Waktu itu, awal
April 2012, daratan Eropa bagian barat sudah mulai memasuki musim semi, musim
semi pertama seumur hidupku. Aku takjub memperhatikan tunas-tunas yang bermunculan
dari celah-celah tanah basah dan rerumputan yang masih menyisakan lapisan es
tipis. Crocus, Daffodil, dan Tulip adalah bunga-bunga yang pertama tampil,
warna-warni merona, kontras dengan latar belakang rerumputan hijau tua. Ranting-ranting
pepohonan yang berbulan-bulan meranggas bisu diselimuti beku mulai menampakkan
tanda-tanda kehidupan. Satu per satu pucuk-pucuk daun hijau muda dan
bunga-bunga menjuntai-juntai pada ujung-ujung jemarinya. Kelinci, tupai dan tikus
tanah, binatang-binatang penghuni lubang mulai bangun dari tidur panjangnya, menemani
cericit burung-burung yang menyenandungkan bait-bait riang musim semi. Alam
seakan terbangun dari istirahat panjangnya, sungguh luar biasa.
Penutup Saluran Air di Jalanan Kota Stockholm |
Sementara itu, aku dan 3 sahabatku, Mira, Naren dan
Yoga, mempersiapkan petualangan pertama kami ke wilayah Eropa bagian utara,
Skandinavia. Sebenarnya
ide ini mula-mula terpikirkan olehku lebih karena iseng dan nekat. Awalnya, kesan
yang ada dalam pikiranku tentang Skandinavia tak lebih dari bayangan bahwa
wilayah ini dihuni oleh manusia-manusia albino, yang lebih albino dibandingkan
orang-orang Eropa di wilayah lainnya. Mungkin lantaran mereka lebih jarang
terpapar matahari. Kebetulan aku juga memiliki tetangga satu lantai yang
berasal dari Finlandia. Gadis cerdas ini berambut pirang hampir-hampir putih, bola
matanya biru jernih, kulitnya putih pucat, tipikal orang Skandinavia.
Berbulan-bulan
sebelumnya sejak ide ini tercetus, jauh-jauh hari kami mulai mempersiapkan segala
sesuatunya. Aku baru menyadari bahwa bepergian itu tak segampang pelesir ke
pantai dekat rumahku dulu ketika aku masih kecil. Apalagi, kali ini kami
bepergian berempat dengan modal pas-pasan sebagai mahasiswa. Kami harus mengatur
biaya perjalanan sehemat mungkin, namun bagaimana pun caranya kami harus
pintar-pintar menyiasati agar tak sampai mengorbankan kenyamanan dan
keselamatan perjalanan kami.
Kota pertama yang
menjadi tujuan kami adalah Stockholm. Aku, Mira dan Naren berangkat dari
bandara Schiphol Amsterdam pukul 9 malam, penerbangan ini kami tempuh selama lebih
kurang 2 jam. Yoga tak ikut bersama kami lantaran masih harus mengurus
perpanjangan visa, dia akan menyusul beberapa hari lagi. Kebetulan salah
seorang kakak kelas kami sedang menempuh pendidikan Master di Stockholm ketika
itu, Kang Dika, dialah yang akan menjadi guide
kami selama di sana.
Kang Dika
mewanti-wanti agar kami membawa perlengkapan musim dingin, karena musim semi di
Skandinavia datang lebih lambat dibandingkan di wilayah Eropa barat. Benar
saja, setibanya kami di sana, waktu menunjukkan hampir tengah malam, udara
dingin begitu menggigit, perkiraanku sekitar -5 °C, sedangkan siang tadi kami masih
merasakan udara hangat belasan derajat di Belanda. Sesuai rencana yang telah
kami pelajari, kami harus mengambil kereta bawah tanah (subway) menuju penginapan, dari halte terakhir kami harus berjalan
sekitar 5 menit melewati jejeran pertokoan, gedung-gedung kuno dan kompleks pemakaman.
Ternyata perjalanan 5 menit yang kami ketahui sebelumnya dari google maps adalah perjalanan kaki "normal"
tanpa membawa barang bawaan. Sedangkan masing-masing dari kami harus memanggul
ransel dan koper yang lumayan berat, ditambah lagi harus melewati tanjakan
sambil menahan udara dingin yang menusuk tulang. Di halaman kompleks pemakaman yang
kami lalui, berdiri sebuah kapel dengan latar belakang pepohonan besar yang
meranggas tak berdaun, nisan-nisan berbentuk salib setinggi anak kecil teronggok
bisu memandangi langit kelam. Bulan separuh sesekali mengintip disamarkan awan
tipis, tumpukan salju masih tersisa di pinggir-pinggir jalan dan celah
rerumputan. Kami tiba di penginapan lewat tengah malam, setelah membereskan
barang-barang dan mandi, kami pun tertidur karena kelelahan.
Skansen Open Air Museum |
Keesokan harinya, rasa
lelah perjalanan kemarin sebenarnya belum sepenuhnya hilang. Tetapi, cuaca
cerah pagi ini berhasil menggoda kami untuk menjelajahi kota Stockholm
menjelang musim semi. Dari penginapan, kami berjalan kaki menuju pusat
pertokoan di tengah kota, Kang Dika sudah menunggu kami di sebuah stasiun tram,
aku tak ingat lagi namanya. Sesuai saran Kang Dika, kami membeli tiket harian
yang berlaku untuk naik kereta, tram, bus, dan kapal. Tujuan pertama kami hari
ini adalah Skansen, sebuah Open Air
Museum pertama di dunia yang merangkap sebagai kebun binatang. Skansen didirikan
pada tahun 1891 dan terletak di Pulau Djurgården.
Tram membawa kami melintasi jembatan Djurgårdsbron yang menghubungkan bagian
daratan kota Stockholm. Sesampai di Skansen, kami harus mengantri untuk
mendapatkan tiket, hari ini pengunjung ramai sekali. Museum Skansen mencakup
area seluas kira-kira 30 hektar, meliputi museum-museum, rumah-rumah pertanian dan
peternakan tradisional, kincir angin, gereja kayu dan bangunan-bangunan kuno lainnya
dari abad ke 18. Skansen menampilkan bagaimana gaya hidup masyarakat Swedia berabad-abad
yang lalu. Sayangnya kami tak sempat mengunjungi area kebun binatangnya.
Skogskyrkogården |
Sepulang dari Skansen, Kang Dika mengajak kami ke tujuan berikutnya, Skogskyrkogården. Sebuah taman pemakaman, ya pemakaman dalam arti sebenarnya. Lalu apa yang istimewa dari tempat ini. Skogskyrkogården adalah kompleks pemakaman yang masuk dalam daftar UNESCO World Heritage. Sebelumnya tak banyak orang menyangka sebuah taman yang dibangun pada abad ke 20 ini akan memperoleh penghargaan yang begitu membanggakan. Kompleks Skogskyrkogården "menjual" harmonisasi keteraturan dan keindahan kompleks pemakaman, arsitektur beberapa bangunan dan hutan-hutan kecil yang terawat, sederhana tapi elegan. Kami berkeliling-keliling di sekitar taman terbuka berupa padang rumput dan perbukitan hijau nan luas. Di beberapa sisinya tangga-tangga beton menghubungkan sub-sub area pemakaman. Beberapa karangan bunga yang masih segar teronggok di atas makam. Aku masih berusaha mengakur-akurkan perasaanku yang campur aduk, antara ingin menikmati keindahan taman di sore yang cerah itu atau perasaan kosong mengamati makam-makam bisu yang menjadi simbol kesedihan dan kehilangan.
Festival Perang bantal |
Kami meninggalkan Skogskyrkogården menuju pusat kota. Kang Dika lalu mengajak kami menikmati kota Stockholm dari laut, kami menumpang kapal wisata kecil yang membawa para penumpang bolak balik di sepanjang garis pantai. Setumpuk awan putih bergumpal-gumpal menaungi kapal kami, burung-burung camar melintas terbang labuh ke sana ke mari. Udara dingin bertiup kencang, lalu beberapa saat salju tipis pun turun, tanganku terasa membeku. Di tengah kota, kami sempat menyaksikan orang-orang berkumpul di sebuah plaza. Rupanya hari ini diadakan festival perang bantal. Ratusan orang saling memukul dengan bantal hingga isi bantal terburai berhamburan, bulu-bulu angsa dan kapas pun memutih diterbangkan angin.
Petualangan kami
hari itu kami sudahi dengan berjalan-jalan di sepanjang area pertokoan menuju
penginapan untuk berburu souvenir. Kami bertemu salah seorang pemilik toko
souvenir berwajah India, dia menyapa kami dalam Bahasa Indonesia, ternyata
Bapak separuh baya ini berasal dari Malaysia. Oiya, hampir semua orang yang
kami temui di toko-toko dan fasilitas umum di Stockholm fasih berbahasa Inggris.
Sesekali aku mencuri dengar beberapa percakapan asing dalam Bahasa Svenska,
sepatah kata pun aku tak mengerti, namun suaranya terdengar indah di telingaku.
Kawasan sekitar Kota Tua Stockholm |
Keesokan harinya,
hari terakhir di Stockholm, kami habiskan dengan mengunjungi kompleks istana
Kerajaan Swedia. Swedia telah menjadi kerajaan yang masyhur selama berabad-abad.
Sampai saat ini, negara yang bercorak monarki konstitusional ini masih dipimpin
oleh seorang Raja sebagai Kepala Negara, King Carl XVI Gustaf of Sweden. Sedangkan Kepala
Pemerintahannya adalah Perdana Menteri (saat ini John Fredrik
Reinfeldt) yang dipilih oleh
parlemen. Tentara-tentara Kerajaan lengkap dengan pakaian militer khasnya
berjaga-jaga di sekeliling kompleks istana, beberapa kulihat bergeming, berdiri
seperti patung pada pos-pos jaga yang tersebar di beberapa sudut kompleks. Swedia
yang dikenal sebagai salah satu negara maju dari segi ekonomi ini ternyata masih
memelihara budaya kerajaan yang bagi sebagian rakyatnya saat ini mulai
dipandang sebagai kekuasaan kuno yang hanya memberikan hak-hak istimewa pada sekelompok
manusia eksklusif, keluarga kerajaan.
Mira dan Kereta Tua Stockholm-Oslo |
Tugu Perbatasan Swedia-Norwegia |
Aku terbangun menjelang sore ketika kereta memasuki wilayah perbatasan, rumah-rumah penduduk semakin jarang, di kiri kanan, hutan dan padang diselingi danau menemani perjalanan kami. Suhu udara di luar sepertinya semakin dingin, permukaan danau masih dilapisi es, sinar matahari sore itu belum mampu menghalau dingin yang membekukan permukaan danau. Lalu serta merta perhatianku teralihkan, selingkar lukisan warna-warni menghiasi langit sebelah selatan, pelangi pertama yang kusaksikan di langit Eropa, cantik sekali. Sebuah tugu bertuliskan "Sverige-Norge" (Swedia-Norwegia) di antara celah hutan cemara melesat cepat kusaksikan dari jendela. Kereta kami pun terus melaju memasuki wilayah Norwegia.
Bochum, 3 April 2014
[Bersambung]
[Bersambung]