“Bagaimana kabarmu, Kawan?“ “Alhamdulillah...“ sambil menjabat tanganku erat-erat. Selalu begitu dan senyum gadis pintar itu tak pernah pudar. Dialah Hafsa. Aku mengenalnya pertama kali secara tak sengaja. Saat itu, belum begitu lama aku kedatangan tetangga baru berkewarganegaraan Israel, Sirin namanya. Aku pun sempat dimintai bantuan oleh Sirin untuk mengatur setting internet di laptopnya. Sontak aku kaget dan bingung, karena tak satu pun tuts-tuts di keyboard laptopnya yang bisa kubaca, semuanya dalam abjad Hebrew. Kami berdua pun spontan tertawa. Aku kembali terkejut ketika dia mengucapkan salam padaku ketika aku pamit untuk kembali ke kamar. “Danke, Hesty! Assalamu’alaykum! Ich bin auch Muslim“. “Terima kasih, Hesty! Assalamu’alaykum! Saya juga seorang Muslim“ begitu katanya sambil tersenyum dan melambai padaku.
Di lain kesempatan Sirin bercerita bahwa mereka sekeluarga berkewarganegaraan Israel, akan tetapi ibunya sebenarnya berasal dari Palestina. Ayahnya berasal dari Israel dan memeluk Islam sejak menikah dengan ibunya. Mereka sehari-hari berkomunikasi dalam Bahasa Arab dan sedikit Hebrew. Dia juga bercerita bahwa keadaan di Israel adalah selayaknya di sini (Jerman), orang-orang hidup makmur dan terpenuhi berbagai kebutuhannya. Komposisi masyarakatnya pun beragam, mulai dari Arab Muslim, penganut agama Yahudi, dan Kristen. Lalu hanya selemparan batu dari “negeri surga“ yang digambarkan Sirin tadi, orang-orang lainnya hidup dalam keprihatinan dan ketakutan akan ancaman serangan. Sampai di sini aku bingung, model konflik seperti apa yang sebenarnya terjadi di wilayah Tepi Barat (West Bank) dan sekitarnya, yang seingatku sejak aku bisa menonton televisi waktu aku masih kecil dulu hingga sekarang belum berkesudahan.
Sore itu kira-kira setahun yang lalu, seperti biasa sepulang dari kampus aku memasak makanan seadanya untuk makan malam. Sirin memperkenalkan Hafsa padaku. Kata Sirin, “Hafsa, ini Hesty, saudara kita dari Indonesia“. Waktu itu, Hafsa sedang mengunjungi Sirin, lalu beberapa bulan kemudian aku bertemu Hafsa untuk kedua kalinya di ruang cuci asrama. Dia bercerita bahwa dia baru saja pindah ke Roncallihaus. Gadis berkerudung ini berbicara dalam bahasa Jerman yang sangat fasih. Dia sedang menempuh pendidikan di salah universitas di Düsseldorf. Hafsa lalu bercerita padaku, bahwa dirinya berasal dari Palestina. Dia mengaku Bahasa Inggris-nya tak begitu lancar, lalu kami bertukar email untuk saling memberi kabar. Dia memintaku agar sering-sering menggunakan Bahasa Inggris ketika berkomunikasi dengannya, agar dia bisa belajar. Aku pun meminta kebalikannya, agar aku bisa memperbaiki Bahasa Jermanku.
Ini bukan kali pertama aku berkenalan dengan orang-orang dari wilayah Tepi Barat. Dulu ketika pertama kali mengambil kursus Bahasa Jerman, aku mengenal Manhal, seorang Muslim Israel, juga Ahmed dan Khalil, dua kawanku warga Palestina yang selalu meminta izin pada guru kami untuk menunaikan sholat setiap Jumat siang. Mereka tak secara spesifik menyebutkan perihal sholat Jumat, tapi guru kami yang baik hati selalu memberikan izin. Ahmed dan Khalil tak jarang bertemu denganku di jalan sekitar halte depan asrama. Dari kejauhan mereka sudah memberi salam, “Assalamu’alaykum, Schwester! Wie geht’s?“ “Assalamu’alaykum, Saudariku! Apa kabar?“ Khalil pernah bercerita padaku, bahwa untuk merantau ke sini bukanlah hal yang mudah bagi mereka. Dia sempat harus terjebak selama berminggu-minggu di Lebanon bersama ayahnya karena masalah keimigrasian dan konflik yang terjadi di sana. Lain waktu Manhal juga sempat bercerita padaku, ketika aku menanyakan bagaimana keadaan di sana. “Wilayah Israel itu ya wilayah Palestina. Permasalahan di sana sudah begitu kompleks. Saudara-saudara kami yang masih berada di wilayah Palestina hampir selalu menjadi korban. Aku tak tahu lagi harus mengatakan apa“, begitu kata Manhal dengan wajah murung dan sedih.
Aku tak paham detail persoalan yang sesungguhnya terjadi di sana. Yang kutahu dari sejarah yang pernah kubaca, awal mula konflik ini adalah ketika warga Yahudi dari seluruh dunia yang tergabung dalam gerakan Zionist berbondong-bondong “pulang” ke wilayah Tepi Barat. Mereka mengklaim wilayah itu sebagai hak mereka bulat-bulat. Pemerintahan pun dibentuk dan mereka menamakan diri sebagai Negara Israel. Pemukim Palestina yang menolak klaim orang-orang Zionist ini menjadi sasaran empuk tentara-tentara Israel. Peperangan yang terjadi pun sering kali tak seimbang, lemparan batu melawan perlengkapan militer Israel yang canggih. Berpuluh-puluh tahun, konflik tadi lalu berkembang menjadi konflik agama. Palestina kemudian menjadi simbol perjuangan Islam hampir di seluruh dunia, utamanya di Indonesia.
Di abad modern ini, ketika penjajahan fisik sudah menjadi hal yang tabu dan dianggap sebagai masa lalu hampir di seluruh dunia, warga Palestina masih merasakannya pun hingga detik ini. Aku bercerita di sini bukan ingin mengait-ngaitkan konflik ini dengan hal-hal berbau agama atau ras yang mungkin bisa menimbulkan prasangka bagi kawan-kawan. Tak ada orang yang bisa meminta untuk dilahirkan sebagai Arab, Yahudi (definisi Yahudi di sini sebagai bangsa bukan agama) atau apapun. Setelah kita lahir, selanjutnya hidup adalah tentang pilihan-pilihan, ingin kita jalani seperti apa. Agresi yang terjadi sekarang di Jalur Gaza adalah tragedi kemanusiaan, terlepas dari embel-embel persoalan lain yang kini berkembang. Aku juga bukan tak membaca, bahwa tak sedikit warga Yahudi di seluruh dunia yang menentang keras gerakan Zionist dan invasi Negara Israel atas Palestina ini.
Bagi kawan-kawan, tak ada
salahnya menyisihkan waktu sejenak untuk mendoakan mereka yang saat ini sedang
didera konflik di sana. Bulan Ramadhan yang seharusnya menjadi waktu-waktu spesial
penuh keceriaan, selayaknya Ramadhan bagi muslim lainnya di seluruh dunia, kini
menjadi mimpi buruk bagi mereka. Rudal-rudal Israel silih berganti ditembakkan
ke wilayah pemukiman Palestina. Hujan mereka bukan lagi air, butir-butir es
atau salju, tapi peluru. Jangan remehkan kekuatan doa. “Maafkan
kami yang belum bisa membantu banyak dari sini”. Jika kawan-kawan mempunyai
kelebihan rezeki, bisa kita temukan banyak sekali link-link di internet yang memuat informasi dari lembaga-lembaga penyalur
bantuan materi untuk Palestina.
Masalah Palestina ini tak jarang pula menjadi isu sensitif di masyarakat. Terlepas dari apapun niatnya, persoalan ini bukan lagi hanya sekedar permasalahan agama, tapi lebih-lebih adalah masalah kemanusiaan. Ada pula yang berseloroh: “Ngapain sih capek-capek ngurusin negara orang? Negara sendiri aja belum beres.” Orang bijak tak akan berkata seperti itu. Bung Karno pernah dengan sangat lantang berkata: “Selama kemerdekaan bangsa Palestina beloem diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itoelah Bangsa Indonesia berdiri menantang pendjadjahan Israel” [Ir. Soekarno, 1962]. Semoga niat baik orang-orang yang berjuang untuk membantu Palestina, sekecil apa pun itu, senantiasa dijaga oleh Allah, dan bukan hanya sekedar latah atau ikut-ikutan. Aku percaya, kekuatan media yang dibangun dengan independensi dan niat yang tulus akan sangat berarti bagi mereka. Dunia harus tahu! Bahwa di era modern ini, penjajah Israel masih dengan sangat percaya diri dan sombong membunuhi sejumlah besar manusia. Bahwa, ada orang-orang yang bahkan tak sempat lagi memikirkan besok mau makan apa, tapi apakah besok nyawa dan tanah ini masih ada? Ingin rasanya aku menghabiskan sisa hidupku menjadi jurnalis di sana, agar darah dan nyawa ini ada juga artinya.
Sejak kemarin malam aku kehilangan kabar darinya, account Facebook-nya tiba-tiba nonaktif. “Hafsa, bagaimana kabarmu?” Aku yakin, dia akan selalu menjawab: “Alhamdulillah...“, seperti yang selama ini selalu diucapkannya, lalu teriring doa yang dihadiahkannya untukku. Doa kami semoga Allah melindungi keluargamu dan seluruh saudara-saudara kita di Palestina.
Sumber foto:
Abdillah Onim, jurnalis dan relawan Indonesia yang saat ini bermukim di Gaza.
Facebook: Abdillah Onim
Bochum, 9 Juli 2014