Monday, March 31, 2014

3 Nona Belanda

Tak terasa, sudah lewat 2 tahun aku merantau untuk menuntut ilmu di Bochum, kota kecil nan bersahaja di tepian Sungai Ruhr. Bochum terletak di Negara Bagian Nordrhein-Westfalen (NRW), salah satu dari Negara Bagian Jerman yang letaknya paling barat, berbatasan dengan Belanda. Rencana semula yang kususun bertahun-tahun yang lalu adalah aku ingin sekolah ke Belanda. Salah satu alasannya karena keinginanku untuk mengenal lebih dekat lagi negara yang pernah menjadikan Indonesia sebagai salah satu koloninya ini. Alasan lain, aku tak perlu belajar bahasa asing baru selain Bahasa Inggris, karena hampir setiap orang Belanda fasih dan mau berbahasa Inggris, begitu yang kudengar dari dosen dan senior-seniorku di Bandung dulu.

Tapi rupanya, nasib yang misterius itu telah menembakkan busur panahnya ke arahku lalu mengantarkan kaki ini untuk merantau ke Jerman, bukan Belanda. Tapi tunggu dulu, Kawan, jangan berpikir bahwa aku menyesal telah terdampar di negeri antah berantah ini, tidak, sama sekali tidak. Justru kenyataan lain yang kemudian aku temui telah membuatku takjub dan sangat bersyukur. Walaupun hidup di Jerman, ternyata dengan mudahnya aku bisa berkunjung ke Belanda, kapan saja aku mau dan punya kesempatan. Perjalanan ke kota-kota perbatasan hanya ditempuh dalam waktu sekitar 2-4 jam perjalanan kereta dan/atau bus, bahkan ke beberapa kota tertentu seperti Enschede dan Nijmegen, aku tak perlu membayar ongkos, karena semester ticket NRW masih berlaku sampai kota-kota tersebut. Aku pun mau tak mau harus belajar bahasa baru, bahasa Jerman, walaupun tak terlalu lancar, tapi cukuplah untuk berbelanja ke warung dan jadi bahan cerita di hari tua nanti.

Dari hari ke hari aku menikmati "kekakuan" Jerman, hampir semua urusan bisa diselesaikan tanpa banyak drama dan bertele-tele, disiplin. Setidaknya, sejauh ini begitu yang aku rasakan. Mahasiswa di sini, baik warga negara Jerman maupun asing begitu dimanjakan dengan berbagai fasilitas yang disediakan negara, hak-hak warga sebagai konsumen sangat dilindungi, biaya hidup juga relatif lebih murah dibandingkan negara Eropa Barat lainnya. Tapi yang namanya orang Indonesia, ada pula saatnya ketika aku merasa sangat rindu kehangatan suasana di tanah air, rindu senyuman dan sapaan ramah orang-orang yang kita temui acak dalam perjalanan. Suasana seperti itu rupanya bisa kutemui tak jauh-jauh, Belandalah tempatnya. Aku merasa "pulang" setiap aku berkunjung ke Belanda. Produk makanan  khas Indonesia juga sangat mudah kita temui di toko-toko di Belanda, begitu pula dengan restoran Indonesia, tersedia hampir di setiap kota.

Sebelum sahabatku Mira pulang ke Indonesia, hampir setiap bulan aku ke Nijmegen mengunjunginya, artinya hampir setiap bulan pula aku "pulang" ke "tanah air". Mira tinggal di sebuah rumah berlantai dua, bersama 3 orang nona Belanda. Tadinya kupikir, hidup serumah bersama orang barat tak akan semenyenangkan itu, yang ada hanya suasana dingin dan kaku, jauh dari basa-basi. Tapi kenyataannya sungguh bertolak belakang, tersebutlah Sanne, Linda dan Jitske, 3 nona Belanda yang akhirnya juga menjadi kawan-kawanku.

Puck si pemalu
Sanne memelihara seekor anjing betina yang diberi nama Puck, dan Linda punya seekor burung parkit nan lucu, Jack namanya. Suasana di rumah mereka terasa semakin semarak dengan kehadiran binatang-binatang pintar ini. Kami biasa berkumpul dan berbincang-bincang di lantai 1, di ruang keluarga sekaligus dapur. Setiap aku berkunjung ke sana, kegiatan utama aku dan Mira adalah memasak atau membuat kue. Lalu kami biasa menghabiskan malam sambil mengobrol, nonton televisi, bermain bersama Jack dan Puck, atau menemani Mira siaran di Radio PPI Dunia.

Dari ketiga nona Belanda ini, yang paling pendiam adalah Jitske, sehingga aku tak banyak mengetahui tentang nona berambut keriting pirang ini. Jitske cenderung pemalu, tapi sesekali dia juga mengobrol bersama kami, atau aku mengajaknya bermain bersama Jack. Jitske dulu sempat kuliah, namun tak diselesaikannya, lalu sekarang dia bekerja paruh waktu di kios makanan dan es krim di dekat Centrum. Aku pernah diajak Mira jajan wafel es krim di kios Jitske. Sesekali dia pulang ke rumah orang tuanya, di kota tetangga yang tak terlalu jauh dari Nijmegen. Setiap aku ke sana, perasaanku yang dimakannya selalu keju dan roti, jarang aku melihatnya memasak.

Jack si burung parkit
Lalu nona kedua adalah Linda, anak pemilik rumah ini. Dulu kalau aku tak salah ingat Mira pernah bercerita bahwa orang tuanya tinggal di Paris. Nona berambut merah ini paling cantik di antara ketiganya, dan kalau dia sudah bercerita, aku seperti melihat Mira mengobrol bersama saudara-saudara perempuannya sendiri. Linda sudah lulus kuliah, sempat bekerja paruh waktu tapi sekarang dia sedang menganggur, ingin menikmati hidup mungkin. Linda tak hanya sering mengobrol bersama kami, Jack dan Puck pun sering diajaknya bercakap-cakap. Dia mengajariku bagaimana melatih Jack berbagai ketangkasan, mulai dari berguling-guling di atas lantai, sampai bermain bola, lalu Jack akan dihadiahi biji-biji kuaci sebagai upahnya. Sesekali jika Sanne tak di rumah, dia juga membantu mengurus Puck, memberinya makan dan mengajaknya berjalan-jalan.

Lalu nona yang terakhir adalah Sanne, yang paling sering mengobrol bersama aku dan Mira di antara ketiganya. Lidahnya juga paling Indonesia, makanan Indonesia kegemarannya adalah tempe dan perkedel jagung yang lalu disebutnya sebagai "corn cookies". Setiap aku dan Mira memasak, Sanne hampir selalu ikut makan bersama kami. Dia lalu belajar makan dengan tangan, tanpa sendok, walau sesekali dia harus menyerah karena belum terlalu terampil. Suatu waktu dia pernah berseloroh begini: "Someday, if I go to Indonesia, I can survive just by saying: Sanne makan tempe!". Dia juga sering menanyakan istilah-istilah Bahasa Indonesia, aku pun belajar mengenal istilah-istilah Belanda darinya.

Nona pirang ini adalah seorang kidal yang pintar melukis. Karya-karya lukisannya terpajang di dinding-dinding ruang keluarga dan koridor lantai 2. Sanne lulus dari Jurusan Drama Therapy, ya dia memang seorang seniman. Sejak masih kuliah dia sudah bekerja paruh waktu di sebuah toko pakaian. Sanne sering membantuku mencuci piring sehabis memasak, lalu menanyaiku tentang persahabatan aku dan Mira, dia sering terkagum-kagum melihat kami yang sudah seperti saudara sendiri. Kalau kami bertengkar dalam Bahasa Indonesia, Sanne akan buru-buru bertanya: "What are you guys arguing about?" Lalu aku dan Mira tertawa, dia pun semakin bingung melihat kelakuan kami berdua. Aku paling senang jika Sanne, Linda dan Jitske sesekali mengobrol dalam Bahasa Belanda. Aku akan menebak-nebak artinya karena Bahasa Belanda masih satu rumpun dengan Bahasa Jerman, bahasa turunannya.

Tot ziens, Tante!
Begitulah aku menghabiskan banyak akhir pekanku bersama Mira dan 3 nona Belanda ini selama 2 tahun belakangan. Aku mendapat kawan-kawan baru, sekaligus belajar banyak hal tentang budaya mereka. Memahami orang-orang dari bangsa yang berbeda, menyelami cara berpikir mereka, lalu mereka pun belajar banyak hal tentang budaya Indonesia dari kami. Pekan lalu, terakhir kali aku bertemu mereka, pagi-pagi sekali aku sudah mandi dan membereskan barang-barangku. Lalu aku pun pamit dan mengucapkan terima kasih atas segala kebaikan mereka, Sanne dan Linda bergantian memelukku sambil menepuk-nepuk punggungku. "Hesty, what a nice person you are. It's a pleasure to know you. Thank you for always visiting us, see you again, someday!", begitulah kira-kira kalimat perpisahan dari Sanne, aku terdiam karena haru. Sayangnya aku tak bertemu Jitske, karena dia sedang mengunjungi orang tuanya. 

Di pagi yang dingin itu, aku pulang ke Bochum, kuperhatikan rumah mungil di Goeman Borgesiusstraat itu sampai hilang di kejauhan ketika aku harus berjalan berbelok arah menuju halte bus Van der Duyn van Maasdamstraat, halte yang ketika pertama kali aku menyebutkannya dulu begitu terbata-bata. Bus Breng merah muda itu mengantarku sampai ke Station Nijmegen Centraal, rinduku mengembang. Pada detik itu aku menyadari bahwa aku telah jatuh cinta pada Belanda dan segala tentangnya. Tot ziens, Sanne, Linda dan Jitske!

Bochum, 31 Maret 2014