Sunday, July 06, 2014

Catatan Ramadhan 1435 H - 9 Ramadhan, Mimpi untuk Nelayan Nusantara

Sebuah Ulasan Proposal


Siang itu, di awal Mei tahun ini, aku terkantuk-kantuk seorang diri di ruangan kantor. Sembari menghabiskan dua potong roti makan siangku, aku berselancar di internet, sekedar iseng mencari-cari artikel tentang jurnalisme. Lalu tanpa sengaja aku menemukan link tawaran beasiswa proyek fotografi oleh sebuah lembaga di Amerika. Kubaca dengan seksama segala keterangan dan persyaratannya. Masih ada waktu sekitar 2 bulan untuk mendaftar. Namun yang menjadi masalah, aku tak punya kapasitas dan kemampuan yang memadai untuk bidang ini. Mungkin aku bisa kalau hanya sekedar menuliskan beberapa ide, namun documentary photography dan photojournalism bukanlah bidangku. Lalu aku teringat akan mimpi salah seorang sahabatku, Ponda, untuk mendokumentasikan budaya kelautan nusantara. Tanpa membuang waktu, kesempatan ini pun lalu kuceritakan padanya.

Singkat cerita, sejak pertengahan Mei kami mulai bergerak untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Tawaran beasiswa ini bukan hal main-main, perlu persiapan matang dan serius. Kami mulai mengumpulkan semua literatur yang berhubungan dengan ide-ide dalam proposal yang nantinya akan diajukan. Setidaknya proposal ini nantinya akan membahas ulasan mengenai budaya kelautan nusantara, bidang keilmuan photojournalism, serta ide orisinal yang “menggigit” agar bisa bersaing dengan peserta-peserta lainnya dari seluruh dunia. Berikut ulasan secara umum dari proposal yang pada hari ini, hari ke 9 Ramadhan, akhirnya rampung dikerjakan.

Berangkat dari kenyataan bahwa kehidupan nelayan nusantara masih jauh dari kata sejahtera, proposal ini mengulas berbagai fakta dan data secara umum yang menggambarkan kehidupan nelayan nusantara dari segi ekonomi. Sebagian besar masyarakat miskin di Indonesia hidup di daerah pesisir dan pedesaan. Beberapa faktor penting menjadi penyebab utama kemiskinan nelayan di Indonesia, antara lain minimnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan mereka serta sebuah sistem yang sudah seperti “lingkaran setan”, yang menjerat nelayan dengan ketergantungan dan minimnya upah dari pemodal. Dari waktu ke waktu, nelayan-nelayan tradisional hidup di bawah garis kemiskinan, tanpa pula ada kemajuan yang berarti dari sisi teknologi.

Ide menarik yang menjadi pokok gagasan yang diajukan dalam proposal ini adalah pendokumentasian kehidupan nelayan ketika menghadapi masa-masa paceklik dalam serangkaian foto. Masa paceklik berlangsung hampir 8 bulan. Dalam musim ini tak jarang mereka pulang melaut tanpa hasil sama sekali. Kenyataan ini telah membentuk suatu sistem imajiner yang didasari oleh intuisi mereka untuk bertahan hidup. Keluarga nelayan harus pandai-pandai mencari penghasilan tambahan selain melaut ketika musim paceklik tiba. Perbedaan budaya dan karakteristik sumber daya ekonomi lokal akan menghasilkan keragaman foto dokumentasi yang unik di tiap-tiap daerah. 


Seorang penulis pernah mengatakan bahwa kemiskinan itu tidak untuk ditangisi. Foto dokumentasi yang menggambarkan kehidupan miskin suatu komunitas telah lama dilakukan orang. Umumnya mereka digambarkan sebagai objek yang lemah, tak berdaya dan menunggu uluran tangan. Namun, dalam proposal ini, Ponda menginginkan untuk memotret sisi lain dari kehidupan miskin nelayan nusantara, berkebalikan dari anggapan umum yang ada sekarang. Nelayan dikenal sebagai kelompok masyarakat yang tangguh dan tahan banting menghadapi kesulitan hidup. Karakter ini terbentuk dari kerasnya pekerjaan mereka di laut, yang menuntut kesabaran, keberanian dan kerjasama yang solid di antara mereka. Karakter-karakter seperti ketangguhan, kerja keras, serta kemandirian yang ditunjukkan nelayan dan keluarganya inilah yang nanti akan ditekankan dalam foto-foto yang akan dibuat. 

Sudut pandang ini nantinya diharapkan mampu menggugah audience untuk belajar banyak dari nilai-nilai positif karakter nelayan tadi serta menerapkannya dalam kehidupan. Adapun impact  tidak langsung yang tidak kalah penting, diharapkan foto-foto ini mampu membangkitkan kepedulian masyarakat dan pemerintah akan lingkungan laut dan kesejahteraan nelayan. Indonesia menyimpan potensi kelautan yang luar biasa, mulai dari sumber daya perikanan sampai budaya maritimnya. Maka sungguh ironis menyaksikan kenyataan sekarang di mana lebih banyak pihak asing yang berlomba-lomba untuk mempelajari, memanfaatkan dan melestarikannya, sedangkan masyarakat Indonesia sendiri seperti tidak peduli. Selain itu, proyek ini dapat pula menjadi sumber data visual dan pemetaan budaya maritim nusantara yang akan bermanfaat di masa yang akan datang. 

Foto telah lama menjadi media penyampai informasi yang dapat diandalkan. “A picture is worth a thousand words”. Genre fotografi yang akan ditekankan dalam hal ini adalah documentary photography dan photojournalism. Kedua genre ini telah lama dijadikan sarana untuk menyampaikan informasi yang dapat dipercaya. Baik documentary photography maupun photojournalism, memiliki kode etik yang sama, yang menekankan pada kejujuran serta membatasi photo editing seminimal mungkin, yaitu terbatas hanya pada tujuan untuk memperbaiki kualitas teknis dari foto.

Masalah-masalah teknis dari pengimplementasian proyek kemudian dibahas lebih detail di bagian akhir tulisan. Proposal ini juga dilengkapi dengan portfolio dari proyek sebelumnya yang sudah sejak beberapa tahun yang lalu dikerjakan secara pribadi oleh Ponda, proyek sepanjang masa yang dinamakannya “Manusia Laut”, berisi rangkaian foto-foto kehidupan nelayan di Belitung dan Sulawesi. Aku didaulat Ponda untuk memberikan judul yang pas, satu malam aku memikirkannya. Lalu, aku datang dengan sebuah judul yang di dalamnya kusisipkan semangat: “Sea People, a Vivid Portrait of Indonesian Fishermen’s Struggle”. Berangkat dari mimpi-mimpi sederhana, semoga proposal ini menjadi langkah awal untuk mewujudkannya.

Ingatanku pun melayang-layang ke masa silam, belasan tahun yang lalu. Perahu nelayan setengah jadi tergeletak di tepi pantai. Papan-papannya pun masih basah dan wangi, belum dicat. Perahu itu dibuat oleh ayah kawan kecilku, seorang nelayan asal Desa Juru Seberang. Kami biasa menghabiskan sore bermain-main di rumahnya yang terletak di bibir Pantai Air Saga, menunggu air pasang sambil bermain bola atau melempari buah-buah asam jawa di halaman kosong tak jauh dari dermaga. Perlahan-lahan matahari beranjak ke peraduannya, hendak mencium bibir cakrawala. Kaki-kaki kecil kami telah basah oleh deraian ombak air pasang menjelang senja, menitipkan rindu pada jiwa-jiwa penjelajah samudera, nelayan nusantara.

Foto-foto diambil dari koleksi "Manusia Laut" [Ponda Sujadi]
Terima kasih kepada Pak Koskow yang telah bersedia meminjamkan buku-buku sebagai bahan bacaan serta Ulfa yang telah meluangkan waktunya untuk memeriksa tata bahasa dan ejaan proposal dalam Bahasa Inggris.

Bochum, 6 Juli 2014