Thursday, April 03, 2014

Bertualang ke Negeri Utara, Skandinavia [Bagian 1]

Waktu itu, awal April 2012, daratan Eropa bagian barat sudah mulai memasuki musim semi, musim semi pertama seumur hidupku. Aku takjub memperhatikan tunas-tunas yang bermunculan dari celah-celah tanah basah dan rerumputan yang masih menyisakan lapisan es tipis. Crocus, Daffodil, dan Tulip adalah bunga-bunga yang pertama tampil, warna-warni merona, kontras dengan latar belakang rerumputan hijau tua. Ranting-ranting pepohonan yang berbulan-bulan meranggas bisu diselimuti beku mulai menampakkan tanda-tanda kehidupan. Satu per satu pucuk-pucuk daun hijau muda dan bunga-bunga menjuntai-juntai pada ujung-ujung jemarinya. Kelinci, tupai dan tikus tanah, binatang-binatang penghuni lubang mulai bangun dari tidur panjangnya, menemani cericit burung-burung yang menyenandungkan bait-bait riang musim semi. Alam seakan terbangun dari istirahat panjangnya, sungguh luar biasa.

Penutup Saluran Air di Jalanan Kota Stockholm
Sementara itu, aku dan 3 sahabatku, Mira, Naren dan Yoga, mempersiapkan petualangan pertama kami ke wilayah Eropa bagian utara, Skandinavia. Sebenarnya ide ini mula-mula terpikirkan olehku lebih karena iseng dan nekat. Awalnya, kesan yang ada dalam pikiranku tentang Skandinavia tak lebih dari bayangan bahwa wilayah ini dihuni oleh manusia-manusia albino, yang lebih albino dibandingkan orang-orang Eropa di wilayah lainnya. Mungkin lantaran mereka lebih jarang terpapar matahari. Kebetulan aku juga memiliki tetangga satu lantai yang berasal dari Finlandia. Gadis cerdas ini berambut pirang hampir-hampir putih, bola matanya biru jernih, kulitnya putih pucat, tipikal orang Skandinavia.

Berbulan-bulan sebelumnya sejak ide ini tercetus, jauh-jauh hari kami mulai mempersiapkan segala sesuatunya. Aku baru menyadari bahwa bepergian itu tak segampang pelesir ke pantai dekat rumahku dulu ketika aku masih kecil. Apalagi, kali ini kami bepergian berempat dengan modal pas-pasan sebagai mahasiswa. Kami harus mengatur biaya perjalanan sehemat mungkin, namun bagaimana pun caranya kami harus pintar-pintar menyiasati agar tak sampai mengorbankan kenyamanan dan keselamatan perjalanan kami.

Kota pertama yang menjadi tujuan kami adalah Stockholm. Aku, Mira dan Naren berangkat dari bandara Schiphol Amsterdam pukul 9 malam, penerbangan ini kami tempuh selama lebih kurang 2 jam. Yoga tak ikut bersama kami lantaran masih harus mengurus perpanjangan visa, dia akan menyusul beberapa hari lagi. Kebetulan salah seorang kakak kelas kami sedang menempuh pendidikan Master di Stockholm ketika itu, Kang Dika, dialah yang akan menjadi guide kami selama di sana.

Kang Dika mewanti-wanti agar kami membawa perlengkapan musim dingin, karena musim semi di Skandinavia datang lebih lambat dibandingkan di wilayah Eropa barat. Benar saja, setibanya kami di sana, waktu menunjukkan hampir tengah malam, udara dingin begitu menggigit, perkiraanku sekitar -5 °C, sedangkan siang tadi kami masih merasakan udara hangat belasan derajat di Belanda. Sesuai rencana yang telah kami pelajari, kami harus mengambil kereta bawah tanah (subway) menuju penginapan, dari halte terakhir kami harus berjalan sekitar 5 menit melewati jejeran pertokoan, gedung-gedung kuno dan kompleks pemakaman. Ternyata perjalanan 5 menit yang kami ketahui sebelumnya dari google maps adalah perjalanan kaki "normal" tanpa membawa barang bawaan. Sedangkan masing-masing dari kami harus memanggul ransel dan koper yang lumayan berat, ditambah lagi harus melewati tanjakan sambil menahan udara dingin yang menusuk tulang. Di halaman kompleks pemakaman yang kami lalui, berdiri sebuah kapel dengan latar belakang pepohonan besar yang meranggas tak berdaun, nisan-nisan berbentuk salib setinggi anak kecil teronggok bisu memandangi langit kelam. Bulan separuh sesekali mengintip disamarkan awan tipis, tumpukan salju masih tersisa di pinggir-pinggir jalan dan celah rerumputan. Kami tiba di penginapan lewat tengah malam, setelah membereskan barang-barang dan mandi, kami pun tertidur karena kelelahan.

Skansen Open Air Museum
Keesokan harinya, rasa lelah perjalanan kemarin sebenarnya belum sepenuhnya hilang. Tetapi, cuaca cerah pagi ini berhasil menggoda kami untuk menjelajahi kota Stockholm menjelang musim semi. Dari penginapan, kami berjalan kaki menuju pusat pertokoan di tengah kota, Kang Dika sudah menunggu kami di sebuah stasiun tram, aku tak ingat lagi namanya. Sesuai saran Kang Dika, kami membeli tiket harian yang berlaku untuk naik kereta, tram, bus, dan kapal. Tujuan pertama kami hari ini adalah Skansen, sebuah Open Air Museum pertama di dunia yang merangkap sebagai kebun binatang. Skansen didirikan pada tahun 1891 dan terletak di Pulau Djurgården. Tram membawa kami melintasi jembatan Djurgårdsbron yang menghubungkan bagian daratan kota Stockholm. Sesampai di Skansen, kami harus mengantri untuk mendapatkan tiket, hari ini pengunjung ramai sekali. Museum Skansen mencakup area seluas kira-kira 30 hektar, meliputi museum-museum, rumah-rumah pertanian dan peternakan tradisional, kincir angin, gereja kayu dan bangunan-bangunan kuno lainnya dari abad ke 18. Skansen menampilkan bagaimana gaya hidup masyarakat Swedia berabad-abad yang lalu. Sayangnya kami tak sempat mengunjungi area kebun binatangnya.

Skogskyrkogården
Sepulang dari Skansen, Kang Dika mengajak kami ke tujuan berikutnya, Skogskyrkogården. Sebuah taman pemakaman, ya pemakaman dalam arti sebenarnya. Lalu apa yang istimewa dari tempat ini. Skogskyrkogården adalah kompleks pemakaman yang masuk dalam daftar UNESCO World Heritage. Sebelumnya tak banyak orang menyangka sebuah taman yang dibangun pada abad ke 20 ini akan memperoleh penghargaan yang begitu membanggakan. Kompleks Skogskyrkogården "menjual" harmonisasi keteraturan dan keindahan kompleks pemakaman, arsitektur beberapa bangunan dan hutan-hutan kecil yang terawat, sederhana tapi elegan. Kami berkeliling-keliling di sekitar taman terbuka berupa padang rumput dan perbukitan hijau nan luas. Di beberapa sisinya tangga-tangga beton menghubungkan sub-sub area pemakaman. Beberapa karangan bunga yang masih segar teronggok di atas makam. Aku masih berusaha mengakur-akurkan perasaanku yang campur aduk, antara ingin menikmati keindahan taman di sore yang cerah itu atau perasaan kosong mengamati makam-makam bisu yang menjadi simbol kesedihan dan kehilangan. 

Festival Perang bantal
Kami meninggalkan Skogskyrkogården menuju pusat kota. Kang Dika lalu mengajak kami menikmati kota Stockholm dari laut, kami menumpang kapal wisata kecil yang membawa para penumpang bolak balik di sepanjang garis pantai. Setumpuk awan putih bergumpal-gumpal menaungi kapal kami, burung-burung camar melintas terbang labuh ke sana ke mari. Udara dingin bertiup kencang, lalu beberapa saat salju tipis pun turun, tanganku terasa membeku. Di tengah kota, kami sempat menyaksikan orang-orang berkumpul di sebuah plaza. Rupanya hari ini diadakan festival perang bantal. Ratusan orang saling memukul dengan bantal hingga isi bantal terburai berhamburan, bulu-bulu angsa dan kapas pun memutih diterbangkan angin.

Petualangan kami hari itu kami sudahi dengan berjalan-jalan di sepanjang area pertokoan menuju penginapan untuk berburu souvenir. Kami bertemu salah seorang pemilik toko souvenir berwajah India, dia menyapa kami dalam Bahasa Indonesia, ternyata Bapak separuh baya ini berasal dari Malaysia. Oiya, hampir semua orang yang kami temui di toko-toko dan fasilitas umum di Stockholm fasih berbahasa Inggris. Sesekali aku mencuri dengar beberapa percakapan asing dalam Bahasa Svenska, sepatah kata pun aku tak mengerti, namun suaranya terdengar indah di telingaku.

Kawasan sekitar Kota Tua Stockholm
Keesokan harinya, hari terakhir di Stockholm, kami habiskan dengan mengunjungi kompleks istana Kerajaan Swedia. Swedia telah menjadi kerajaan yang masyhur selama berabad-abad. Sampai saat ini, negara yang bercorak monarki konstitusional ini masih dipimpin oleh seorang Raja sebagai Kepala Negara, King Carl XVI Gustaf of Sweden. Sedangkan Kepala Pemerintahannya adalah Perdana Menteri (saat ini John Fredrik Reinfeldt) yang dipilih oleh parlemen. Tentara-tentara Kerajaan lengkap dengan pakaian militer khasnya berjaga-jaga di sekeliling kompleks istana, beberapa kulihat bergeming, berdiri seperti patung pada pos-pos jaga yang tersebar di beberapa sudut kompleks. Swedia yang dikenal sebagai salah satu negara maju dari segi ekonomi ini ternyata masih memelihara budaya kerajaan yang bagi sebagian rakyatnya saat ini mulai dipandang sebagai kekuasaan kuno yang hanya memberikan hak-hak istimewa pada sekelompok manusia eksklusif, keluarga kerajaan.


Mira dan Kereta Tua Stockholm-Oslo
Tugu Perbatasan Swedia-Norwegia
Tak terasa hampir tengah hari, kami pun harus segera kembali ke penginapan untuk membereskan barang-barang bawaan. Kami bergegas menaiki tram menuju stasiun. Dari stasiun utama Stockholm, kami menumpang kereta menuju Oslo. Gerbong kereta ini mengingatkanku pada kereta Parahyangan yang dulu biasa kutumpangi dari Bandung ke Jakarta, sedikit lebih tua, namun masih sangat terawat dengan baik. Aku terkantuk-kantuk memulai perjalanan yang akan kami tempuh sekitar 7 jam ini. Gerbong kereta dipenuhi penumpang asing, sayup-sayup kudengar percakapan-percakapan dalam bahasa Mandarin, Inggris dan Perancis, pandanganku semakin kabur dan aku pun tertidur. 

Aku terbangun menjelang sore ketika kereta memasuki wilayah perbatasan, rumah-rumah penduduk semakin jarang, di kiri kanan, hutan dan padang diselingi danau menemani perjalanan kami. Suhu udara di luar sepertinya semakin dingin, permukaan danau masih dilapisi es, sinar matahari sore itu belum mampu menghalau dingin yang membekukan permukaan danau. Lalu serta merta perhatianku teralihkan, selingkar lukisan warna-warni menghiasi langit sebelah selatan, pelangi pertama yang kusaksikan di langit Eropa, cantik sekali. Sebuah tugu bertuliskan "Sverige-Norge" (Swedia-Norwegia) di antara celah hutan cemara melesat cepat kusaksikan dari jendela. Kereta kami pun terus melaju memasuki wilayah Norwegia.

Bochum, 3 April 2014
[Bersambung]