman. Orang Jerman mencintai bahasa mereka seperti orang Melayu mencintai syair, tak bisa ditawar-tawar. Sejak Februari, di akhir musim dingin yang lalu, kupecut lidahku untuk belajar bahasa baru. Bahasa Jerman terdengar lebih berat, seperti suara orang sedang menggeram, huruf-hurufnya seperti keluar dari pangkal-pangkal leher dan nadanya naik turun, sekali lagi ini hanya persepsiku. Bulan demi bulan, sedikit demi sedikit aku tak lagi buta aksara. Kali pertama kulihat pamflet dan pengumuman di jalan-jalan, aku hanya mampu menerka-nerka dari gambarnya. Sekarang semuanya sudah terlihat lebih menarik, aku tak lagi buta arah, pun suara Ibu-Ibu pemaklumat di stasiun kereta sudah terdengar akrab di telinga. Sekarang aku paham apa isi perbincangan sahabat-sahabatku setiap makan siang, sekarang aku tahu apa yang mereka tertawakan. Setiap aku mencoba berbincang dalam bahasa Jerman, mereka begitu senang, walaupun berkali-kali aku harus mengulang-ngulang: "Wie bitte?". Tak masalah, setidaknya aku sudah mencoba, dan itu yang mereka hargai. 

Satu lagi yang kupelajari dari sahabat-sahabatku: segala sesuatu itu harus dibicarakan jika memang diperlukan, kalau kita tidak menyampaikan jangan harap mereka akan berinisiatif menanyakan, apalagi memberi bantuan. "Kami tak mahir membaca pikiran", begitulah kira-kira maksud mereka. Dan kalau sudah berniat membantu, mereka tak pernah setengah-setengah, kalau memang tidak bisa mereka akan menyampaikannya sejak awal.

Orang Jerman senang sekali menstatistikkan segala sesuatu, sehingga memudahkan mereka untuk melakukan evaluasi dan terus-menerus meningkatkan kualitas. Semuanya dibuat serba terstruktur dan rapi. Perjalanan dari kota A ke kota B akan lebih mudah diperkirakan, sehingga tak menyusahkan jika hendak membuat janji bertemu. Semuanya jadi serba mudah. Tapi diam-diam aku merindukan semrawut transportasi di tanah air, rasanya lebih menantang dan penuh duga-duga, lebih "nyeni"!

Sejak kecil aku menyukai museum, dan kota kecilku nun jauh di Pulau Belitong sana hanya punya satu museum mungil yang berdiri hingga hari ini, tak jauh dari sekolahku dulu. Museum yang merangkap menjadi kebun binatang, museum yang selalu aku rindukan. Aku begitu menikmati saat-saat larut terbawa bingkai-bingkai waktu yang terserak dalam keping-keping sejarah. Rasanya seperti hidup di zaman yang berbeda, dilahirkan kembali dan kebingungan menemukan jalan pulang. Di Jerman, hampir di setiap kota bisa kita temukan berbagai museum, mulai dari museum sejarah, museum seni, museum makanan, museum olahraga, museum tambang dan macam-macam museum lainnya. Tiap ada waktu luang aku selalu ke museum, menelisik helai-helai sejarah dalam temaram lampu di sudut-sudut ruangan tak berdaun pintu.

Aku tak ingin menilai suatu bangsa lebih berbudaya dibanding bangsa lainnya, karena aku percaya setiap budaya terbentuk oleh serangkaian alasan yang panjang, yang pada akhirnya membentuk ciri khas masing-masing. Kita hanya perlu meletakkannya pada tempat yang tepat.

Aku tak akan pernah tahu apa yang akan kuhadapi dalam petualangan ini, pun sampai kapan waktuku habis. Hidup kusebut sebagai petualangan, seperti yang selalu seorang sahabatku kenangkan. Aku hanya ingin berbuat terbaik yang aku bisa, menjalani setiap prosesnya dengan sabar dan syukur sambil sesekali menikmati kejutan-kejutannya. Biarlah kutinggalkan semua kemudahan-kemudahan di sana, yang sepanjang tahun bisa kukenakan pakaian dengan jenis yang sama, yang dengan mudahnya kuperoleh makanan-makanan yang tak perlu aku bertanya-tanya tentang kehalalannya, yang sepanjang hari bisa kuhabiskan waktu bersama keluarga dan para sahabat.

Di sini, memang tak akan ada pengganti yang sama, tapi akan kutemui pula berupa-rupa pengalaman yang tidak akan kuperoleh di sana. Tak terasa, sudah lebih dari setahun aku di sini. Empat musim telah menyapa dari balik jendela kamarku. Waktu tak akan pernah menunggu, sedetik pun, sekejap pun. Nyatanya dia terus berlalu, tak peduli berapa helai sesal yang kau bakar menjadi abu. Biarlah hanya rindu saja yang akan beradu dengan deru semangat, seperti bayangan hujan yang derainya beradu dengan matahari, langkahku masih belum berhenti.

Bochum, 12 Juli 2013

Empat musim yang setia menyapa dari balik jendela

Thursday, June 27, 2013

di antara

Menyoal pilihan hidup, bagiku tak lebih dari memandang elemen paling dasar dari kehidupan itu sendiri: "hidup untuk apa?" Otakku sedang sedikit rumit sore ini, ingin menalar sekelumit tanya pada diri sendiri. Aku ingin duduk sebentar, berhenti berlari lalu menoleh ke belakang, memandang kelok-kelok yang kadang sudah gelap tertelan belukar.

Pada detik ini, aku mencoba menyusun kembali remah-remah memori yang telah dengan sangat ajaib terangkai membentuk kehidupan yang kujalani pada sekian hari belakangan ini. Beruntung, tak sekali pun ayah ibuku memaksaku untuk menjadi apa, tapi terkadang nalar bebasku sering sekali terlalu menguasai.

Aku masih ingat, berbelas-belas tahun yang lalu, aku pernah punya cita-cita ingin menjadi penerjun payung, lalu ingin jadi tentara, dan terakhir ingin jadi insinyur. Khayalan-khayalan bebas masa kecil adalah api semangat yang senantiasa menyala, merangkai mimpi-mimpi yang bebas pula. Lalu asumsi-asumsi yang dulu kubuat dalam imajinasiku sendiri, dibumbui dengan perhitungan-perhitungan konyol, lambat laun menciptakan  kesadaran-kesadaran baru di kemudian hari, kesadaran akan berbagai ketidakmungkinan dan kenyataan yang pelan-pelan tak jarang bertolak belakang.

Aku paling gemar memperhatikan bagaimana kehidupan merangkai cerita yang diperankan oleh para pelakonnya. Kawan-kawan kecilku dulu, yang berbelas-belas tahun tak terdengar kabarnya, lalu seperti tiba-tiba saja telah menjadi "Bapak-Bapak" dan "Ibu-Ibu" yang dulu hanya kami kagumi lewat buku-buku atau tokoh-tokoh hidup yang kebetulan hadir dalam masa kecil kami. Si A kini telah menjadi dokter, si B jadi guru, lalu si C jadi polisi, dan si D jadi pengusaha. Sayangnya, aku telah melewatkan kisah-kisah mereka, yang tentu bukan hanya sesingkat dan semudah menggoreng telur untuk sarapan pagi.

Lalu, di fase kehidupan selanjutnya, aku bertemu orang-orang dengan berbagai kisah yang tak kalah seru. Ada sahabat yang pun tanpa diminta, selalu menyelipkan nama kita di setiap doanya, ada pula sahabat yang diam-diam menyimpan rindu dalam setiap pertengkaran kecil dan debat tak berkesudahan. Ada sahabat yang sudah tak tahu ingin mencapai apa lagi dalam hidupnya, karena saking suksesnya dalam takaran hidup duniawi, lalu merasakan kegamangan hidup yang luar biasa. Banyak orang yang tak seperti bagaimana tampaknya, keropos paling rapuh yang tersimpan dalam hati adalah teritori paling pribadi yang hanya diketahui oleh si pemilik raga, juga Sang Penciptanya. Oleh karena itu, aku tak pernah berani menilai pribadi orang lain, sedekat apa pun aku mengenalnya.

Lalu bagaimana dengan aku sendiri? Pun demikian adanya. Rangkaian pengalaman, mimpi, logika, usaha dan segala macam kelumit dalam hidup pelan-pelan telah membentuk aku yang seperti sekarang ini. Aku yang masih dengan mimpi-mimpi bebal menari-nari dalam kepala semenjak pagi, aku yang masih sering tak sabar menikmati episode-episode seru yang mengajakku berlari, lalu aku yang pun belum bisa bermanfaat untuk ayah ibuku hingga hari ini.

Setinggi apa pun cita-cita, sejauh apa pun jarak yang pernah ditempuh, selalu ada kata kembali yang senantiasa memberikan secercah harapan. Lelah yang terakumulasi sepanjang hari, punya kata kembali: malam, tidur, atau istirahat. Perjalanan jauh baik itu untuk merantau atau sekedar bepergian, punya kata kembali: pulang, atau mudik. Hidup dengan episode-episode yang tak terduga punya kata kembali: mati, kubur, atau akhirat. Pun fenomena-fenomena di alam ini senantiasa menemui fase kembali untuk istirahat dan memulai siklus berikutnya. Kata ayah ibuku: "Jadi apa pun engkau nanti, jadilah orang yang bermanfaat. Tujuan hidup di dunia ini hanya satu: untuk beribadah, itu saja".

Dalam rangkaian imajinasi bebalku ini, aku punya cita-cita yang sungguh sederhana: menikmati sisa hidup dengan damai di kampung halamanku nun jauh di seberang samudera sana. Hidup sederhana dalam rumah panggung beratap rumbia, tak punya segala macam alat komunikasi elektronik yang mengalihkan dunia nyata yang tinggal satu-satunya di hadapan mata. Lalu pelan-pelan nyawa ini direnggut tanpa ada yang menangisi, dan tanpa menyusahkan seorang pun juga. Ah, damai sekali rasanya.

Bochum, 27 Juni 2013
musim panas berinai hujan

Tuesday, May 07, 2013

Langlang Buana ‘Percakapan Diam-Diam’


Berawal dari kecintaanku pada seni, demikianlah kisah petualangan sebuah buku bermula. Sebuah buku berisi lantunan kata-kata dalam sebuah ‘Percakapan Diam-Diam’, yang telah tunai petualangannya sampai ke Bochum, Jerman, kota kecil tempatku berjuang saat ini.

Suatu sore di bulan Juni, musim panas tahun lalu, sepulang dari kampus, seperti biasa aku melepas lelah sambil membaca buku, menunggu malam tiba, sambil mengamati deras arus informasi dari berbagai media sosial. Sore itu, tanpa sengaja aku menemukan sebuah akun twitter: @lelakibudiman, nama yang unik kupikir. Sejak saat itu, sering kusimak ‘kicauan’ sang @lelakibudiman, yang di kemudian hari kuketahui bahwa ia menulis sebuah buku kumpulan puisi: ‘Percakapan Diam-Diam’, ilustrasi oleh Koskow, dosen ISI Yogyakarta, yang juga pernah mengajar sahabatku, Ponda.

Ayahku juga seorang pembaca akut, kupikir tak ada salahnya menghadiahi beliau sebuah buku. Tanpa pikir panjang, aku pun memesan ‘Percakapan Diam-Diam’ untuk dikirim ke kampung halaman. Nanti saja pikirku, bila masih ada umur untuk pulang, ‘Percakapan Diam-Diam’ bisa kubaca sambil menikmati sore di beranda rumah bersama Ayah.

‘Percakapan Diam-Diam’ pun memulai petualangan pertamanya  dari Jogja ke Tanjungpandan pada November 2012. ‘Bukumu sudah sampai’, kata Ayah pada suatu sore. Lalu Beliau membacakan beberapa bait puisi di dalamnya. ‘Percakapan Diam-Diam’ masih tak terjangkau olehku, saat itu ia mewakili rindu.

Januari lalu, karibku Mira yang sedang belajar di Nijmegen, Belanda, berencana pulang untuk menghadiri pernikahan kerabatnya. Aku pun serta merta meminta kesediaan Mira untuk mengajak ‘Percakapan Diam-Diam’ pulang bersamanya nanti ke Belanda. ‘Percakapan Diam-Diam’ pun melanjutkan petualangan berikutnya dari Tanjungpandan ke Cimahi, Depok dan Jakarta, untuk selanjutnya menempuh perjalanan ribuan mil ke Amsterdam dan Nijmegen pada Februari lalu.

‘Percakapan Diam-Diam’ menikmati musim dingin di Nijmegen, musim dingin yang panjang dan baru beranjak pergi di awal April tahun ini. Mungkin ia terkejut agaknya, melihat kelabu yang enggan pergi, kadang sayup dingin menggigit tiba-tiba menyelinap dari celah pintu. Saat itu ia mewakili tubuh kami, orang Indonesia, yang ringkih diterjang hawa dingin, demi mengejar mimpi di negeri antah berantah ini.

'Percakapan Diam-Diam' pada suatu siang nan cerah
di Keukenhof, Lisse, Belanda
Musim semi datang terlambat, bunga-bunga liar yang sempat bersemi di awal Maret, harus mengurungkan niatnya, rupanya salju masih betah menemani kami berlama-lama. Kuharap ‘Percakapan Diam-Diam’ masih sabar menungguku sampai musim semi tak berbohong lagi.

Bulan Mei pun tiba membawa hawa hangat dan semilir teduh sepanjang sore. Waktu yang tepat untuk menjemput ‘Percakapan Diam-Diam’. Sabtu pagi di Stasiun Leiden Centraal, pada sebuah pertemuan malu-malu, ‘Percakapan Diam-Diam’ terbata mengenalkan diri padaku, tabik senyum rindu, tak ragu lalu kuajak ia menikmati semi di taman bunga Keukenhof.

Dalam perjalanan pulang kembali ke Nijmegen, kubaca lirih sebuah puisi dalam ‘Percakapan Diam-Diam’:

'Percakapan Diam-Diam'  di jendela kereta
dalam perjalanan pulang menuju Nijmegen
Pun Angin Tak Mampu

Ijinkan aku sejenak
menikmati  lembut denyut
yang tak sempat kau ucapkan

Hingga esok
Kubisikkan lirih
selamat pagi.

Pun angin tak mampu
mencuri dengar
debar itu dari hatimu.
***


Seorang gadis Belanda, melirik penasaran mendengar lirih suaraku, senyumnya mengembang. ‘Ini puisi, Nona. Puisi yang kami bawa jauh dari negeri kami, tempat nenek moyangmu dulu pernah menjajah leluhur kami’, gumamku dalam hati.

‘Percakapan Diam-Diam’ pun mengakhiri petualangan panjangnya, tiba dengan senyum bersahaja di Bochum. Kini ia duduk manis di rak bukuku, rumah barunya. Sore ini kami bercakap-cakap, sambil minum kopi. Kabarnya rindu tak perlu alasan, begitu kata ‘Percakapan Diam-Diam’:

Sajak Kecil tentang Rindu

Mungkin tak semua hal membutuhkan alasan, seperti kerinduan.
Datang begitu saja, tiba-tiba. Tanpa alasan, namun menyenangkan.
Kita tak pernah tahu alasan apa yang membuat kita saling merindukan?
Jarak?

Sebelumnya kita tak pernah dipersatukan jarak.
Atau mungkin kita merindukan sebuah pertemuan? Kita belum pernah bertemu sebelumnya. Rindu itu menelusup tiba-tiba.

Kita tak saling memikirkan, namun saling merindukan.
Sebab kerinduan teramat jujur hingga tak mampu membuat alasan.
Alasan kerinduan adalah rindu itu sendiri.
***

Kami pun menutup sore nan manis, semanis reguk-reguk kopi kami yang mulai dingin dicuri senja, dengan sajak terakhir dari 'Percakapan Diam-Diam':

Tiga Sajak Kecil yang Kutulis Sebagai Surat Cinta

(1)
Aku
Tingkap jendela
'Percakapan Diam-Diam' pada suatu sore nan teduh di Bochum
Menunggu cahaya
Datang memberi nama
Pada Warna

(2)
Engkau
Cahaya, tanpa nama
Menyapa
Tanpa kata
Tanpa swara

(3)
Kita
Hanyalah kecil ruang
Menjamu cahaya
Meramu warna
Dan, menamainya: Cinta
***

Bochum, 7 Mei 2013

Catatan kaki:
Terima kasih Mas @lelakibudiman dan Pak Koskow, yang telah mempersembahkan karya unik nan indah. Saya menantikan karya-karya selanjutnya. ‘Adik’ sang ‘Percakapan Diam-Diam’ di tan kinira, ‘Teman Merawat Percakapan’ sudah sampai dengan selamat di London, ia akan ikut berpetualang bersama sahabat saya ke Belanda, Perancis dan Swiss, sebelum kami bertemu musim panas nanti di Jerman.