Tak terasa, sudah
lewat 2 tahun aku merantau untuk menuntut ilmu di Bochum, kota kecil nan
bersahaja di tepian Sungai Ruhr. Bochum terletak di Negara Bagian
Nordrhein-Westfalen (NRW), salah satu dari Negara Bagian Jerman yang letaknya paling
barat, berbatasan dengan Belanda. Rencana semula yang kususun bertahun-tahun yang lalu adalah aku ingin sekolah ke Belanda. Salah satu alasannya karena keinginanku untuk mengenal lebih dekat lagi negara yang pernah menjadikan Indonesia sebagai salah satu koloninya ini. Alasan
lain, aku tak perlu belajar bahasa asing baru selain Bahasa Inggris, karena
hampir setiap orang Belanda fasih dan mau berbahasa Inggris, begitu yang
kudengar dari dosen dan senior-seniorku di Bandung dulu.
Tapi rupanya,
nasib yang misterius itu telah menembakkan busur panahnya ke arahku lalu
mengantarkan kaki ini untuk merantau ke Jerman, bukan Belanda. Tapi tunggu
dulu, Kawan, jangan berpikir bahwa aku menyesal telah terdampar di negeri antah
berantah ini, tidak, sama sekali tidak. Justru kenyataan lain yang kemudian aku
temui telah membuatku takjub dan sangat bersyukur. Walaupun hidup di Jerman,
ternyata dengan mudahnya aku bisa berkunjung ke Belanda, kapan saja aku mau dan
punya kesempatan. Perjalanan ke kota-kota perbatasan hanya ditempuh dalam waktu sekitar 2-4 jam perjalanan
kereta dan/atau bus, bahkan ke beberapa kota tertentu seperti Enschede dan
Nijmegen, aku tak perlu membayar ongkos, karena semester ticket NRW masih
berlaku sampai kota-kota tersebut. Aku pun mau tak mau harus belajar bahasa
baru, bahasa Jerman, walaupun tak terlalu lancar, tapi cukuplah untuk
berbelanja ke warung dan jadi bahan cerita di hari tua nanti.
Dari hari ke hari aku
menikmati "kekakuan" Jerman, hampir semua urusan bisa diselesaikan
tanpa banyak drama dan bertele-tele, disiplin. Setidaknya, sejauh ini begitu
yang aku rasakan. Mahasiswa di sini, baik warga negara Jerman maupun asing begitu
dimanjakan dengan berbagai fasilitas yang disediakan negara, hak-hak warga
sebagai konsumen sangat dilindungi, biaya hidup juga relatif lebih murah
dibandingkan negara Eropa Barat lainnya. Tapi yang namanya orang Indonesia, ada
pula saatnya ketika aku merasa sangat rindu kehangatan suasana di tanah air, rindu
senyuman dan sapaan ramah orang-orang yang kita temui acak dalam perjalanan.
Suasana seperti itu rupanya bisa kutemui tak jauh-jauh, Belandalah tempatnya.
Aku merasa "pulang" setiap aku berkunjung ke Belanda. Produk
makanan khas Indonesia juga sangat mudah
kita temui di toko-toko di Belanda, begitu pula dengan restoran Indonesia, tersedia
hampir di setiap kota.
Sebelum sahabatku Mira pulang ke Indonesia, hampir
setiap bulan aku ke Nijmegen mengunjunginya, artinya hampir setiap bulan pula aku
"pulang" ke "tanah air". Mira tinggal di sebuah rumah berlantai dua, bersama
3 orang nona Belanda. Tadinya kupikir, hidup serumah bersama orang barat tak
akan semenyenangkan itu, yang ada hanya suasana dingin dan kaku, jauh dari
basa-basi. Tapi kenyataannya sungguh bertolak belakang, tersebutlah Sanne,
Linda dan Jitske, 3 nona Belanda yang akhirnya juga menjadi kawan-kawanku.
Puck si pemalu |
Sanne memelihara
seekor anjing betina yang diberi nama Puck, dan Linda punya seekor burung
parkit nan lucu, Jack namanya. Suasana di rumah mereka terasa semakin semarak
dengan kehadiran binatang-binatang pintar ini. Kami biasa berkumpul dan
berbincang-bincang di lantai 1, di ruang keluarga sekaligus dapur. Setiap aku
berkunjung ke sana, kegiatan utama aku dan Mira adalah memasak atau membuat kue.
Lalu kami biasa menghabiskan malam sambil mengobrol, nonton televisi, bermain
bersama Jack dan Puck, atau menemani Mira siaran di Radio PPI Dunia.
Dari ketiga nona
Belanda ini, yang paling pendiam adalah Jitske, sehingga aku tak banyak
mengetahui tentang nona berambut keriting pirang ini. Jitske cenderung pemalu,
tapi sesekali dia juga mengobrol bersama kami, atau aku mengajaknya bermain
bersama Jack. Jitske dulu sempat kuliah, namun tak diselesaikannya, lalu
sekarang dia bekerja paruh waktu di kios makanan dan es krim di dekat Centrum.
Aku pernah diajak Mira jajan wafel es krim di kios Jitske. Sesekali dia pulang
ke rumah orang tuanya, di kota tetangga yang tak terlalu jauh dari Nijmegen.
Setiap aku ke sana, perasaanku yang dimakannya selalu keju dan roti, jarang aku
melihatnya memasak.
Jack si burung parkit |
Lalu nona kedua
adalah Linda, anak pemilik rumah ini. Dulu kalau aku tak salah ingat Mira pernah
bercerita bahwa orang tuanya tinggal di Paris. Nona berambut merah ini paling
cantik di antara ketiganya, dan kalau dia sudah bercerita, aku seperti melihat
Mira mengobrol bersama saudara-saudara perempuannya sendiri. Linda sudah lulus
kuliah, sempat bekerja paruh waktu tapi sekarang dia sedang menganggur, ingin
menikmati hidup mungkin. Linda tak hanya sering mengobrol bersama kami, Jack
dan Puck pun sering diajaknya bercakap-cakap. Dia mengajariku bagaimana melatih
Jack berbagai ketangkasan, mulai dari berguling-guling di atas lantai, sampai
bermain bola, lalu Jack akan dihadiahi biji-biji kuaci sebagai upahnya.
Sesekali jika Sanne tak di rumah, dia juga membantu mengurus Puck, memberinya
makan dan mengajaknya berjalan-jalan.
Lalu nona yang
terakhir adalah Sanne, yang paling sering mengobrol bersama aku dan Mira di
antara ketiganya. Lidahnya juga paling Indonesia, makanan Indonesia kegemarannya
adalah tempe dan perkedel jagung yang lalu disebutnya sebagai "corn
cookies". Setiap
aku dan Mira memasak, Sanne hampir selalu ikut makan bersama kami. Dia lalu
belajar makan dengan tangan, tanpa sendok, walau sesekali dia harus menyerah karena
belum terlalu terampil. Suatu waktu dia pernah berseloroh begini: "Someday,
if I go to Indonesia, I can survive just by saying: Sanne makan tempe!". Dia
juga sering menanyakan istilah-istilah Bahasa Indonesia, aku pun belajar
mengenal istilah-istilah Belanda darinya.
Nona pirang ini adalah seorang kidal yang pintar
melukis. Karya-karya
lukisannya terpajang di dinding-dinding ruang keluarga dan koridor lantai 2.
Sanne lulus dari Jurusan Drama Therapy, ya dia memang seorang seniman. Sejak
masih kuliah dia sudah bekerja paruh waktu di sebuah toko pakaian. Sanne sering membantuku mencuci piring sehabis
memasak, lalu menanyaiku tentang persahabatan aku dan Mira, dia sering
terkagum-kagum melihat kami yang sudah seperti saudara sendiri. Kalau
kami bertengkar dalam Bahasa Indonesia, Sanne akan buru-buru bertanya:
"What are you guys arguing about?" Lalu aku dan Mira tertawa, dia pun semakin bingung
melihat kelakuan kami berdua. Aku paling senang jika Sanne, Linda dan Jitske
sesekali mengobrol dalam Bahasa Belanda. Aku akan menebak-nebak artinya karena
Bahasa Belanda masih satu rumpun dengan Bahasa Jerman, bahasa turunannya.
Tot ziens, Tante! |
Begitulah aku
menghabiskan banyak akhir pekanku bersama Mira dan 3 nona Belanda ini selama 2
tahun belakangan. Aku mendapat kawan-kawan baru, sekaligus belajar banyak hal
tentang budaya mereka. Memahami orang-orang dari bangsa yang berbeda, menyelami
cara berpikir mereka, lalu mereka pun belajar banyak hal tentang budaya Indonesia
dari kami. Pekan lalu, terakhir kali aku bertemu mereka, pagi-pagi sekali aku
sudah mandi dan membereskan barang-barangku. Lalu aku pun pamit dan mengucapkan
terima kasih atas segala kebaikan mereka, Sanne dan Linda bergantian memelukku
sambil menepuk-nepuk punggungku. "Hesty, what a nice person you are. It's a pleasure to know you. Thank you for always visiting us, see you again, someday!",
begitulah kira-kira kalimat perpisahan dari Sanne, aku terdiam karena haru. Sayangnya
aku tak bertemu Jitske, karena dia sedang mengunjungi orang tuanya.
Di pagi
yang dingin itu, aku pulang ke Bochum, kuperhatikan rumah mungil di Goeman
Borgesiusstraat itu sampai hilang di kejauhan ketika aku harus berjalan
berbelok arah menuju halte bus Van der Duyn van Maasdamstraat, halte yang
ketika pertama kali aku menyebutkannya dulu begitu terbata-bata. Bus Breng merah muda itu
mengantarku sampai ke Station Nijmegen Centraal, rinduku mengembang. Pada detik
itu aku menyadari bahwa aku telah jatuh cinta pada Belanda dan segala tentangnya.
Tot ziens, Sanne, Linda dan Jitske!
Bochum, 31 Maret 2014