Ramadhan hampir memasuki babak ke tiga, babak
terakhir menuju hari raya. Ada perasaan sedih bercampur bahagia. Sedih, karena hanya
tinggal beberapa hari lagi kita akan berpisah dengannya. Tapi sekaligus
bahagia, karena tak lama lagi akan tiba pula hari raya. Dulu, ketika aku masih di
Bandung, di minggu-minggu terakhir bulan Ramadhan, aku sudah bersiap-siap untuk
pulang ke kampung halaman. Aku biasanya menumpang mobil travel yang berangkat
pagi buta, lalu sampai di bandara Soekarno-Hatta ketika kantuk belum reda.
Penerbangan dari Jakarta ke Tanjongpandan tak memakan waktu lama, 45 menit
saja.
Tanjongpandan, tempat kelahiranku itu, bagiku selamanya
tak pernah berubah. Wangi paginya, terik mataharinya, debu jalanannya, riuh
pasarnya, selalu menyimpan kenangan yang tak musnah dilindas zaman. Sebenarnya
rutinitas mudik bagiku lebih dari sekedar pulang. Bukan hanya menemukan rumah,
tapi lebih dari itu, aku ingin menemui aku, diriku sendiri di masa lalu, yang
belum hanyut oleh gelombang pasang. Aku yang hanya mengenal batas dermaga
sebagai ujung dunia. Aku yang hanya tahu kerontang kemarau dan hujan yang
tumpah ruah memenuhi sungai, lalu dihanyutkan mimpi menuju muara.
Perairan Pulau lengkuas, Belitong |
Aku ingin menemui berupa-rupa kesederhanaan yang disembunyikan
zaman dari hiruk pikuk kebaruan. Meskipun tak bisa terlalu sering pulang, aku
bersyukur masih memiliki kampung halaman. Kampung
halaman adalah representasi semangat yang mula-mula, yang muncul pada pagi
jingga nan teramat muda. Kampung halaman adalah representasi rindu, yang tumbuh
di sela-sela ombak yang terhempas mengharu biru. Kampung halaman adalah tempat
kembali, bingkai yang menunggu keping-keping mozaiknya tersusun kembali, suatu
hari nanti.
Bochum, 17 Juli 2014