Sejak pengelolaan timah dipegang penuh oleh PT. Timah,
kehidupan sosial masyarakat mulai berubah. Sebagian besar pribumi menempati posisi pekerjaan
rendahan di perusahaan ini. Sedangkan posisi-posisi strategisnya sebagian besar
dipegang oleh orang luar daerah. Selama puluhan tahun terjadi kesenjangan
sosial antara penduduk setempat dan pegawai-pegawai staf PT. Timah. Fasilitas
yang disediakan oleh perusahaan untuk para pegawai staf sangat mewah, mulai
dari fasilitas kesehatan, hiburan, olahraga, pendidikan dan lain-lain.
Sedangkan masyarakat sekitar dan para pegawai rendahan hanya mendapatkan
fasilitas yang tidak sebanding. Kesenjangan puluhan tahun ini lama-kelamaan
menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Puncaknya yaitu saat PT. Timah dilanda krisis pada akhir
tahun 1980an sampai awal 1990an. Merosotnya harga timah dunia dan manajemen
perusahaan yang salah urus disebut-sebut menjadi penyebabnya. PHK
besar-besaran yang dilakukan perusahaan ini memunculkan angka pengangguran baru.
Masa-masa kejayaan pertambangan timah di Bangka Belitung
telah melewati masanya. Krisis moneter yang melanda Indonesia pada
tahun 1997 dan merosotnya harga komoditas pertanian lokal seperti karet dan
lada memaksa ribuan petani mencari alternatif sumber penghidupan. Sebagian
besar penduduk berubah profesi menjadi penambang di tambang-tambang
inkonvensional (TI) atau tambang rakyat tak berizin. Aktivititas penambangan
liar ini mulai marak sekitar tahun 2000an.
Pada tahun 1999, melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintah Daerah dan Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan No 146/MPP/Kep/4/1999 mengenai pencabutan timah sebagai komoditas
strategis, Bupati Bangka saat itu, Eko Maulana Ali, sekarang Gubernur Provinsi
Bangka Belitung, memberikan izin aktivitas penambangan skala kecil. Sejak saat
itu, aktivitas penambang liar semakin tak terkendali. Data Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi tahun 2001 memperlihatkan, dari sekitar 70.000-an unit
tambang rakyat, yang berizin hanya sekitar 30 persen.
Maraknya aktivitas penambangan liar ini secara tidak
sadar cenderung sebagai pelampiasan penduduk lokal atas kesenjangan sosial yang
telah terjadi selama puluhan tahun sebelumnya. Sektor ini kini menjadi sumber
penghidupan bagi masyarakat yang mendatangkan hasil jutaan rupiah. Lebih dari 70 persen penduduk dari setiap desa hidup dari TI. Sektor ini
menjadi salah satu penyumbang terbesar bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun, apakah ini menjadi pertanda baik bagi kehidupan
masyarakat di Bangka Belitung?
Kini masyarakat harus menghadapi dampak-dampak sosial
karena maraknya aktivitas pertambangan rakyat ini, seperti kegiatan prostitusi,
konsumtivisme, dan terkikisnya nilai-nilai positif lokal. Belum lagi, kerusakan
lingkungan yang semakin tak terkendali.
Aktivitas penambangan liar yang semakin tak terkendali
telah menjadi penyumbang terbesar pula bagi kerusakan lingkungan. Tanpa pengendalian dan pengawasan, tambang-tambang ini
meninggalkan lubang-lubang menganga dan lahan-lahan tandus yang perlu waktu
ratusan tahun untuk memulihkannnya kembali. Itupun kalau kegiatan reklamasi berjalan sebagaimana
mestinya.
Reklamasi yang dilakukan oleh PT. Timah terhadap lahan
bekas penambangan menemui berbagai hambatan. Kegiatan ini sempat terhenti beberapa tahun dan
kelangsungannya tersendat-sendat. Hal ini disebabkan oleh aktivitas TI yang sering menambang di bekas lahan
galian PT.Timah yang akan atau sudah direklamasi dan baru mulai menjadi
hutan-hutan muda. PT. Timah memang menyisakan 10-15 persen kandungan bijih
timah di suatu lahan pertambangan.
Kegiatan pertambangan di Bangka Belitung telah mencemari
air permukaan, merusak hutan dan mengganggu keseimbangan ekosistem. Namun di
lain pihak, ternyata sekitar 70-80 persen produksi PT. Timah dan PT. Kobatin, dua perusahaan resmi pertambangan
timah di Bangka Belitung, diperoleh dari TI. Jadi, rakyat bukan satu-satunya
pihak yang bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan di daerah ini. Lalu yang
menjadi pertanyaan selanjutnya, apa yang tersisa untuk generasi Bangka Belitung
di masa mendatang?
Bandung, 21 Februari 2008
[dari berbagai sumber]